Karawang “Juara Bertahan” Zona Merah

Tujuh pekan secara beruntun Karawang menyandang gelar “juara bertahan” zona merah. Status ini mernarik perhatian Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Gubernur yang akrab disapa Kang Emil ini turun langsung ke Karawang bersama jajaran Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19, guna membedah sejumlah permasalahan penanganan COVID-19 seperti dilansir Sindonews.com (30/01/2021).

Berdasarkan hasil peninjauan langsung di lapangan, termasuk pemaparan Bupati Karawang Cellica Nurrachdiana, diketahui bahwa lonjakan kasus COVID-19 terjadi karena ketidakdisiplinan kalangan industri dalam melaporkan kasus positif COVID-19 dan lambatnya pelacakan, sehingga penularan cepat bertambah.

Melonjaknya kasus positif COVID-19 di Karawang, tidak hanya semata faktor ketidakdisiplanan dalam pelaporan baik dari kalangan industri ataupun Lembaga lainnya. Gerakan penerapan protokol kesehatan 3 M (memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan) pun belum bisa menekan laju pertumbuhan kasus. Apalagi ditambah dengan kurang masifnya penerapan 3T (testing, tracing dan treatment), seperti diakui oleh Gubernur Jabar masih perlu ditingkatkan. Padahal penerapan 3T yang dikolaborasikan dengan penerapan protokol kesehatan ini menjadi startegi dasar dalam pengendalian pandemi.

Pemerintah jangan hanya focus pada ketersediaan obat dan vaksin. Apakah pemberian vaksin akan efektif ketika 3T tidak dijalankan dengan massif dan akurat? Padahal vaksin dan obat tidak bisa menjadi senjata utama untuk mengatasi pandemi COVID-19. Bila melihat sejarah, tidak ada pandemi yang selesai hanya karena kehadiran vaksin atau obat. Jangan sampai pengadaan vaksin dan obat hanya karena motif ekonomi semata.

Gambaran ini sejatinya membuktikan ketidakseriusan negara dalam menangani pandemi. Penerapan strategi utama 3T seharusnya dilakukan secara massif, akurat dan gratis. Hal ini dilakukan untuk mengetahui siapa yang sakit dan yang sehat. Selain gencar mengkampanyekan 3 M (Menjaga jarak, Mencuci tangan dan Memakai masker).

Penerapan 3T tentu berbeda dengan 3M yang lebih menekankan pada kesadaran individu. Dalam penerapan 3T sebenarnya pemerintah memiliki power yang lebih besar. Misalnya, ketika ada warga yang tidak mau dites, bisa dicari tau alasannya. Bisa jadi alasannya karena biaya tes yang tidak murah. Jangankan buat tes, buat makan sehari-hari saja sulit. Pemerintah jangan pilih kasih, yang difasilitasi hanya warga yang memiliki KTP di dareh tersebut, misal harus punya KTP Karawang. Karena faktanya di Karawang sendiri banyak pendatang.

Alasan lain kenapa warga tidak mau tes, bisa jadi karena ketika di tes hasilnya positif, warga dipaksa harus isolasi, tidak bisa mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab sebaran virus sulit di kendalikan.

Dalam sistem islam, tes dilakukan secara cepat, massif, akurat dan gratis. Tanpa pandang bulu. Selanjutnya dilakukan tracing kontak orang yang hasil tesnya positif dan dilakukan penanganan lebih lanjut. Warga yang terkonfirmasi positif akan mendapatkan perawatan secara gratis. Tidak hanya orang yang bersangkutan yang dibiayai, tapi keluarganya akan ditanggung oleh negara.

Apakah mungkin sistem kapitalis bisa melakukan ini? Alih-alih bisa menangani pandemi, sistem kapitalis lebih peduli dengan keselamatan ekonomi.

Jadi, tidak hanya factor ketidakdisiplinan saja yang membuat laju pertumbuhan kasus positif COVID-19 kian meningkat. Tapi juga ada masalah sistemik yang perlu untuk segera diperbaiki. Sehingga penyelesaiannya pun harus dilakukan secara sistemik. Sistem Kapitalis-sekuler yang tidak memprioritaskan kesehatan dan nyawa sudah tidak pantas dipertahankan. Ada sistem alternatif yang sangat mengutamakan nyawa manusia, yaitu Islam.  Wallahu a’lam bishawab

Total
0
Shares
Previous Article

PWI Kota Bandung Tandatangani MoU Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan Universitas Sangga Buana dan STAIPI

Next Article

Perwal Terkait Penanganan Covid-19, Kembali Dikeluarkan Wali Kota Bandung

Related Posts