Terasa kejatuhan bulan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami kenaikan finansial yang tidak terduga. Seperti saat ini diumumkan bahwa BPJS Kesehatan pada tahun 2020 berhasil mengatasi defisit dan mengalami surplus Rp18,7 triliun berdasarkan laporan keuangan yang belum diaudit. (bisnis.com, 9/2/2021)
Rekor surplus oleh BPJS Kesehatan ini terjadi pertama kali dalam lima tahun terakhir. Pada 2016, BPJS Kesehatan belum defisit, namun piutang dalam proses bayar mencapai Rp2,41 triliun. Setahun kemudian mengalami defisit Rp1,01 triliun dan utang yang dalam proses Rp4,72 triliun. Hingga puncaknya tahun 2019 defisit Rp15,56 triliun dan utang total Rp1,56 triliun.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris menuturkan kenaikan iuran pada tahun 2020 menjadi salah satu faktor yang menyebabkan keuangan BPJS Kesehatan surplus. Kenaikan iuran tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (PP) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Sedangkan menurut Anggota Komisi IX DPR, Kurniasih Mufidayati, menyatakan kenaikan itu semestinya mampu menurunkan iuran BPJS Kesehatan. Khususnya bagi kelas tiga, dikembalikan lagi seperti semula. Sebab kenaikan iuran tersebut dilakukan pada saat ekonomi masyarakat mengalami masa yang berat akibat pandemi Covid-19.
Patut disyukuri atas surplus BPJS kesehatan ini. Bagaimanapun masyarakat jelas mempunyai andil yang sangat besar atas kenaikan kas tersebut. Tapi benarkah masyarakat sudah mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan berkualitas dari negara?
Semestinya masyarakat tidak mempunyai kewajiban sama sekali untuk membayar iuran BPJS Kesehatan. Mengapa? Karena sudah menjadi kewajiban negara untuk menyediakan layanan kesehatan secara cuma-cuma (gratis) dengan fasilitas yang memadai. Sebab kesehatan adalah hak seluruh rakyat.
Namun, faktanya tidaklah demikian. Rakyat selalu saja dibebani dengan seabrek permasalahan. Salah satunya kewajiban membayar iuran BPJS Kesehatan setiap bulan. Itu pun harus tepat waktu dan sesuai dengan tingkatan kelasnya.
Sedangkan realitasnya, saat ini ekonomi negeri sedang terpuruk akibat pandemi. Hal itu berimbas juga pada kehidupan rakyat. Ditambah dengan beban iuran BPJS Kesehatan. Terasa semakin lengkap sudah beban yang dipikulnya. Satu sisi rakyat harus sehat, sisi lain mereka harus berjuang mencari nafkah di tengah sulitnya proses pencarian nafkah tersebut. Namun semua itu dilakukan demi memenuhi kebutuhan keluarganya.
Belum sampai di sini penderitaan rakyat. Bila ada masyarakat yang tidak mampu membayar, ataupun telat, maka akan mendapatkan sanksi/denda administrasi. Jelas pelayanan itu tergantung dari kelancaran pembayaran iuran BPJS Kesehatan tiap bulannya.
Begitulah ide dasar operasional BPJS Kesehatan di sistem saat ini. Walau rakyat yang membayarnya, tetap tidak mendapatkan jaminan apapun. Yang ada justru perlakuan berbeda dari Sang penguasa.
Bila mereka yang memiliki banyak koneksi, ketenaran, dan kekuasaan, maka akan dimudahkan segala urusannya. Sebaliknya bila rakyat biasa, miskin, tak punya pengaruh apapun hanya kesulitan yang sering didapatkannya. Sungguh betapa mahalnya biaya yang harus dibayar oleh rakyat. Seolah-olah rakyat miskin harus terus sehat, tak boleh sakit.
Lalu bagaimana dengan pernyataan salah seorang anggota DPR yang menyarankan agar iuran BPJS Kesehatan dikembalikan pada iuran semula bagi kelas tiga khususnya. Karena sudah membaiknya kas BPJS Kesehatan saat ini. Apakah cukup hanya dengan mengembalikan tarif iuran pada nominal awal sajakah?
Seolah usulan tersebut meringankan beban rakyat. Terutama bagi rakyat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Namun solusi itu tidaklah cukup dan menyeluruh. Sedangkan rakyat membutuhkan pelayanan kesehatan yang rata, adil, dan dapat dinikmati oleh seluruh kalangan.
Namun, itu hanya utopis. Alih-alih negara memperhatikan kesehatan rakyat. Sebaliknya yang terjadi justru rakyat yang dipalak oleh negara. Dengan bukti rakyat wajib menjadi anggota BPJS Kesehatan yang konon akan mendapatkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Itulah pelayanan kesehatan di alam kapitalisme-sekuler. Tidak ada jaminan dari negara. Semua hanya kamuflase. Negara hanyalah sebagai regulator yang cenderung memihak pada kepentingan golongan tertentu saja, yakni para kapitalis dan pemilik modal. Sebab kesehatan termasuk dalam jasa perjanjian General Agreement on Trade on Services (GATS), liberalisasi sistem kesehatan yang sulit dihindari dan ditolak. Akibatnya, negara tidak mampu menjadi pemain tunggal sebagai penyelenggara sistem kesehatan bagi rakyat.
Konsep itulah yang menjadi penyakit bagi sistem kesehatan saat ini. Hingga untuk mendapatkan pelayanan yang baik dengan fasilitas yang mendukungnya, rakyat harus merogoh sakunya demikian dalam. Semakin banyak yang dikeluarkan semakin prima fasilitas kesehatan yang didapatkannya.
Begitulah sistem kesehatan yang bertumpu pada sistem kapitalisasi dan liberalisasi. Negara tidak memprioritaskan kebutuhan rakyatnya. Terutama dalam hal pelayanan kesehatan. Minimnya peran negara telah membuktikan bahwa sudah saatnya ada perombakan secara universal bagi sistem kesehatan di negeri ini.
Dalam paradigma Islam, kesehatan adalah kebutuhan dasar umat dan kewajiban bagi negara. Rakyat tidak dibebani dengan biaya sekecil apapun. Sebaliknya negara memfasilitasinya dengan gratis. Seperti: Negara menyediakan rumah sakit, klinik, dan fasilitas lainnya yang dibutuhkan oleh kaum muslimin. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
“Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggungjawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. al-Bukhari)
Jadi sangat jelas negara adalah penyelenggara tunggal untuk memberikan pelayanan kesehatan secara prima kepada seluruh umatnya.
Dalam Islam, jaminan kesehatan memiliki empat sifat. Di antaranya:
- Pertama, universal, dalam arti tidak ada pengkelasan dan perbedaan-perbedaan dalam pemberian layanan kepada rakyatnya.
- Kedua, negara memberikan secara gratis, tak ada pungutan sama sekali.
- Ketiga, seluruh rakyat dapat mengaksesnya dengan mudah.
- Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon.
Demikian juga dengan dana yang disediakan untuk menjamin kesehatan bagi umat. Ia diambil dari baitul maal. Seperti dari pengelolaan harta kekayaan umum. Yaitu hutan, tambang, minyak, gas, dan juga dari sumber-sumber kharaj, ghanimah, dan sebagainya. Semua itu lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan kesehatan umat secara baik dan berkualitas.
Maka seluruh umat manusia dapat menikmati pelayanan kesehatan yang maksimal hanya bila dengan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan.Wallahu a’lam bish-shawab.