Setiap manusia terlahir di atas fitrah. Di antara fitrah manusia ialah Hajatul Udhowiyah (kebutuhan jasmani), yakni makan, minum, istirahat, dan lain-lain serta Gharizah (naluri) yang terdiri dari 3, yakni gharizah tadayyun (naluri beragama), gharizah baqo’ (naluri mempertahankan diri) dan gharizah nau’ (naluri melestarikan keturunan dan berkasih sayang).
Dengan demikian, memiliki suatu keyakinan merupakan fitrah yang pasti dimiliki setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, yang merupakan representasi dari adanya gharizah baqo’.
Di dalam ajaran Islam, memeluk agama Islam bukanlah suatu hal yang boleh dipaksakan. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah: 256 yang artinya: “Tidak ada paksaan untuk menganut agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada gantungan tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Menurut al-Hafidz Ibnu Katsir maksudnya adalah “Jangan kalian paksa siapapun untuk masuk agama Islam, karena kebenaran Islam sudah sangat jelas, nampak, kelihatan, dan sangat terang bukti-buktinya, sehingga tidak butuh memaksa siapapun untuk memasukinya. Namun orang yang mendapat petunjuk dari Allah untuk masuk Islam, Allah lapangkan dadanya, Allah beri cahaya ilmunya, maka dia akan masuk Islam atas dasar telah mendapatkan penjelasan. Sebaliknya, orang yang Allah butakan hatinya, Allah kunci mati pendengaran dan penglihatannya, maka tidak akan memberikan manfaat baginya ketika dia masuk Islam dengan cara dipaksa.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/682).
Selain tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam, Islam juga memiliki aturan bagi siapa saja yang telah masuk ke dalamnya. Hal ini adalah sebagai konsekuensi keimanan yang ia pilih sendiri tanpa paksaan tadi dan sebagai wujud ketundukan dan kepatuhannya kepada Allah SWT.
Sebagaimana halnya seorang mahasiswa yang masuk seleksi di sebuah universitas, maka ia akan terikat dengan aturan-aturan yang ada di universitas tersebut. Maka sangat rasional alias bisa diterima akal manusia jika Islam memiliki aturan-aturan untuk mengatur umatnya.
Di antara sekian banyak aturan bagi kaum muslimin, ada aturan menutup aurat yang wajib dijalankan dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Islam. Aturan ini berlaku bagi laki-laki maupun perempuan yang telah baligh (mencapai usia tertentu dan dianggap dewasa).
Bagi laki-laki wajib menutup pusar hingga lututnya (pendapat yang diambil penulis). Rasulullah SAW bersabda, “Karena di antara pusar sampai lutut adalah aurat.” (HR Ahmad).
Sedangkan perempuan wajib menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Allah SWT berfirman: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS. Al-Ahzab: 59).
Berdasarkan dalil di atas, aturan menutup aurat adalah aturan yang datang dari Allah SWT sebagai Al-Khaliq wal Mudabbir (pencipta dan pengatur) manusia.
Namun, meskipun demikian aturan menutup aurat ini, terutama bagi para muslimah mendapatkan pelarangan di berbagai negara di dunia. Padahal dunia ini adalah milik Allah seluruhnya. Lalu mengapa aturan pemilik dunia ini justru ditolak bahkan dikriminalisasi?
Berdasarkan data yang dimuat di laman Liputan6.com, ada 11 negara yang memberlakukan pelarangan penggunaan hijab (penutup aurat), diantaranya Belanda, Rusia, Jerman, Italia, Tunisia, Turki, Belgia, Prancis, Suriah, Australia dan Spanyol.
Data di atas memang menunjukkan bahwa pelarangan mayoritas datang dari negara yang penduduknya bukan mayoritas muslim. Namun, alasan ini tidak bisa dibenarkan dan justru mencoreng sistem negara yang berlaku saat ini di mayoritas negara dunia, yakni Sistem Demokrasi yang senantiasa menjunjung tinggi dan menggaungkan HAM (Hak Asasi Manusia).
Bagaimanapun alasannya, berhijab merupakan hak bagi para muslimah sebagai warga negara yang sah dan terutama merupakan kewajibannya terhadap Sang Pencipta yang tidak bisa dilanggar hanya karena aturan dari manusia.
Sekalipun di antara 11 negara yang memberlakukan pelarangan hijab tadi ada negara yang telah mengganti atau mencabut aturannya, seperti Turki, namun pencabutan itu tidak berlaku untuk para hakim, jaksa, polisi dan personel militer (kompas.com, Selasa, 8/10/2013).
Alasan pencabutannya pun hanya karena dikhawatirkan akan mengecilkan peran perempuan di kantor-kantor pemerintahan (Liputan6.com). Padahal, di mana pun seorang muslimah berada dan apapun profesinya kewajiban Allah masih melekat padanya dan hijab merupakan identitas sebagai seorang muslimah.
Berbagai alasan dikemukakan sebagai landasan pelarangan hijab bagi muslimah di berbagai negara ini, seperti ungakapan bahwa negaranya merupakan negara yang netral, keselamatan jalanan, pencegahan ekstrimisme, tidak sesuai aturan hukum negara, mengancam keamanan nasional sebenarnya terbantahkan.
Sekali lagi, alasan-alasan ini tidak bisa dibenarkan begitu saja. Sebagai contoh ungkapan ‘sebagai negara netral’ memuat tipu muslihat dan keberadaannya merupakan kemustalilan. Sebab, negara pasti menjalankan sebuah ideologi tertentu, baik secara mandiri maupun bersandar pada negara lain.
Buktinya, mengapa busana yang menampakkan aurat wanita secara bebas bahkan wanita hampir tanpa busana dibiarkan begitu saja? Bukankah ini juga mengganggu mata para laki-laki muslim yang memiliki kewajiban menundukkan pandangan? Lalu apakah kita harus mengatakan “Jangan salahkan pakaiannya, salahkan mata yang memandang!” Sungguh kalimat sihir seperti ini adalah kalimat yang lahir dari kedangkalan berpikir.
Atau atas nama pencegahan ekstrimisme hijab dilarang. Apa makna ekstrimisme selama ini yang berkembang di dunia? Mengapa pemerkosaan, penculikan, pembunuhan dan tindak kriminal lainnya tidak dikatakan ekstrim sedangkan para muslimah yang berusaha menaati aturan Tuhannya dianggap sebagai ekstrimisme?
Adanya kebijakan pelarangan dalam level negara membuktikan bahwa pelarangan ini bukan hanya datang dari individu, tetapi terjadi secara tersistem yang dimanifestasikan dalam suatu aturan. Seluruh alasan-alasan kuno yang mereka ungkapkan pun sebenarnya hanyalah kedok untuk menutupi kebencian kaum kafir pada Islam dan kaum muslimin.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah: 120 yang artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”
Jadi, upaya negara-negara sekuler (yang memisahkan agama dari kehidupan) dalam melakukan serangan terhadap syariat berhijab khususnya dan syariat Islam umumnya sesungguhnya ditujukan agar kaum muslimah jauh dari tuntunan-tuntunan Islam. Sebab perempuan adalah tonggak dari generasi umat.
Apabila wanita-wanita Muslimah mendapatkan pengajaran dan pembinaan yang baik dengan Islam maka para Muslimah inilah yang akan melahirkan generasi yang akan menjaga Islam dan membangun peradaban Islam yang mulia.
Dan jelas hal ini adalah hal yang sangat dibenci oleh kaum penjajah. Sebab dengan begitu kepentingan mereka untuk menjajah di dunia ini akan berakhir nestapa saat generasi kaum muslimin sadar dan bangkit dengan memperjuangkan sebuah institusi Islam yakni Khilafah Islamiyyah yang akan melindungi kehormatan dan juga kemuliaan perempuan dan kaum muslimin serta agama Allah, yakni Islam.
Dan hanya Khilafah Islamiyyah fitrah manusia yang membutuhkan aturan dari Sang Pencipta akan terwujud sekaligus mampu menuntaskan segala permasalahan perempuan di dunia ini, bahkan perempuan non muslim sekalipun. Karena kejahatan yang tersistem hanya bisa dikalahkan dengan solusi yang sistemik. Wallahu a’lam bi ash-showwab.