Wacana Pemerintah akan impor 1 juta-1,5 juta ton beras kembali mencuat hal ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dengan alasan, ini dilakukan demi menjaga ketersediaannya di dalam negeri supaya harganya tetap terkendali. Setelah adanya program bantuan sosial (bansos) beras PPKM, antisipasi dampak banjir, dan pandemi covid-19.(CNNINDONESIA, 4/3/2021).
Selain beras, Airlangga mengatakan pemerintah juga akan menjaga ketersediaan daging dan gula. Dalam kesempatan yang sama, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan impor beras, Daging dan gula tersebut digunakan untuk iron stock alias cadangan. Ia menuturkan impor tersebut sudah disepakati, bahkan Kementerian Perdagangan telah mengantongi jadwal impor tersebut.
Tentu hal ini sangat berbanding terbalik dengan pernyataan presiden Jokowi yang dengan semangatnya menggaungkan serta mengajak masyarakat untuk mencintai produk dalam negeri dan membenci produk luar negeri.
“Produk dalam negeri gaungkan, gaungkan juga benci produk-produk luar negeri, bukan hanya cinta tapi benci. Cinta barang kita, benci produk luar negeri. Sehingga betul-betul masyarakat kita menjadi konsumen yang loyal untuk produk-produk Indonesia,” ujar Jokowi dalam Pembukaan Rapat Kerja Nasional Kemendag secara virtual, Kamis (4/3/2021).
Sementara itu, ekonom Universitas Indonesia yang juga Direktur Eksekutif Next Policy, Fithra Faisal, menganggap pernyataan benci produk asing bisa menimbulkan retaliasi ke produk Indonesia di luar negeri. Selain itu, Ia menganggap Indonesia belum bisa sepenuhnya lepas dari produk asing. Itu semua butuh waktu. (KumparanBISNIS,4/3/2021).
Lantas, bagaimana sebetulnya data impor di Indonesia saat ini?Dalam data 5 tahun terakhir, nilai impor terbesar terjadi pada tahun 2018. Kala itu, nilai impor mencapai USD 188.711,30 juta. BPS mencatat, kelompok mesin dan alat angkutan memiliki nilai USD 46.743,1 juta. Nilai itu mencakup 33,02 persen dari total impor Indonesia.
Impor kelompok barang SITC 1 dijit yang terbesar selanjutnya adalah kelompok barang-barang buatan pabrik dengan nilai USD 22.768,0 juta (16,08 persen). Diikuti oleh bahan kimia dan produknya USD 21.491,4 juta dengan peran 15,18 persen
BPS mencatat impor dari negara lain ke dalam lima golongan barang (SITC) utama. Nah, dari China kita banyak mengimpor peralatan dan suku cadang telekomunikasi, katoda, kain rajutan, kain tenun, dan peralatan untuk industri.
Dalam beberapa kasus, Indonesia bahkan menggantungkan impor komoditas tertentu hingga 100 persen kepada satu negara. Impor bawang putih, misalnya, 100 persen dikuasai oleh China. Lalu ada juga impor bawang merah yang hanya digantungkan pada Vietnam.
Dari banyaknya fakta yang ada saat ini menunjukan bahwa seruan benci produk Asing atau luar negeri hanyalah retorika politik semata, yang mana tujuannya hanyalah untuk menarik hati pada masyarakat. Sehingga Terkesan bahwa gaya kepemimpinan saat ini telah berhasil membuat negeri ini seolah-olah mampu berdiri diatas kakinya sendiri.
Namun pada faktanya impor secara besar-besaran terus saja terjadi bahkan disegala sektor vital strategis. Hal ini menunjukkan bahwa negara saat ini belum benar -benar mampu berdiri sendiri,karena masih saja terus bergantung pada produk luar negeri.
Beginilah ketika kita hidup di negara yang berlandaskan Sistem kapitalis standart dan kiblatnya hanyalah untung-rugi. Ibarat kata benci tapi cinta itulah kata yang tepat dengan kondisi perekonomian negara saat ini, masyakatnya diajak membenci produk luar negeri tapi pemerintah justru lebih mencintai produk luar negeri tersebut. Sehingga seruan untuk membenci produk luar negeri hanyalah ilusi tanpa arti.
Alih- alih membenci yang ada justru malah dicintai, karena begitulah sifat dasar sistem kapitalis selama itu mampu menguntungan, kekuatan cengkramannya pun akan semakin kuat, akibatnya negara ini akan terus dalam kendali negara-negara kapitalis.
Seharusnya seruan untuk membenci produk luar negeri juga harus diterapkan negara dengan betul-betul serius. Dengan cara mampu mewujudkan kemandirian negara melalui peningkatkan produksivitas dalam negeri yang tentunya diberbagai aspek. Mulai dari produk pertanian dan industri sehingga kita tidak akan terus-terusan bergantung dan mencintai produk asing dan luar negeri.
jIka dalam sistem kapitalis kita terus saja bergantung akan pruduk impor luar negeri berbeda halnya dalam negara Islam (khilafah) dimana Islam adalah sistem yang sempurana dan paripurna yang mampu memberikan solusi yang solutif atas akar masalah dari liberalisasi impor, Islam akan mengoptimalkan produksi dalam negeri dahulu.
Dengan cara meningkatkan lahan pertanian guna mencukupi kebutuhan pangan, negara juga akan terus berupaya meningkatkan dan mengembangkan produksi dalam negeri seperti industri kecil dan menengah UMKM guna memenuhi kebutahan dalam negeri serta memfasilitasi dan memberikan ruang untuk mampu bersaing dengan pangsa pasar global.
Setelah itu baru memberikan kuota Import sesuai kebutuhan sehingga yang menentukan kuota barang bukan importir, tapi langsung negara selaku pemberi kebijakan. Untuk bisa mengimpor pun harus memenuhi persyaratan.
Negara bertugas mengontrol dan memastikan seluruh lini kebutuhan masyarakat agar tidak ada masalah, sehingga aturan yang tegas dan jelas harus dibuat, negara juga harus bersifat independen, tidak bisa dipengaruhi oleh segelintir orang karena tugas negara adalah memenuhi kebutuhan rakyat.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang berbunyi” Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka,”(HR Ibnu Asakir,Abu Nu’aim). Maka sudah menjadi kewajiban pemimpin senantiasa melayani kebutuhan rakyatnya,tata kelola pasar import secara Islam Tidak akan terwujud jika pemimpinnya tidak menerapkan hukum Islam, sehingga cara terbaik menanggulangi masalah ini hanya bisa dilakukan oleh negara yang mau menerapkan aturan Islam.
Disinilah kebutuhan kita akan Khilafah berperan sebagai Negara pelayan rakyat, sehingga slogan untuk mencintai dan membenci produk asing dan luar negeri akan bisa terealisasi ditengah -tengah masyarakat.
Ekonomi masyarakat mulai dari kalangan menengah kebawah juga akan mengalami peningkatan, lalu kenapa kita masih ragu dan menunda – nunda untuk diterapkan sistem Islam tersebut. Jika telah terbukti bahwa Islam merupakan sistem yang terbaik. Yang mampu menaikan produksifitas dalam negeri. Wallahu A’lam Bishowabh