Sulitnya mencari mata pencaharian yang layak, sementara kebutuhan tidak bisa ditunda, apalagi kebutuhan pangan, telah mendorong sebagian warga memutar otak agar uang tetap didapat. Kadangkala kita temukan yang mengenakan kostum badut berkarakter kartun, anak jalanan, pengemis, pengamen, serta para pemungut barang bekas (rongsokan) di beberapa tempat. Jumlahnya kian meningkat apalagi di masa pandemi.
Hal di atas sebagaimana diungkapkan oleh Anggota Komisi D. DPRD Kabupaten Bandung, Yayat Sumirat, beliau menduga para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang ada di wilayah Kabupaten Bandung semakin banyak dan tidak seluruhnya merupakan warga setempat, tetapi warga luar yang sengaja di tempatkan di wilayah Kabupaten Bandung. (Dara.co.id, Senin 15/3/2021).
Keberatan yang disampaikan Yayat Sumirat, dengan bertambahnya PMKS di lapangan adalah jangan sampai timbul opini seolah dibiarkan oleh dinas terkait. Makanya mesti didata. Satpol PP dan Dinas Sosial diminta untuk meningkatkan penertiban di cek point, terjun ke lapangan dalam rangka mencegah masuknya PMKS dari luar. Jika ada PMKS yang berKTP Kabupaten Bandung harus diberikan edukasi dan diarahkan kepada hal-hal yang bersifat produktif, seperti pelatihan. Pertanyaannya bisa tuntaskah persoalan PMKS hanya dengan edukasi dan pelatihan? Sementara lapangan kerja sulit? Juga mesti ditelusuri mengapa sampai mendatangi Kabupaten Bandung?
Persoalan PMKS butuh solusi serius dari pemerintah, bukan hanya sekedar edukasi dan pelatihan. Kalaupun mau diarahkan ke pelatihan berapa banyak yang bisa di cover oleh dinas sosial terkait pendanaannya? Setelah pelatihan mau diarahkan kemana? Tidak bisa setelah diberi pelatihan dilepas begitu saja. Ketika mereka menemukan kesulitan maka akan kembali kepada kegiatan awal seperti mengamen, mengemis, menjadi pemulung dan sebagainya.
Buruknya distribusi harta pada sistem kapitalis mengakibatkan uang yang beredar di kota apalagi pusat kota jauh lebih besar dibandingkan dengan di desa atau kampung. Begitupun pembangunan, baik infrastruktur, pabrik, pusat perdagangan dan yang lainnya, menyebabkan gelombang urbanisasi semakin masif dari tahun ke tahun. Mereka beranggapan daerah perkotaan sangat menjanjikan sebagai tempat mencari nafkah untuk penghidupan yang lebih baik dibanding di desa.
Betapa sedihnya hidup di negara kapitalis. Kekayaan melimpah karena salah kelola tidak mampu mensejahterakan rakyatnya. Penguasa berkedudukan hanya sebagai regulator. Pembangunan baik infrastruktur, pabrik-pabrik ataupun yang lainnya diserahkan kepada swasta. Ketika pembangunan dikuasakan kepada swasta orientasinya pasti keuntungan bukan kepengurusan. Maka wajar pembangunan tidak akan merata.
Berbeda dengan sistem Islam. Negara memiliki tanggungjawab penuh terhadap seluruh rakyatnya. Masing-masing wilayah tidak boleh hanya mementingkan wilayahnya sendiri. Negara adalah satu kesatuan. Sebagaimana Khalifah Umar, kalau terjadi di suatu wilayah harga suatu kebutuhan tinggi karena terjadi kelangkaan, maka dengan segera mencarikan dari wilayah yang surplus agar harga kembali seimbang.
Pembangunan dalam negara khilafah memiliki kekhasan, yaitu masing-masing wilayah dalam jarak tertentu dilengkapi pasar, alun-alun, pusat pendidikan, rumah sakit dan lain sebagainya, sehingga masyarakat suatu wilayah tidak harus menuju wilayah lain untuk berobat misalnya atau sekolah. Semuanya dibuat dengan kualitas yang sama. Tidak ada istilah kualitas sekolah atau rumah sakit di kota lebih bagus daripada di desa. Semua rakyat berada di bawah tanggungjawab pemimpin yang harus dipenuhi segala kebutuhannya tanpa dibeda-bedakan.
Pantas saja khilafah bisa bertahan selama kurang lebih 13 abad, puncaknya di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak ada satupun rakyat yang berhak menerima zakat. Artinya kesejahteraan hampir merata. Semua terpenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, serta keamanannya. Wallahu a’lam bish shawab