Oleh: Djafar Badjeber
Jakarta – ekpos.com – Konflik masalah pertanahan di negeri kita tak kunjung selesai. Meskipun hampir setiap rezim berjanji akan menindak tegas para mafia tanah, tetap saja berulang dan berulang!
Kita sudah punya Undang-Undang no.1 tahun 1958, Undang-Undang Pokok Agraria no. 5 Tahun 1960, Peraturan Pemerintah no.10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah dan PP no.24 Tahun 1997 dan berbagai Peraturan Perundangan lainnya sebagai Turunannya.
Berdasarkan PP 10 Tahun 1961 dan PP 24 Tahun 1997 sudah jelas dan rinci cara pendaftaran tanah.
Mengat status pemilikan tanah begitu penting bagi seseorang, maka wajar bila ia membela tanahnya mati-matian. Sebab, menyangkut masa depan anak dan cucunya serta turunannya.
Perintah peraturan perundangan tentang pendaftaran Desa demi Desa atau Daerah- Daerah setingkat tidak berjalan mulus (padshal sejak 1961).
Dalam pasal 3 PP 10/1961; Dalam daerah yang ditunjuk menurut pasal 2 ayat (2) semua bidang tanah diukur Desa demi Desa.
Dalam pasal 3 ayat(3); sebelum sebidang tanah diukur, terlebih dahulu diadakan; a. Penyelidikan riwayat bidang tanah itu dan b. Penetapan batas-batasnya.
Ayat (5); jika ada perselisihan tentang batas antara beberapa bidang tanah yang letaknya berbatasan atau perselisihan tentang siapa yang berhak atas suatu bidang tanah, maka panitia berusaha menyelesaikan hal itu dengan yang berkepentingan secara damai.
Berdasarkan pengalaman selama ini, perselisihan itu tidak mampu dijembatani dengan bijak oleh panitia tanah, akan tetapi langsung dibawah ke ranah hukum baik secara pidana atau perdata.
Begitu kasus itu dibawah ke Pengadilan, maka bisa ditebak siapa pemenangnya. Sebab bukan siapa yang benar, tetapi siapa yang kuat.
Bukan cuma itu, izin konsesi sebidang lahan kepada sebuah perusahaan atau lembaga seringkali disalah gunakan meskipun belum dibebaskan tanah milik masyarakat. Bahkan dalam prakteknya izin konsesi itu lebih luas dari pada izin seharusnya.
Hal seperti ini tetap terjadi dan masyarakat setempat hanya bisa menonton aksi para mafia tanah yang kadang dibeking oleh aparat tertentu.
Bahwa dalam pasal 6 UUPA no 5/ 1960; Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Kemudian dalam pasal 7 UUPA; Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan pengusaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
Selanjutnya dalam pasal 9 ayat (1); Hanya WNI dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2.
Dalam ayat (2) pasal 9; Tiap-tiap WNI, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Mengingat perkembangan zaman yang berkembang dengan pesat, fungsi sosial tanah telah bergeser jauh. Nilai tanah telah menjadi komersil dan ekonomi. Menjadi status sosial seseorang.
Mencermati UUPA, seharusnya bisa mengangkat harkat dan martabat WNI yang selama ini termarginalkan akibat perbuatan oknum tertentu.
Bahwa sudah bukan rahasia umum terdapat beberapa corporasi yang menguasai lahan dari puluhan ribu sampai dengan jutaan hektar lahan. Hal ini harus dikendalikan dan dihentikan. Bila benar info yang menyatakan 70 persen lahan kita telah dikuasai corporasi, akan kemana rakyat Indonesia lainnya? Ini sangat tidak adil dan bisa menimbulkan konflik besar.
Kalau rakyat tidak mendapatkan haknya, sama halnya mereka hidup diatas angin. Terkatung-katung, pindah dari satu tempat ke tempat lain. Sepertinya zaman purba.
Dikhawatirkan bisa menimbukan konflik horizontal, maka sikat para mafia tanah termasuk corporasi serakah dan jahat!!
Penulis:
– Ang MPR RI 1987-1992,
– Ang dan Pimp DPRD DKI Jakarta selama 15 thn,
– Komut BUMN 2015-2020