Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur
Jakarta – ekpos.com – Di Bulan Dzulhijjah ini ummat Islam baru saja menunaikan dua ibadah yang agung, yakni ibadah haji dan qurban dengan segala rangkaiannya.
Kedua ibadah itu bersumber dari sosok teladan Nabiyullah Ibrahim. Ibrahim mewariskan sifat-sifat teladan yang layak menjadi acuan bagi generasi mendatang sebagaimana disebutkan Allah Ta’ala dalam firmanNya: “Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian (108), (yaitu) Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim” (109). (QS As-Shaffat: 108-109).
Menurut para mufassir, ayat di atas menegaskan bahwa ummat manusia dari berbagai agama samawi (Islam, Nasrani, dan Yahudi) mencintai Nabi Ibrahim sepanjang masa. Bahkan kaum musyrik Arab pun mengklaim, mereka juga mengikuti agama Ibrahim.
Allah memberikan penghargaan kepada Ibrahim dengan memberikan salam sejahtera kepadanya. Kesejahteraan itu terus berlangsung lestari hingga saat ini, bahkan juga di kalangan para malaikat. Ibrahim adalah suri tauladan abadi.
Ketundukannya kepada aturan Ilahiah selalu menjadi contoh bagi generasi sepanjang masa. Nama Ibrahim disebut sebanyak 69 kali di 24 surat dalam Al-Quran. Ibrahim juga diabadikan menjadi nama sebuah surat. Ibrahim adalah Abul Anbiya, karena 19 dari 25 rasul adalah keturunannya.
Di bawah ini sepuluh sifat teladan Ibrahim yang dapat dijadikan pedoman sepanjang masa, yaitu,
Pertama, menjadi pribadi tangguh dengan tauhid. Tauhid yang kuat akan membentuk seseorang menjadi manusia tangguh.
Nabi Ibrahim dalam melaksanakan tugas dakwah tidak pernah patah semangat, meskipun
harus berhadapan dengan orang-orang yang menghalanginya seperti ayahnya sendiri dan bahkan Raja Namrud.
Tauhid juga menjadi sumber ketenangan dan ketenteraman bagi manusia, karena tauhid memenuhi hati dengan rasa aman dan tenang. Tidak ada yang ditakuti selain Allah. Tauhid telah menutup pintu-pintu rasa takut terhadap berbagai ancaman dan bahkan kematian. Ketenangan itu didapatkan dengan ikhlas tunduk hanya kepada Allah dan tidak mencampur-adukkan ketauhidan dengan perbuatan syirik.
Kedua, selalu menyempurnakan janji. Nabi Ibrahim dikenal sebagai sosok yang selalu menunaikan janji-janjinya. Salah satu kisah yang fenomenal adalah kesediaannya menunaikan janji untuk mengorbankan sesuatu yang paling ia sayangi, yaitu menyembelih putera kesayangannya, Ismail.
Sifat itu pun diwarisi oleh putranya, Ismail, hingga kepada Nabi Muhammad. Sebelum menerima wahyu dan diangkat menjadi Rasul, Muhammad sudah mendapat gelar Al-Amin
(yang terpercaya) dari masyarakat Arab.
Ketiga, senantiasa pasrah total (tawakkal) kepada Allah. Kepasrahan Nabi Ibrahim tampak dalam berbagai ujian yang dihadapi. Mengutip dari buku “Kisah Para Nabi: Sejarah Lengkap Kehidupan Para Nabi Sejak Adam Hingga Isa” karya Prof. Dr. Abdul Hayyi al-Famawi, dikatakan bahwa ketika Nabi Ibrahim berada di atas tungku api, Jibril datang dan menawarkan bantuan.
Jibril berkata, “Wahai Ibrahim, apakah engkau perlu bantuan?” Lalu Ibrahim memberi jawaban, “Kalau kepadamu, aku tidak butuh bantuan apapun”.
Sebagian ulama menyebutkan bahwa di saat genting tersebut Nabi Ibrahim mengucapkan do’a yang tertulis dalam Al-Quran Surat Ali Imran ayat 173: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” Berkat tawakkal dan keyakinannya, Nabi Ibrahim mendapatkan pertolongan dari Allah.
Keempat, keberanian menghadapi tiran. Ibrahim muda dikenal sebagai sosok yang berani menghadapi segala macam bentuk penyimpangan. Kala itu, usia Ibrahim masih 16 tahun, ia sudah melakukan hal spektakuler, yakni menghancurkan patung-patung berhala yang ada di kampungnya.
Suatu malam menjelang hari raya yang dinantikan penduduk Babilonia, Ibrahim muda secara diam-diam menghancurkan berhala yang ada di tempat persembahan dengan sebuah kapak. Setelah hancur, kapak itu diletakkannya di patung yang paling besar yang sengaja disisakan.
Keesokan paginya Ibrahim dituduh sebagai pelaku perusakan itu. Dengan kecerdasannya, Nabi Ibrahim menjawab, “Bukan aku yang melakukannya, lihatlah kapak itu dipegang patung yang paling besar.”
Para pembesar mengatakan, tidak mungkin patung besar itu bisa menghancurkan patung lainnya karena ia tidak bisa berbuat sedikitpun. Di sinilah Ibrahim muda menimpali, jika memang tidak bisa berbuat sedikitpun, mengapa kalian memyembahnya.
Nabi Ibrahim melanjutkan pertanyaannya, “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu buat sendiri? Apakah berhala-berhala itu mendengar do’a kalian?
Dapatkah mereka memberi kebaikan atau mudharat kepadamu?” Ucapan Ibrahim itu dikisahkan dalam surah Al-Anbiya [21]ayat 60-70. Tindakan menghancurkan patung-patung berhala itu hanya berlaku pada zaman Nabi Ibrahim. Adapun syariat Nabi Muhammad, tindakan semacam itu tidak diperbolehkan, sebelum dilakukan dakwah secara maksimal. (lihat surah Al-Hajj [22]: ayat 40).
Kelima, memiliki ketajaman argumentasi. Suatu hari Ibrahim menghadiri jamuan makan yang digelar Namrud. Namrud bertanya pada tiap tamunya tentang siapakah tuhan mereka. Hampir tiap hadirin yang ia tanya menjawab bahwa Namrud adalah tuhan mereka.
Tiba giliran Ibrahim mendapat pertanyaan serupa, dan ia menjawab, ”Allah”. Maka terjadilah adu argumen antara keduanya. Betapa kagetnya Namrud mendapat jawaban yang tidak biasa. “Tuhanku yang menghidupkan dan mematikan,” kata Ibrahim.
Namrud membantah argumentasi Ibrahim bahwa dirinya juga bisa menghidupkan dan mematikan. Untuk membuktikan hal itu, Namrud mendatangkan dua orang tahanan, satu
dibunuh dan satunya lagi dibiarkan hidup.
Melihat jawaban Namrud, Ibrahim mengutarakan argumentasi berikutnya tentang keberadaan Allah sebagai Tuhan semesta alam. Ibrahim menyatakan bahwa Allah mampu mendatangkan matahari dari timur dan menenggelamkannya di barat. “Bisakah engkau melakukan sebaliknya wahai Namrud?” tanya Ibrahim. Sang Diktator pun tak bisa berkutik dan kehabisan akal untuk menyanggah argumen Ibrahim. Ia terdiam seribu bahasa. Merasa kalah, ia lantas memerintahkan pengawalnya untuk mengambil makanan yang ada di tangan Ibrahim.
Menurut Ibnu Katsir, Ibrahim telah dianugerahi bimbingan semenjak ia masih kecil. Allah mengilhamkan kepadanya argumen-argumen untuk melawan kaumnya. Sedangkan menurut Quraish Shihab, Allah telah menganugerahkan kepada Ibrahim hidayahNya yang sempurna, sehingga ia memperoleh kematangan daya pikir, kecerdasan, dan kejernihan hati.
Keenam, paling panjang melakukan perjalanan hijrah dan dakwah. Imam Ath Thabari dalam kitabnya, Tarikh al Umam wa al Muluk mengisahkan perjalanan Nabi Ibrahim dalam hijrahnya menempuh jarak sekurangnya 1.500 kilometer dengan dipandu Malaikat Jibril.
Ibrahim meninggalkan negerinya, Ur, Babilonia (sekarang wilayah Turki) menuju Kan’an (Palestina). Di sanalah Ibrahim menikah dengan Sarah. Wilayah Palestina yang ditempati oleh keluarga Ibrahim sekarang bernama Hebron (Al-Khalil).
Karena terjadi kekeringan panjang di Palestina, Ibrahim kemudian hijrah ke Mesir. Ketika itu Sarah dibawa ke Mesir dan raja tertarik kepadanya. Namun Allah menyelamatkannya dari kedzaliman raja Mesir. Oleh Raja Mesir, Ibrahim diberi hadiah yaitu Hajar.
Ibrahim kemudian menikahi Hajar dan dikarunia seorang putra laki-laki bernama Ismail.
Atas perintah Allah, Ibrahim bersama istri dan anaknya melakukan perjalanan dari Hebron ke Mekkah (berjarak sekitar 1.500 km). Setelah itu Ibrahim kemudian beberapa kali melakukan perjalanan dari Palestina ke Mekkah untuk menemui anak dan istrinya.
Ketujuh, sosok yang sangat peduli dengan keturunannya. Bagi Ibrahim, anak adalah pewaris risalah tauhid. Sejarah membuktikan bahwa Ibrahim berhasil mendidik anak-anaknya menjadi orang shalih dan bertaqwa. Putra Ibrahim, yaitu Ismail dan Ishaq menjadi sosok nabi dan rasul.
Dari Ishaq lahir para nabi dan rasul keturunan Bani Israel (Ya’kub). Demikian pula dengan keturunan Ismail, terlahir rasul paling mulia, yaitu Nabi Muhammad.
Do’a Nabi Ibrahim untuk keturunannya diabadikan dalam Al-Quran: “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibrahim [14]: 40).
Kedelapan, memikirkan kesejahteraan keturunannya. Nabi Ibrahim Alaihi salam juga mendo’akan agar anak keturunannya dikaruniai rizki yang melimpah guna menopang ibadah mereka. Hal itu diabadikan dalam Al-Quran: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman ….” (QS. Al-Baqarah [2]: 126).
Ada yang menarik dari ayat di atas. Nabi Ibrahim berdoa supaya keturunannya diberi rizki berupa bauh-buahan. Pertanyaannya, mengapa tidak meminta gandum atau makanan pokok lainnya?
Prof. Quraisy Syihab menjelaskan, buah-buahan adalah simbol seseorang dapat memenuhi kebutuhan gizi yang cukup. Jika seseorang mampu membeli buah-buahan, secara otomatis makanan pokoknya sudah terpenuhi.
Kesembilan, sangat lembut hatinya. Nabi Ibrahim adalah sosok yang begitu lembut hatinya serta penyantun. Sifat lembutnya itu terwujud, salah satunya dalam sikap dan caranya dalam menyampaikan dakwah kepada ayahandanya, Azar, seorang pembuat, penjual, sekaligus penyembah patung berhala.
Mengutip buku berjudul “Kisah Bapak dan Anak dalam Al-Quran” oleh Adil Musthafa Abdul Halim, Nabi Ibrahim terus mengulangi kata-kata nasihat itu dengan cara yang lembut. Ia tidak pernah mencap bapaknya sebagai orang yang bodoh lantaran menyembah berhala. Nabi Ibrahim tidak lantas marah ketika ayahanda menolak dakwahnya.
Dengan kelembutan, Ibrahim berkata, “… aku akan memohon kepada Allah, agar Dia mau memberikan hidayah kepadamu serta mau mengampuni dosa-dosamu. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (QS. Maryam [19]: 47).
Kesepuluh, sangat senang menerima tamu. Orang yang pertama kali melakukan perbuatan yang mulia ini ialah Nabi Ibrahim. Syaikh as-Sa’di menjelaskan, “Sesungguhnya memberi jamuan kepada tamu (dhiyâfah) termasuk sunnah (tradisi) Nabi Ibrahim yang Allah memerintahkan kepada Muhammad dan ummatnya untuk mengikuti ajarannya”.
Dalam kitab “Nashoihul Ibad” dijelaskan, Nabi Ibrahim tidak pernah makan (siang atau malam) kecuali ada tamu yang menemaninya. Ia rela berjalan hingga dua mil untuk mencari tamu agar dapat makan bersamanya. Dari sifat mulia itulah Allah memberi gelar sebagai Khalilullah (kekasih Allah).
Penulis: Imaam Yakhsyallah Mansur, adalah Pembina Yayasan Al-Fatah Indonesia.