Jakarta – ekpos.com – Artis yang juga produser Lola Amaria tengah berada di New York, Amerika Serikat bersama rekannya yang juga berada di Lola Amaria Productions (LAP), Gia Partawinata.
Sambil liburan dan membuka jaringan perkawanan serta bisnisnya, sutrada film Negeri Tanpa Telinga ini juga memperdalam keilmuannya dengan mendaftarkan dirinya di Kaplan College di New York, untuk short course selama dua bulan. Ia mengambil mata kuliah Humaniora dan Bisnis.
Universitas yang berlokasi di tengah hiruk pikuk atau jantung Manhattan itu, bukan semata sebagai lembaga pendidikan yang didesain ulang dengan segala modernitas sistem ajarnya. Tapi sekaligus mempertemukan Lola Amaria dengan siswa lainnya, dengan berbagai latar belakang budayanya.
Di universitas yang terletak satu jalan dari Central Park South ini, Lola Amaria, harus hampir seharian berada di kelas. Dari pukul 8.30 pagi sampai pukul 15.30 sore waktu NY.
“Dari Senin sampai Jum’at kuliahnya, sedangkan pada hari Sabtunya, nyuci baju, belanja harian, untuk keperluan masak sendiri, dan istirahat. Pada Minggu kalau sempat baru jalan-jalan eksplorasi New York,” cerita Lola melalui saluran telepon, Jum’at (5/11/2021) pagi, atau malam hari waktu NY.
“Kuliahnya dari uang mandiri, tapi untungnya nggak semahal sekolah di Jakarta kok,” sambung Lola Amaria terkait biaya pendidikannya.
Sejak mendaftar di Kaplan College yang hanya berjarak sepelemparan batu dengan distrik teater yang ramai dan ikon artistik seperti Museum of Arts and Design (MAD), Lola langsung mengurus surat kepelajarannya.
“Kalau punya ID pelajar, naek angkot, masuk museum, sampai nonton bioskop, bisa dapat diskon sampai 50 persen, ngebantu banget,” katanya lagi.
Saking happy-nya dengan sistem ajar mengajar di Kaplan College, ternyata terselip banyak kesedihan bagi produser dan salah satu sutradara film Lima (2018) ini.
“Negara maju mikirnya emang beda ya. Di sini (Amerika Serikat) PCR gratis. Di negaraku tercinta harganya dari 1,5 juta, turun jadi 1 juta, jadi 800 ribu, turun lagi jadi 500 ribuan, tapi tetep aja semurah-murahnya ratusan ribu,” ungkap Lola.
Bahkan dalam banyak kasus, Lola melanjutkan, pemerintah AS bahkan memberikan kompensasi sejumlah dolar kepada warga negaranya, yang mau melakukan vaksin gratis. Menimbang, banyak juga warga negara AS, juga pegawai negerinya, yang menolak divaksin karena alasan tertentu.
Bahkan Marijuana (Ganja) di beberapa negara bagian di AS, sudah dilegalkan, dengan tetap berpegang pada aturan bernegara yang sangat ketat. Seperti pemakaiannya untuk alasan kesehatan, penyembuhan dan pemakainya tidak dibawah umur.
“Karena dibalik semua itu (dilegalkannya marijuana) adalah bisnis besar. Mereka di sini harus merasakan yang tumbuh di Aceh. Kualitas terbaik di dunia, paling tidak itu menurut pengakuan pengguna marijuana di Belanda,” kata Lola Amaria.
Lola Amaria menegaskan, sejatinya Indonesia akan menjadi kaya raya kalau pengelolaan marijuana diatur oleh negara dengan sangat benar penggunaan, dan perdagangannya.
“Kalau (ganja) yang tumbuh di Aceh di ekspor ke berbagai belahan dunia, kemaslahatannya bisa digunakan untuk kepentingan pendidikan, kesehatan, pembangunan fasilitas umum dan lain-lain. Duh gregetan akutuuuuu…. Kalo ngomong soal kekayaan alam dan hasil bumi Indonesia. Kopi disini gak ada enak-enaknya. Starbucks aja paling enak katanya. Padahal itu kopi paling gak enak yang pernah aku rasain. Jauuuuuuh sama kopi Bajawa atau kopi Robusta Lampung. Lagi-lagi (Starbucks) itu soal bisnis dan gaya hidup belaka,” urai Lola, gregetan.
Singkatnya, banyak yang dipelajari Lola Amaria, yang menurut rencana baru akhir bulan ini merampungkan jenjang pendidikannya.
Sebelum kembali ke Jakarta dan berencana tahun depan, akan kembali belajar di AS, mengambil mata kuliah lainnya. (Red).