Oleh Syah Sabur
Jakarta – ekpos.com – MENJUMPIT Musashi dari kumpulan bacaan di rak buku di rumah. Jadi ingat kembali pengalaman ‘menggemaskan’ puluhan tahun lalu, saat saya masih kuliah di IKIP Bandung (sekarang jadi UPI alias Universitas Pendidikan Indonesia). Saat itu, tahun 1982-1987, saya termasuk salah satu mahasiswa dengan uang saku super minim.
Tapi saya masih beruntung, tidak se-kere teman saya yang harus mondok di masjid milik kampus. Bukan hanya itu, dengan uang saku yang sering tidak ada di saku, teman saya kadang harus super kreatif untuk mengelola uangnya. Saat itu misalnya, alih-alih menggoreng ikan asin, dia sering terpaksa harus ‘memasaknya’ dengan setrika.
Memasak ikan asin dengan setrika? Bagaimana bisa? Ya, dia memang punya beras dan ikan asin untuk makan sehari-hari. Tapi dia sering tak punya uang untuk membeli minyak guna menggoreng ikan asin sebagaimana lazim dilakukan manusia beradab pada umumnya. Untunglah, dia punya setrika yang biasa dipakai membuat pakaiannya menjadi licin.
Ya, dia memakai setrika untuk mematangkan ikan asin. “Yang penting kan ikan asin jadi matang,” kata teman saya, sambil tergelak. Lalu kami pun makan dengan lahap. Soal bagaimana setrika itu harus dicuci agar tidak membuat pakaian jadi bau, biarlah itu jadi urusan teman saya, yang sekarang entah tinggal dimana, hehe.
*Filsuf dan ahli pedang*
Kembali ke buku Musashi, novel epik ini awalnya dimuat harian Kompas sebagai cerita bersambung sekitar tahun 1983-1984. Tentu saja novel ini selalu jadi perbincangan hangat di antara sejumlah mahasiswa di kampus atau di tempat kos.
Miyamoto Musashi, atau Niten Doraku awalnya berstatus ronin, pendekar tak bertuan yang kemudian menjadi filsuf, penulis, hingga ahli pedang hebat dari Jepang pada awal zaman Edo.
Namanya melegenda karena dia merupakan pengguna dua pedang yang terbilang unik pada masa itu, dan tak terkalahkan dalam 61 duel. Dia merupakan penemu teknik pedang Nito-Ichi-ry, dan penulis seni bela diri dan berpedang Go Rin No Sho atau The Book of Five Rings dan Dokkodo atau The Path of Aloneness.
Musashi lahir sekitar 1584 di desa Miyamoto, Provinsi Harima, Jepang. Nama kecilnya adalah Bennosuke atau Takezo. Ayah Musashi adalah Shinmen Munisai. Seorang seniman bela diri dan pengguna senjata jitte yang sering dipakai polisi zaman Edo.
Sejak usia tujuh tahun, Musashi diasuh oleh pamannya, Dorinbo, seorang biksu di Kuil Shoreian, tiga kilometer dari Hirafuku. Dorinbo dan Tasumi, pamannya yang lain, mengajari dia agama Buddha dan pendidikan dasar seperti menulis dan membaca.
Adapun untuk ilmu bela diri, Musashi sudah menerima cara menggunakan jitte dari sang ayah, hingga Munisai meninggal pada 1592.
Saya sendiri pernah beberapa kali membaca tentang Musashi di koran. Tapi ada masalah, saya tidak bisa rutin membacanya karena saya hanya mampu membeli koran 2 atau 3 kali dalam sepekan. Sebaliknya, saya juga tidak mungkin membeli novel yang kemudian (tahun 1985) dibukukan dalam 7 jilid itu.
*Kere dan kreatif*
Lagi-lagi soal kreativitas. Manusia kere memang harus kreatif. Saya pun pergi ke toko buku Gramedia yang ada di Jl. Merdeka, Bandung dan masih ada hingga saat ini. Di situlah saya pelan-pelan membacanya novel karya Eiji Yoshikawa itu.
Tentu tidak gampang membaca novel di toko buku karena Gramedia bukan taman bacaan. Berkali-kali saya harus main kucing-kucingan dengan satpam toko. Kadang saya bisa menghabiskan waktu beberapa jam menikmati halaman demi halaman dengan aman. Adakalanya saya tertangkap basah oleh satpam. Kalau sudah begitu, saya diminta berdiri disertai sedikit omelan karena membuka plastik pembungkus buku.
Sebagai mahasiswa kere, tentu tidak ada kata mudah menyerah menghadapi berbagai kesulitan. Sehari atau beberapa hari kemudian saya pun kembali ke toko buku dengan mata lebih awas. Ibarat maling, saya harus lebih jeli ketimbang satpam. Tapi maling pun kadang bernasib sial dan saya kembali tertangkap tangan satpam itu, hehe.
*Gagal temukan bukti kejahatan*
Meskipun demikian, tetap saja saya setia dengan Musashi dan kembali menemuinya di toko buku. Kadang saya membeli satu buku yang murah untuk saya baca di toko buku. Dengan cara itu, saya pun bisa membaca buku Musashi. Saat satpam menghampiri, saya tunjukkan bahwa saya sedang membaca yang saya beli, sambil saya umpetin buku Musashi. Satpam pun pergi dengan menyisakan sedikit kecurigaan tapi gagal menemukan bukti ‘kejahatan’ saya.
Lama kelamaan satpam pun sepertinya tidak tega dengan mahasiswa kere seperti saya. Empatinya pun perlahan muncul dan dia pura-pura tidak melihat aksi saya. Entah berapa lama hal itu saya lakukan. Yang jelas cukup lama karena saya membaca buku hingga khatam. Tentu saja cara membaca yang tidak biasa ini tidak nyaman karena saya membaca dengan posisi jongkok.
Tentu saja hanya Musashi yang saya baca dengan cara tidak biasa. Selebihnya, saya membaca buku di kampus saat istirahat atau di tempat kos. Walaupun uang saku pas-pasan, saat itu saya bertekad untuk membeli 1-2 buku tiap bulan.
Kadang saya membelinya di Gramedia, kadang di toko buku Sumur Bandung yang lokasinya tak jauh dari alun-alun kota Bandung atau di salah satu buku yang menjual banyak buku impor di Jalan Braga.
*Toko buku bekas*
Tapi yang lebih sering tentu saja berburu buku bekas di kawasan Cikapundung, di sepanjang trotoar (kalau gak salah) dekat kantor PLN kota Bandung, masih di seputar alun-alun.
Di antara beragam pilihan, saya paling sering berburu buku di Palasari, deretan toko buku yang berada di kawasan Buahbatu.
Palasari menjual beragam buku, baik yang baru dengan diskon 10-30 persen, buku lama dengan harga tergantung nego, dan buku bajakan dengan kualitas pas-pasan. Artinya, tulisan biasanya kurang jelas dengan penjilidan yang gampang terlepas.
Meskipun demikian, saya bisa sedikit bangga dibandingkan beberapa teman yang uang sakunya dua kali lipat atau lebih dibanding saya.
Dengan uang saku yang lebih besar, mereka lebih sering meminjam koran atau buku yang saya beli dengan susah payah.
Padahal, demi buku, kadang saya harus mengurangi jatah makan. Kadang saya makan di warung kecil yang biasa dihampiri sopir angkot. Meskipun datang di warung makan yang sama tapi kami pada dasarnya berbeda. Artinya, menu saya selalu lebih sederhana dibandingkan para sopir, hahaha.
SYAH SABUR, wartawan senior, kini Ketua Lembaga Informasi & Komunikasi (LKI) Partai Golkar.