Serang – ekpos.com – Praktisi media Aat Surya Safaat menilai, Lembaga Kemanusiaan Aqsa Working Group (AWG) selama ini berperan menjalankan “second track diplomacy” (diplomasi jalur kedua) bagi pembebasan Masjid Al-Aqsa dan kemerdekaan Palestina dari penjajahan Zionis Israel.
“Saya bersyukur dan mengapresiasi upaya AWG bersama komponen komunitas masyarakat internasional lainnya atas upayanya yang tulus dan bersungguh-sungguh untuk membantu pembebasan Masjid Al-Aqsa dan bumi Palestina dari cengkraman penjajah Zionis Israel,” katanya di Serang, Banten, Kamis (20/1/2022).
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) itu mengemukakan keterangan tersebut dalam perbincangan dengan wartawan terkait akan dilaksanakannya “Konferensi Perempuan Internasional untuk Pembebasan Al-Aqsa dan Palestina” oleh AWG pada 17 Maret 2022 di Jakarta.
Sebelumnya AWG juga menggelar “Pekan Solidaritas Palestina” pada 22-29 November 2021 yang diwarnai berbagai kegiatan, termasuk pengumpulan donasi bagi pengungsi Palestina dan pengibaran bendera Palestina dan Indonesia di beberapa puncak gunung di Indonesia yang kemudian menjadi perhatian berbagai media internasional.
Lembaga Kemanusiaan dan Ke-Palestinaan yang mempunyai hubungan dan kerjasama erat dengan Kementerian Luar Negeri RI dan Kedubes Palestina di Jakarta serta dengan berbagai elemen masyarakat di Palestina itu juga selalu tampil terdepan dalam membela kepentingan Masjid Al-Aqsa dan rakyat Palestina ketika isu-isu terkait mengedepan.
AWG yang berdiri pada Agustus 2008 dan memiliki 13 biro di seluruh Indonesia itu kini dipimpin oleh Ketua Presidium Muhammad Anshorullah dan Sekjen Subhan Amier Chaf dengan Pembina Imaam Yakhsyallah Mansur yang juga Pembina Jaringan Pondok Pesantren Al-Fatah Indonesia.
Aat lebih lanjut mengemukakan, dewasa ini aktivitas diplomasi menunjukkan peningkatan peran yang sangat signifikan seiring dengan semakin kompleksnya isu-isu dalam hubungan internasional. Hubungan internasional pun tidak lagi semata-mata dipandang sebagai hubungan antar negara, namun juga meliputi hubungan antar masyarakat internasional.
Dengan demikian, diplomasi tradisional atau yang dikenal dengan istilah “first track diplomacy” (diplomasi jalur pertama) yang hanya melibatkan pemerintah dalam menjalankan misi diplomasi tentu tidak akan efektif dalam rangka menyampaikan pesan-pesan diplomasi terhadap suatu negara atau bahkan terhadap dunia internasional.
Maka, aktivitas diplomasi yang melibatkan peran publik akan sangat dibutuhkan dalam rangka melengkapi aktivitas diplomasi tradisional. “Second track diplomacy” yang bersifat informal itu dapat melengkapi, memperkuat, atau mengisi ruang-ruang yang masih kosong dari apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah melalui “first track diplomacy” yang bersifat formal.
“Oleh karena itu, dilihat dari diplomasi publiknya yang luar biasa dalam membela dan mengupayakan pembebasan Masjid Al-Aqsa dan Palestina, saya melihat Aqsa Working Group telah secara nyata menjalankan fungsi ‘second track diplomacy’,” kata Aat.
Menurut Kepala Biro ANTARA di Markas Besar PBB New York periode 1993-1998 itu, dalam kerangka “second track diplomacy” itu pula sejatinya tokoh-tokoh AWG turut berjuang bersama Jaringan Pesantren Al-Fatah dan Lembaga Medis dan Kemanusiaan MER-C (Medical Emergency Rescue Comittee) dalam mendirikan Rumah Sakit Indonesia di Gaza Palestina.
Dalam kaitan ini, tokoh Palestina di Jalur Gaza Ismail Haniya pernah berujar bahwa keberadaan Rumah Sakit Indonesia di Gaza adalah hadiah dari Indonesia untuk Palestina.
Hadiah lainnya adalah hadirnya Kantor Berita Islam MINA yang juga didirikan oleh Pimpinan Jaringan Pesantren Al-Fatah dan MER-C Indonesia. (Red).
Teks foto: Praktisi Media yang juga Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri SMSI, Aat Surya Safaat (Foto: Istimewa).