BANDUNG, Ekpos.Com >> Komunitas pegiat lingkungan yang menamakan diri Rastik di Jalan Pamitran IV No. 22 Cipadung Kulon, Bandung, sudah sejak 10 tahun lalu berkutat dalam pengolahan sampah anorganik. Di antaranya sampah plastik, logam, dan elektronik.
Tentunya adanya Rastik ini bisa mejadi sulusi untuk mengelola sampah yang selama ini menjadi polemik bagi warga dan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung. Mereka mendaur ulang sampah yang sedianya dibuang menjadi barang yang bermanfaat dan bernilai jual tinggi.
Founder dan creator Rastik, Enie Mualifah mengatakan, komunitas Rastik biasanya mengadakan kegiatan rutin setiap Sabtu dan Minggu. Mulai dari proses pengumpulan barang bekas sampai membuatnya menjadi sebuah karya bernilai ekonomi.
“Biasanya kita dapat sampah dari warga sekitar. Tapi, kalau saat kita bikin ternyata masih kurang bahan, biasanya kita cari ke tukang rongsok,” ujar Enie.
Hasil dari prakarya ini, mereka jual melalui online. Enie mengungkapkan, banyak respon positif yang ia terima dari konsumennya.
Tak hanya personal, tapi juga dari tataran pemerintah kerap memesan karya tangan Enie dan kawan-kawan Rastik.
“Banyak yang pesan Alhamdulillah. Ada dari pemerintah sekitar Bandung. Ada juga yang personal dari Kalimantan pesan karya kita,” ungkapnya.
Untuk kisaran harga, Enie menyebutkan, tergantung dari tingkat kesulitan dalam membuat pesanannya. Sebab, jika semakin rumit atau spesifik, biasanya sulit juga dalam mencari bahan baku barang bekas elektronik yang dibutuhkan.
“Kisaran harga Rp25.000 – Rp1,5 juta. Selain dari ukuran, harganya juga tergantung tingkat kesulitan bahan dan lamanya pembuatan,” ucap Enie.
“Paling mudah itu kita bisa menyelesaikan dalam waktu satu jam, seperti gelas pot, atau kerajinan yang diukir sederhana. Lalu, yang lama itu bikin lukisan, instalasi, atau wastafel. Biasanya jadi dua minggu atau 1-2 bulan,” imbuhnya.
Saat melihat beberapa karya Rastik, ada satu karya yang sangat menarik, yakni wastafel. Wastafel ini bukan terbuat dari ember, batu, atau kayu seperti yang biasa di pasaran.
Enie menceritakan, wastafel ini ia buat bersama timnya dari bahan elektronik bekas, yaitu mesin jahit manual dan monitor tabung.
“Kantor kelurahan sempat pesan wastafel ini di kami. Pembuatannya itu selama dua minggu. Waktu itu kami jual Rp1,5 juta karena memang bahannya sekarang susah dicari ya, mesin jahit manual yang pakai kaki, dan monitor tabung,” paparnya.
Bukan hanya mengolah sampah elektronik menjadi sesuatu yang antik dan unik, Rastik juga membuat busana dari bekas kulit jengkol.
Bahkan, busana ini sempat mendapatkan penghargaan dari Atalia Praratya tahun 2017, semasa Ridwan Kamil masih menjadi wali Kota Bandung.
“Waktu itu kami diundang ke acara fashion show pameran batik di Siliwangi tahun 2017. Beberapa busana yang kami buat itu dari bahan kulit jengkol dan bekas jok sofa. Alhamdulillah dapat penghargaan dari Ibu Atalia,” cerita Enie.
Enie menjelaskan, kegiatan pengolahan limbah anorganik ini juga merupakan salah satu inovasi dari Program Inovasi Pembangunan dan Pemberdayaan Kewilayahan (PIPPK) yang berada di bawah Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Enie sangat berharap, akan semakin banyak orang yang bisa teredukasi dari hasil karyanya bersama teman-teman di komunitas Rastik ini.
“Semoga masyarakat jadi paham ya kalau sampah itu juga masih punya nilai ekonomi kalau kita bisa mengolahnya dengan cara yang tepat,” tuturnya.