Refleksi Hari Bahasa Ibu Internasional: Bahasa Ibu Mengantarkan Bangsa Menunju Keunggulan Kompetitif

Oleh: A. Rusdiana

 Mungkin diantara sebagian masyarakat tidak memperdulikan, bahwa bulan Februari ada satu hari penting yang sering luput dari perhatian rakyat Indonesia, yaitu Hari Bahasa Ibu Internasional, 21 Februari sebagai “Hari Bahasa Ibu Internasional”, yang telah disahkan oleh UNESCO pada 17 November 1999 itu. Penyebabnya bisa bermacam-macam, salah satunya: “apa uniknya Hari Bahasa Ibu Internasional itu”? Ajip Rosidi (2010), menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan istilah ”bahasa ibu” adalah yang selama ini biasa disebut dengan istilah ”bahasa daerah”. Menurut dia, istilah ”bahasa daerah” kurang tepat karena pada kenyataannya bahasa-bahasa tersebut tidak mempunyai daerah yang khusus. Misalnya, bahasa Jawa, kecuali digunakan di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta, juga digunakan di Jawa Barat (Cirebon dan Banten).

Bahasa ibu disahkan oleh UNESCO (mother tongue), adalah bahasa pertama yang diperoleh dan dikuasai seseorang. Menurut para ahli, bahasa ibu merupakan dasar cara berpikir seseorang. Oleh karena itu, pada tahap-tahap awal perkembangan diri seseorang, peran bahasa ibu sangat menentukan. Dardjowidjojo (2012:242) mengaskan bahwa bahasa ibu adalah; “bahasa yang dipakai oleh orang dewasa pada saat berbicara dengan anak yang sedang dalam proses pemerolehan bahasa ibunya. Bahasa ibu dikenal dengan bahasa sehari-hari yang biasa dipakai oleh anak-anak disekitar lingkungannya, sangat mudah dipelajari dan diikuti oleh mereka yang bergaul seusianya”.

Biasanya, seseorang yang penguasaan bahasa ibunya rendah akan mengalami kesulitan dalam pemerolehan pengetahuan, lebih-lebih jika pengetahuan itu disampaikan dengan bahasa lain. Dalam hal ini, ada bebarapa hasil penelitian para para ahli, antara lain: Freeman dan Freeman (1992) menunjukkan bahwa peserta didik yang belajar di sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa pengantar bahasa kedua (dalam kasus ini bahasa Inggris) sering mengalami kesulitan dalam belajar mata pelajaran lain, seperti matematika, IPA, IPS, dan sejenisnya. Sebaliknya, siswa yang belajar di sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar, cenderung tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar (Cummins, 1989).

Selain itu, Steinhauer (2000) juga merilis hasil penelitian AM Hagen dan T Vallen tahun 1970-an mengenai sekolah dasar di Kota Kerkarde, Provinsi Limburg, di perbatasan Belanda-Jerman. Setiap tahun rata-rata hasil ujian siswa-siswa di kota itu secara signifikan lebih buruk daripada rata-rata hasil ujian siswa di lain tempat di Belanda (bukan perbatasan). Hal itu terjadi karena bahasa pengantar pada sekolah-sekolah di pinggiran tersebut adalah bahasa Belanda baku. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari siswa pada sekolah-sekolah di perbatasan itu menggunakan bahasa campuran: Belanda-Jerman yang secara signifikan berbeda dengan bahasa Belanda baku. Baru setelah bahasa daerah setempat digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah, prestasi belajar siswa membaik.

Amatan para ahli bahasa itu tentu sangat menggelisahkan karena sekolah-sekolah di Indonesia (tidak terkecuali sekolah dasar) justru sedang ngetren berlomba untuk menjadi sekolah (berstandar) internasional yang menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantarnya. Kondisi seperti itu tidak hanya mengancam keberadaan bahasa daerah, tetapi juga bahasa Indonesia. Padahal, kedua bahasa itu (daerah dan Indonesia) masih menjadi bahasa ibu sebagian besar bangsa Indonesia.

Memang, konsep bahasa ibu atau bahasa pertama masih menjadi polemik kalau kita mengacu pada situasi masyarakat tutur yang dwibahasawan, seperti masyarakat yang sejak lahir hidup di perkotaan. Pada masyarakat eka-bahasawan, seperti di Inggris akan tetap mengatakan bahwa bahasa ibu/pertamanya adalah bahasa Inggris (Platt, 1985). Pada masyarakat ekabahasawan, pemerolehan bahasa ibu memiliki stages, method dan function. Dari kajian inilah diperoleh postulat yang kuat bahwa definisi bahasa ibu bisa diformulasikan. Fungsi Bahasa Ibu yang sebenarnya, ditulis dalam buku yang berjudul New Frontiers in Second Language Learning, disunting oleh John. Schumann dan Nancy Stenson (1974:39-40); yang meyatakan bahwa: The functions of language are three components: communicative, integrative and expressive. Through the communicative function information is exchanged among persons. The integrative function serves to mark one’s identity within the society and the expressive function is designed to allow the expression of certain psychological needs. Dari kutipan ini megisaratkan bahwa fungsi bahasa seperti ini bisa digunakan untuk mengidentifikasi konsep bahasa ibu tersebut. Apabila suatu bahasa dikatakan bahasa ibu, paling tidak harus memenuhi, sekurang-kurangnya tiga kiteria, antara lain sebagai berikut:

Pertama; bahasa dikatakan berfungsi komunikatif bertendensi memiliki kemampuan untuk mentransfer infromasi dari seseorang ke orang lain atau menyebakan terjadi interaksi diantara pemakai bahasa. Melalui fungsi komunikatif, informasi dipertukarkan di antara orang-orang.

Kedua; bahasa dikatakan berfungsi integrative apabila memiliki potensi menjadi identitas, karakter, jati diri dalam guyub tutur bahasa bersangkutan. Fungsi integratif berfungsi untuk menandai identitas seseorang dalam masyarakat;

Ketiga; bahasa dikatakan berfungsi ekspresif bila dirancang untuk mengungkapkan kebutuhan yang bersifat psikologis. Penutur dengan jitunya memilih sebutir leksikon yang digunakan dalam ujaran dengan harapan Petutur sudah dengan serta merta mendapatkan pemahaman dan sekaligus memiliki dampak kejiwaan akan makna kata tersebut. Dengan fungsi ekspresif dirancang untuk memungkinkan ekspresi kebutuhan psikologis tertentu;

Dari hasil analisis di atas, pemerolehan bahasa ibu selalu dikaitkan dengan bahasa Pertama atau bahasa anak-anak. Konsep pengertian bahasa ibu, selain dicirikan dengan stages (tahapan produksi bahasa); teknik pemerolehan dan yang juga patut dipertimbangkan adalah fungsi bahasa bersangkutan. Bila sebuah bahasa, seperti bahasa Inggris yang mampu mewahanai ketiga fungsi bahasa: komunikatif, integratif dan ekspresif sekaligus, maka kecenderungan bahasa itulah bahasa ibu bagi orang yang berasal dari England.

Apapun pengertian dan makna yang terkadung dalam bahasa Ibu, tersebut di atas, bagi bangsa Indonesia; Pertama; berpedoman pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, mengamanatkan agar bangsa Indonesia mengutamakan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing. Kedua; Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa meyakini bahasa ibu penting dilestarikan agar terhindar dari kepunahan. Sejak Oktober 2019, badan bahasa telah memetakan bahasa-bahasa daerah yang menjadi bahasa ibu masyarakat Indonesia. Jumlahnya kini ada sebanyak 718 bahasa daerah (belum termasuk dialek dan subdialek) yang tersebar di pelosok Tanah Air.

Dengan menguasai sebanyak mungkin bahasa asing karena itulah yang menjadikan daya saing bangsa semakin tinggi. Apabila orang Indonesia mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, bertanggung jawab dalam melestarikan bahasa daerah dan menguasai bahasa asing maka SDM Indonesia akan unggul ke depan. Wallahu ‘Alam Bishawab.

Identitas Penulis

Prof. Dr. H. A. Rusdiana, M.M: Guru Besar Manajemen Pendidikan UIN SGD Bandung; Pendiri dan Pembina Yayasan Pendidikan Al-Mishbah Cipadung Bandung (sejak tahun 1984-sekarang) dan Yayasan Pengembangan Swadaya Masyarakat Tresna Bhakti Cinyasag-Panawangan Kab. Ciamis. (sejak tahun 1994-sekarang).

Penulis Buku Etika Komunikasi Organisas ditebitkan oleh LP2M UIN SGD Bandung Tahun 2019. Alamat: Kompleks Perguruan Islam Al-Misbah. RT. 01/RW 11. Kelurahan Cipadung Kecamatan Cibiru-Kota Bandung. Jabar. email; rusdiana@uinsgd.ac.id. Website: https://a.rusdiana.id.- http://tresnabhakti.org.***

 

Total
0
Shares
Previous Article

Jelang Putusan MK, LaNyalla Ajak Bangsa Indonesia Berdo'a

Next Article

Praktisi Media: Pengusiran dari RDP, Cermin Komunikasi Tak Efektif

Related Posts