Oleh: Ahmad Rusdiana. (Guru Besar bidang Manajemen Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung).
Puasa merupakan ritual klasik pada semua agama wahyu. Inilah yang disitir dalam firman Allah, “Kama kutiba ‘alal ladzina min qablikum,” (QS.al-Baqarah[2]:183), sebagaimana diinstruksikan kepada umat-umat para nabi zaman dahulu yang notabene semuanya beragama Islam juga. Dalam syariat Islam, puasa (shiyām) dimaksudkan menahan diri dari makan-minum dan kegiatan seksual sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, dengan niat ibadah kepada Allah tentunya. Khusus di bulan Ramadhan, puasa merupakan kemestian perorangan (fardhu ‘ayn) setiap individu yang berakal dan dewasa.
Bagi orang-orang yang telah dewasa sejatinya sudah memahami apa filosofi faedah Ramadhan, dan mengapa mereka harus melakukannya?. Sehingga ketika melakukan ibadah tersebut, tidak hanya ikut-ikutan saja. Untuk hal itu, Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami (w.660H), dalam kitabnya, Maqâshid al-Shaum, Sulthân al-Ulamâ’, menerangkan Faedah yang dibicarakan di sini adalah soal “pembangunan diri”, baik dari sisi agama (pahala) maupun individu Ketujuh faedah tersebut antara lain:
Pertama: Raf’u al-Darajât (Meninggikan Derajat); Pandangannya ini didasari oleh beberapa hadits Nabi Muhammad SAW., salah satunya yang menyatakan: “Ketika Ramadhan tiba, dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka dan setan pun dibelenggu” (HR.Muslim).
Maknanya, baik buruknya orang yang berpuasa tergantung pada dirinya sendiri. Karena itu, akan sangat tidak etis jika manusia dengan berbagai peluang kemuliaan derajat yang diberikan Allah di bulan Ramadhan ini masih enggan berbuat baik dan malah berbuat jahat.
Kedua: Takfîr al-Khathî’ât (Penghapus Kesalahan/Dosa); Dasar dari faedah ini adalah hadits Nabi Muhammad SAW., yang mengatakan: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (H.R.Bukhari&Muslim).
Hadits di atas mangajarkan kewajiban puasa dan melaksanakannya. Maksud dari “mengharapkan pahala” adalah, merendahkan diri memohon upah/pahala dari Tuhannya.
Ketiga: Kasr al-Syahawât (Memalingkan/Mengalahkan Syahwat); Faedah ini didasari oleh hadits Rasulullah SAW., yang menyatakan: “Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya menikah lebih bisa menundukan pandangan dan lebih mudah menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, sesungguhnya puasa itu adalah penekan syahwatnya.”HR Imam Ahmad &Bukhari).
Sesungguhnya lapar dan haus dapat mengalahkan syahwat bermaksiat. Niat ibadah inilah yang membuat lapar dan haus memiliki arti, yaitu menjadi ajang melatih diri, mengendalikan hawa nafsu dan meminimalisasi syahwat bermaksiat.
Keempat: Taktsîr al-Shadaqât (Memperbanyak Sedekah); Hal itulah yang memberikan dorongan kepadanya untuk memberi makan pada orang yang lapar.” Dalam hal ini, puasa merupakan sarana pelebur kemungkinan pertama (menjadi egois).
Kelima: Taufîr al-Thâ’ât (Memperbanyak/Menyempurnakan Ketaatan); Hal itulah yang mendorong orang berpuasa memperbanyak ketaatan kepada Allah agar terselamatkan dari api neraka.
Keenam: Syukr ‘Âlim al-Khafiyyât (Bersyukur Mengetahui Kenikmatan Tersembunyi); Manusia sering lalai atas nikmat Tuhan yang mengelilinginya sehari-hari seperti udara, nafas, gerak dan lain sebagainya. Dengan puasa dapat mengembalikan ingatan itu dan membuat mereka mensyukurinya. Ketika berpuasa, manusa menjadi tahu nikmat Allah kepadanya berupa kenyang dan terpenuhinya rasa haus. Karena itu mereka bersyukur.
Ketujuh: Al-Inzijâr‘an Khawâthir al-Ma’âshî wa al-Mukhâlafât (Mencegah Keinginan Bermaksiat dan Berlawanan); orang yang kenyang memiliki kecenderungan lebih untuk bermaksiat, di saat lapar dan haus, fokusnya lebih pada, “tasyawwafat ilâ al-math’ûmât wa al-masyrûbât,. Sehingga mengurangi keinginannya berbuat jahat. Lapar dan haus di sini adalah puasa, yaitu lapar dan haus yang disengaja dan didasari oleh niat ibadah. Niat ibadah inilah yang membuat lapar dan haus memiliki arti, yaitu menjadi ajang melatih diri, mengendalikan hawa nafsu dan meminimalisasi syahwat bermaksiat.
Intinya, puasa merupakan ibadah yang memiliki cakupan waktu yang cukup panjang, dari mulai fajar hingga terbenamnya matahari. Puasa bisa menjadi pencegah efektif untuk manusia dari melakukan perbuatan jahat. Ketika dia hendak melakukan sesuatu, dia teringat bahwa dirinya sedang berpuasa, atau puasanya telah mengingatkan dirinya agar tidak melakukannya. Jika dia tetap melakukannya, dia telah menghilangkan keberkahan puasanya sekaligus melanggar janjinya kepada Tuhan setelah mengikrarkan niatnya untuk berpuasa.
Penulis:
Ahmad Rusdiana, Guru Besar Manajemen Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Peneliti Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) sejak tahun 2010 sampai sekarang. Pendiri dan Pembina Yayasan Sosial Dana Pendidikan Al-Misbah Cipadung-Bandung yang mengembangkan pendidikan Diniah, RA, MI, dan MTs, sejak tahun 1984, serta garapan khusus Bina Desa, melalui Yayasan Pengembangan Swadaya Masyarakat Tresna Bhakti, yang didirikannya sejak tahun 1994 dan sekaligus sebagai Pendiri Yayasan, kegiatannya pembinaan dan pengembangan asrama mahasiswa pada setiap tahunnya tidak kurang dari 50 mahasiswa di Asrama Tresna Bhakti Cibiru Bandung. Membina dan mengembangkan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) TK-TPA-Paket A-B-C. Rumah Baca Masyarakat Tresna Bhakti sejak tahun 2007 di Desa Cinyasag Kecamatan. Panawangan Kabupaten. Ciamis Jawa Barat. Karya Lengkap sd. Tahun 2022 dapat di akses melalui: (1) http://digilib.uinsgd.ac.id/view/creators. (2) https://www.google.com/ search?q =buku+a.rusdiana +shopee&source (3) https://play.google.com/store/books/author?id.***rie