Oleh Dr Anang Iskandar, Ahli Hukum Narkotika, Mantan KA BNN.
Jakarta – ekpos.com – Kebijakan hukum dalam menaggulangi masalah narkotika di Indonesia berdasarkan pada UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal tentang narkotika beserta protokol yang merubahnya, dan UU no 7 tahun 1997 tentang pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988.
Kemudiaan atas persetujuan DPR, Pemerintah membuat UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang berlaku sekarang ini.
UU narkotika tersebut berasaskan perlindungan, pengayoman, kemanusiaan dan nilai nilai ilmiah disamping asas keadilan, ketertiban, keamanan dan kepastian hukum.
Asas keadilan, ketertiban, keamanan, kepastian hukum tersebut menjadi dasar penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya wajib memperlakukan sama tanpa membeda bedakan antara satu dengn lainnya, harus dapat mewujudkan ketertiban masarakat, rasa aman dan tentram bagi pelaku dan masarakat.
Asas perlindungan, pengayoman dan nilai nilai ilmiah menjadi dasar menjadi dasar bagi penegak hukum untuk menciptakan ketentraman, menjaga dan menyelamatkan masarakat dari bahaya narkotika dengan memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang kesehatan
Asas kemanusiaan dalam menjalankan penegakan hukum, penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim harus menjamin hak dan kewajiban setiap pelaku kejahatan yang mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia
Penyalah guna narkotika sebagai pelaku kejahatan, penderita sakit kecanduan narkotika diwajibkan UU narkotika (pasal 55) untuk melakukan wajib lapor pecandu guna mendapatkan perawatan berupa rehabilitasi dan penyalah guna sebagai pecandu berhak mendapatkan perawatan berupa rehabilitasi secara proporsional agar sembuh/pulih melalui putusan atau penetapan hakim untuk menjalani rehabilitasi (pasal 103)..
Asas asas tersebut tergambar pada tujuan dibuatnya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, memuat tujuan pencegahan dan tujuan pemberantasan selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Undang Undang tentang narkotika bertujuan:
a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan dan tehnologi.
b. Mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa indonesia dari penyalahgunaan narkotika.
c. Menberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan
d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu.
Selaras dengan tujuan dibuatnya tersebut diatas, penyalah guna diwajibkan UU (pasal 55) untuk melakukan wajib lapor pecandu ke IPWL yaitu rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk untuk mendapatkan perawatan berupa rehabilitasi, dan penyalah guna sebagai pecandu dalam proses penegakan hukum berhak untuk sembuh/pulih melalui keputusan atau penetapan hakim berdasarkan ketentuan pasal 103.
Sayang sejak berlakunya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, Implementasi hak dan kewajiban penyalah guna tersebut mengalami distorsi, sebab hakim dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika menggunakan hukuman penjara sehingga menyebabkan penanggulangan kejahatan penyalahgunaan narkotika menjadi tidak effektif dan effisien serta merugikan masarakat.
Hakim harus taat asas.
Asas asas yang berlaku dalam UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang harus diperhatikan hakim dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika dengan kepemilikan narkotika untuk dikonsumsi adalah asas nilai nilai ilmiah dan asas kemanusiaan.
Asas nilai ilmiahnya bahwa akibat menyalahgunakan narkotika menyebabkan penyalah guna mengalami kecanduan (menjadi pecandu) ditandai dengan kondisi phisik maupun psikisnya dalam keadaan ketergantungan/kecanduan akan narkotika. Penyalah guna bisa sembuh/pulih hanya melalui proses rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Ini menjadi domeinnya ahli kesehatan jiwa/adiksi
Asas kemanusiaannya bahwa penyalah guna sebagai pecandu berhak mendapatkan penyembuhan/pemulihan atas sakit adiksi kecanduan yang dideritanya melalui proses peradilan yang adil.
Dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika dengan kepemilikan untuk dikonsumsi, hakim wajib memperhatikan asas kemanusiaan dan asas nilai nilai ilmiah (54) dengan kewajiban meminta keterangan ahli kesehatan jiwa untuk mengetahui kondisi taraf ketergantungannya dan berapa lama rencana terapinya sebagai referensi hakim dalam menjatuhkan lamanya hukuman rehabilitasi.
UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, hakim diberi kewajiban (pasal 127/1) dan diberi kewenangan secara khusus dalam memeriksa perkara penyalah guna untuk memperhatikan pasal 54, pasal 55 dan penggunaan pasal 103.
Pasal 103 selengkapnya sebagai berikut:
(1). Hakim dalam memeriksa pecandu narkotika dapat:
a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tidak pidana narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu tersebut terbukti tidak bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
(2). Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
itu sebabnya asas kemanusiaan, asas nilai nilai ilmiah dan tujuan UU narkotika dalam menanggulangi masalah penyalahgunaan narkotika harus ditaati oleh hakim.
Ketidaktaatan hakim pada asas asas tersebut dan tujuan penegakan hukum serta kewajiban menggunakan kewenangan yang diberikan UU menyebabkan terjadi contra produktif antara lain terjadi anomali lapas dan terjadi residivisme seperti yang dialami oleh Jeniver Dunn, Tio Pakusadewo, Rhido Rhoma, Rio Reifan dan banyak masarakat non artis keluar masuk penjara lebih dari sekali serta berakibat menjalarnya kejahatan penyalahgunaan narkotika sampai ke desa desa.
Dan yang harus difahami oleh para hakim, bahwa penyalah guna secara yuridis memang diancam pidana tetapi bentuk hukumannya menggunakan alternatif hukuman berupa rehabilitasi melalui keputusan atau penetapan hakim bersifat wajib. Memenjarakan penyalah guna adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh hakim dalam proses peradilan.
Saya minta Mahkamah Agung berubah tidak lagi menggunakan hukuman penjara, karena hukuman penjara tidak berlaku bagi penyalah guna narkotika dan merugikan masarakat.
Jangan sampai terulang apa yang dialami Nia Rahmadani cs, di hukum penjara dulu kemudian dianulir oleh hakim tinggi untuk menjalani rehabilitasi dan seperti yang dialami Rhido Rhoma di hukum rehabilitasi dulu oleh hakim Pengadilan Negeri, kemudian dihukum penjara oleh Pengadilan Tinggi.
Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya. ***