Jejak Sejarah Sang Pencerah Bangsa : Ki Hadjar Dewantara, Ajaran dan Perjuangan yang Terlupakan

Oleh: Ahmad Rusdiana ( Guru Besar Manajemen Pendidikan UIN SGD Bandung)

Setiap tanggal 2 Mei para pelajar di seluruh Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Namun tanggal 2 Mei 2022, tahun ini bertepatan dengan dengan hari raya Idul Fitri 1443 H. Tanggal 2 Mei oleh pemerintah ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS), karena bertepatan dengan kelahiran Ki Hajar Dewantara, lahir dari kalangan ningrat di Yogyakarta pada 2 Mei 1889 silam dengan nama R.M. Suwardi Suryaningrat. Ki Hajar Dewantara tutup usia saat berumur 70 tahun pada 26 April 1959. Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai pelopor/Bapak pendidikan telah berhasil memperjuangkan pendidikan untuk warga pribumi saat penjajahan Belanda. Ki Hajar Dewantara juga mendirikan sekolah Taman Siswa untuk penduduk pribumi. Tujuan Taman siswa di dirikan agar masyakarat pribumi kala itu mendapat pendidikan yang sama dengan bangsawan kala itu. Untuk mendapatkan pendidikan pada zaman penjajahan Belanda merupakan hal yang sulit dan terbilang sangat sulit dan mahalnya biaya yang tinggi membuat hanya bangswan saja kala itu yang mampu bersekolah. Dengan perjuangannya yang sangat keras, Ki Hajar Dewantara telah berhasil merintis dan membuka jalan untuk pendidikan di Indonesia. Akhirnya, Ki Hajar Dewantara dinobatkan sebagai bapak Pendidikan Indonesia. (Dikutip dari National Geographic Grid ID).

Dalam catatan sejarahnya, Ia mulai mencurahkan pikirannya pada pendidikan pasca diasingkan ke Negeri Belanda karena kritiknya yang berjudul Als Ik een Nederlander was (seandainya aku orang Belanda). Kala membangung sekolah taman siswa Ki Hajar Dewantara memakai semboyan ”ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” (Di depan seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik). Hingga saat ini semboyan milik Ki Hajar Dewantara selalu dikenal dalam dunia pendidikan Indonesia dan masyarakat.

Tidak hanya itu, ada salah satu ajaran Ki Hadjar Dewantara yang sering dilupakan disebut dengan ajaran ”Neng Ning Nung Nang” hal itu, tidaklah bisa dilepaskan dari sejarah yang melatar-belakangi lahirnya ajaran tersebut. Ketika Ki Hadjar pulang dari masa pembuangan sebagai tahanan politik di Negeri Belanda, waktu itu masih bernama RM Suwardi Suryaningrat, merupakan titik balik strategi perjuangannya sebagai patriot bangsa yang semula bergerak di bidang politik beralih ke bidang pendidikan dan kebudayaan. Ki Hadjar mendapatkan pencerahan selama masa pembuangan bahwa untuk meraih kemerdekaan dari penjajahan kolonial Belanda tidaklah cukup hanya melalui jalur politik, maka perlu difikirkan dan diperjuangkan lewat jalur pendidikan dan kebudayaan.

Apabila membuka-buka kajian pustaka, maka ternyata startegi perjuangan Ki Hadjar Neng Ning Nung Nang ini sering disebut sebagai Social Problem Solving baik dalam khasanah teori maupun prakteknya. D’Zurilla menyatakan bahwa dalam proses pemecahan masalah sosial pasti dihadapkan pada dua pilihan, antara pemecahan masalah yang “Konstruktif” atau yang “Disfungsional”. Dalam praktiknya keduanya akan saling tarik-menarik dan saling mempengaruhi pada pengambil keputusan untuk menentukan solusi akhir yang akan dipilihnya. (Thomas J. D’Zurilla (ed), 2004).

Seruan Ki Hadjar sebagai pemimpin gerakan rakyat menentang Ordonansi Sekolah Liar tersebut kemudian populer dikenal sebagai ajaran Neng Ning Nung Nang, yang digali dari khasanah nilai falsafah Jawa yang kurang lebih dapat dijelaskan dalam mengarungi kehidupannya di dunia ini, pada suatu ketika manusia akan pasti menghadapi permasalahan kehidupan yang cukup berat dan sepintas lalu tidaklah mungkin tenaga dan fikirannya untuk bisa mengatasi permasalahan tersebut. Namun apabila manusia tersebut bisa mengolah cipta, rasa dan karsanya akan yakin setiap permasalahan kehidupan ini bisa diselesaikan dengan sebaik-baiknya dengan persyaratan berperilaku sebagai berikut dipaparkan oleh Ki Priyo Dwiarso, dalam (Kedaulatan Rakyat” 14 April 2008), sebagai berikut:

Pertama; Neng, berarti meneng, menghadapi permasalahan berat dengan bersikap diam, menenteramkan lahir dan batin, tidak mudah emosi atau tidak nervous, tidak membuat gaduh, tidak usah memaki-maki apalagi berbuat grusa-grusu. Tetap tenang, tidak panik dan tidak emosi dalam menghadapi masalah.

Kedua; Ning, berarti wening, dengan tetap menjaga fikiran kita jernih dan hening untuk bisa dengan mudah membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Adanya ketentraman batin sehingga hati dan pikiran jernih untuk mencari pemecahan masalah. Ketentraman batin ini salah satunya bisa diperoleh dengan banyak beristigfar.

Ketiga; Nung, berarti hanung, mempunyai keteguhan dan kekuatan hati terhadap sikap dan pendiriannya, kuat sentosa jiwa dan raganya, kokoh lahir dan batin untuk mencapai cita-cita. Kebesaran jiwa untuk menerima kritik dan saran dari pihak lain dan tidak berpandangan sempit.

Keempat; Nang, berarti menang, pada akhirnya yang diharapkan atau dicita-citakan diraih dengan kemenangan atau mendapat wewenang, berhak dan berkuasa atas usaha kita sendiri.

Kemenangan moral atau fisik setelah proses Neng, Ning dan Nung di atas, dengan tidak menyakiti pihak-pihak lain. Hal ini dibuktikan pula oleh Ki Hadjar dengan strategi perjuangan Neng Ning Nung Nang, setelah terjadi dialog yang panjang dan melelahkan antara Ki Hadjar dan Gubernur Jenderal De Jonge yang berlangsung di Istana Cipanas, maka gerakan rakyat merasa bisa bernafas bebas merdeka dan meraih kemenangan oleh karena akhirnya Ordonansi Sekolah Liar dibatalkan dan dicabut oleh Gubernur Jenderal De Jonge. Relevan dengan tema peringatan Hardiknas tahun 2022 “Serentak Bergerak Wujudkan Merdeka Belajar”.

(Walahu A’lam Bishowab).

Penulis: Ahmad Rusdiana, Guru Besar Manajemen Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Peneliti Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) sejak tahun 2010 sampai sekarang. Pendiri dan Pembina Yayasan Sosial Dana Pendidikan Al-Misbah Cipadung-Bandung yang mengembangkan pendidikan Diniah, RA, MI, dan MTs, sejak tahun 1984, serta garapan khusus Bina Desa, melalui Yayasan Pengembangan Swadaya Masyarakat Tresna Bhakti, yang didirikannya sejak tahun 1994 dan sekaligus sebagai Pendiri Yayasan, kegiatannya pembinaan dan pengembangan asrama mahasiswa pada setiap tahunnya tidak kurang dari 50 mahasiswa di Asrama Tresna Bhakti Cibiru Bandung. Membina dan mengembangkan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) TK-TPA-Paket A-B-C. Rumah Baca Masyarakat Tresna Bhakti sejak tahun 2007 di Desa Cinyasag Kecamatan. Panawangan Kabupaten. Ciamis Jawa Barat. Karya Lengkap sd. Tahun 2022 dapat di akses melalui: (1) http://digilib.uinsgd.ac.id/view/creators. (2) https://www.google.com/ search?q =buku+a.rusdiana +shopee&source (3) https://play.google.com/store/books/author?id=Prof.+DR.+H.+A.+Rusdiana,+M.M

Total
0
Shares
Previous Article

Kadispenad: Informasi Menyesatkan Terkait Mekanisme Pengadaan Alutsista TNI AD

Next Article

Tinjau Arus Balik di Bakauheni, Kapolri Minta Masyarakat Manfaatkan WFH dan Libur Sekolah

Related Posts