Bandung, ekpos.com
Salah satu nikmat, amanah, sekaligus ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah hadirnya seorang anak di tengah keluarga kita. Perilaku lucu, cerdik, menggelikan, sekaligus menyenangkan, senantiasa mereka tampilkan. Hal itu membuat suasana keluarga semakin meriah. Hadirnya momongan di tengah keluarga merupakan dambaan pasutri (pasangan suami–istri) atau orang tua.
Demikian dikatakan Prof.Dr.a.Rusdiana, MM, saat dikonfirmasi terkait Hari Anak Nasional 2022,Jumat, (22/07)
“ Dapat kita bayangkan, betapa sepinya keluarga, jika anak tak berada di sisi pasutri. Selanjutnya, cara orang tua menyambut, menjaga, memelihara, mengarahkan, membimbing, atau mendidik anak. Ujar Guru Besar Manajemen Pendidikan ini.
Dijelaskan Rusdiana, bahwa untuk kehidupan anak di masa depan jangka pendek (dunia) dan jangka panjang (akhirat) akan memberikan andil besar atau bahkan menentukan bagi:
(1) Sukses tidaknya orang tua di dalam bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat dari Nya berupa anak, sehingga anak tidak dicemari fitrahnya.
(2) Sukses tidaknya orang tua di dalam menunaikan amanah Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa anak, sehingga akan tumbuh anak-anak shalih atau shalihah.
(3) Sukses tidaknya orang tua di dalam menempuh ujian dengan lahirnya anak di tengah keluarga. Sehingga anak tidak menjadi penyebab orang tua meninggalkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rusdianapun mengutip Hadist Rasulullah sallallahu ‘alahi wa sallam:
“Tidaklah anak manusia dilahirkan melainkan pasti lahir di atas fitrahnya, maka kemudian orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Menurutnya,bahwa anak lahir dalam keadaan fitrah (bertauhid dan berpotensi baik). Jika kemudian anak menjadi menyimpang, ia menjadi Yahudi/Nasrani/ Ma-jusi, dan ahli maksiat, maka orang tua memiliki andil besar sebagai penyebabnya. Mengapa? Sebabnya adalah: (1) orang tua adalah pihak yang sejak awal paling dekat dan berpengaruh langsung kepada anak. (2) orang tua tidak memberikan perawatan dan pendidikan yang tepat sejak usia dini. Orang tua justru memberikan pendidikan yang menyimpang dari tauhid dan sunnah Rasulullah sallallahu ‘alahi wa sallam. Jika orang tua mencari rezeki (nafkah) dengan cara yang batil (hasil menipu, mencuri, korupsi, riba, memeras, dan sejenisnya), maka nafkah tersebut tidak berkah (tidak mengandung kebaikan).
“Anak dan istri, juga diri ayah tersebut tumbuh dari perawatan fisik/jasad (nafkah) yang haram. Pengaruhnya, hati manusia menjadi keras untuk menerima kebenaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Hal itu akan diperparah lagi dengan cara, harta dari hasil yang haram tersebut dibelanjakan untuk makanan, minuman, dan hal-hal lain yang haram. ( berjudi, khamr, narkoba, membeli daging babi dan marus/darah binatang dan sejenisnya). Maka tumbuhlah jasmani yang tidak sehat. Inilah bentuk perawatan yang menyimpang.” Ucapnya.
Adapun pendidikan yang menyimpang terlihat dengan jelas, Manakala orang tua menyerahkan pendidikan anak mereka pada sekolah-sekolah yang tidak menghargai pendidikan Agama secara memadai. Hal itu diperburuk dengan pendidikan agama yang diajarkan itu pun menyimpang dari sumber rujukan Islam (Alquran dan Sunah). Berbarengan dengan hal itu, anak dicekoki dengan berbagai acara di TV, radio, dan sejenisnya selama berjam-jam setiap harinya.
“Sekarang di tengah masyarakat marak sekali adanya acara panggung-panggung hiburan yang jauh dari tuntunan Islam. Dilengkapi dengan pergaulan yang dialami anak, baik di lingkungan keluarga besarnya, di masyarakat, dan di berbagai kesempatan, jauh dari akhlak Islami. Disempurnakan dengan bahan bacaan (majalah, surat kabar, tabloid, novel, puisi, kaset/CD/DVD, dan sejenisnya) yang mengumbar kemaksiatan (pornografi dan sejenisnya).” ungkapnya
Maka kata Rusdiana genap lengkap dan sempurnalah pendidikan anak yang menyimpang menjadi menu/program/kurikulum yang mengarahkan anak menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sungguh besar pengaruh orang tua terhadap anak. Pepatah mengatakan, “Mangga jatuh tidak jauh dari pohonnya.” Rasulullah sallallahu ‘alahi wa sallam pun telah bersabda:
“Agama seseorang tergantung kepada siapa yang menjadi orang yang paling dicintainya.
Maka coba perhatikan siapa orang yang paling dicintai oleh salah seorang dari kalian.” (HR. Ahmad).
Sebab itu, sadar atau pun tidak, orang tua dan masyarakat yang demikian telah dengan mulus memberikan jalan kepada program-program kerja Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Yang dengan gigih menyediakan semua waktu, tenaga, dan pikiran, program hiburan, serta hartanya di dalam program pemurtadan umat Islam dalam bentuk ‘tidak harus berpindah agama’. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, ‘Sesungguh-nya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)’.Dan sesung-guhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”(QS. Al-Baqarah: 120).
Inilah tantangan umat Islam dari luar dirinya di masa kini dan mendatang. Demikian halnya kelemahan umat Islam sendiri (tidak memahami Islam dengan benar, taklid, berlebih-lebihan di dalam mencintai orang-orang shalih. Maupun meremehkan agama, tidak istiqamah, dan sejenisnya, lemah iptek, tak profesional di dalam beramal, dan lain-lain) merupakan tantangan dari dalam tubuh umat Islam yang harus dijawab umat Islam sendiri. Orang tua, khususnya ayah, adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyelesaikan agenda besar ini dalam lingkup keluarga yakni pendidikan yang sejalan dengan fitrah anak. Pendidikan anak yang demikian dapat menghadapi tantangan masa kini dan masa depan yang bersifat materialistis, liberalistis, anti AGAMA, dan pengumbar nafsu yang diciptakan oleh Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(QS. At-Tah-rim: 6).
Dapaprkan,sekiranya orang tua sanggup mengatasi tantangan dari dalam dan luar tersebut, dengan cara memberikan perawatan yang baik dan halal. Serta pendidikan yang berbasis Islam yang mengembangkan fitrah anak, maka akan lahir anak-anak yang bertauhid, berbuat baik. Menguasai bidang keahlian yang dipilihnya, dan istiqamah di atas Din yang haq (Dinul Islam). Akhirnya kelak akan lahir anak-anak yang sanggup menghadapi tantangan materialisme, liberalisme, anti Agama, dan para pengumbar nafsu produk dan antek Yahudi dan Nasrani.
“ Insya Allah Subhanahu wa Ta’ala mereka akan mengungguli musuh-musuh Allah, musuh-musuh Islam, dan musuh-musuh kaum Muslimin hari ini dan ke depan.
Lebih jauah Rusdiana menerangkan anak merupakan amanah. Orang tua yang sukses adalah mereka yang sanggup mengem-ban amanah. Sesunguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mempercayakan makhlukNya (berupa anak) untuk dirawat/diasuh dan dididik oleh orang tua. Orang tua yang menyadari hal ini, mereka akan memperkuat keikhlasan, kesabaran, dan kesungguhannya di dalam merawat dan mendidik amanah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Anak merupakan asset masa depan (dunia, jangka pendek dan akhirat, jangka panjang). Tanpa keikhlasan, kesabaran, dan kesungguhan (juhud) yang prima, niscaya orang tua akan menghadapi kegagalan di dalam menunaikan amanah. Orang tua hendaknya mengerahkan segala daya upaya –yang juga merupakan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala – untuk meraih keuntungan/ kebaikan dunia akhirat bagi diri mereka. Dengan cara menunaikan amanah yakni merawat dan mendidik anak.
“ Mereka selalu mengingat dan melaksanakan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:“Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.” Pungkas Prof.Rusdiana.***