Jakarta – ekpos.com – RKUHP merupakan wujud dari adanya pembaharuan hukum pidana di Indonesia yang telah dimulai sejak tahun 1964. Pembaharuan dilakukan karena adanya alasan filosofis, politis, sosiologis, dan praktis. Secara filosofis, KUHP yang disusun oleh pemerintah kolonial Belanda perlu diganti karena landasan filosofinya yang berbeda.
Secara sosiologis, banyak pasal di KUHP yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Serta adanya kemajuan ilmu pengetahuan dann teknologi membuat berbagai pengaturan tindak pidana di dalam KUHP tidak memadai dan ketinggalan oleh zaman.
Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, Pakar Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara) mengatakan bahwa, bangsa Indonesia sudah sangat merindukan kehadiran KUHP yang bernuansa ke Indonesia, untuk menggantikan KUHP yang saat ini masih menjadi prodak kolonial.
“Stop terhadap kontoversi dan perdebatan terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru,” ujar Mahmud Mulyadi melalui keterangannya, Selasa (9/8).
Pakar Hukum USU ini juga mengungkapkan bahwa, KUHP perlu diganti karena beberapa aspek filosofis yang saat ini sudah berkembang mengikuti zaman. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang komunal religius yang mengutamakan kebersamaan berbeda dengan beberapa negara yang berkonsepsi individual.
Contoh filosofis pemidanaan dalam KUHP saat ini masih berlandaskan aliran klasik yaitu untuk penjeraan dan pembalasan sehingga untuk penjeraan dengan nuansa pidana penjara, maka tentunya penjara akan penuh. Penjeraan dan pembalasan tidak serta merta dapat memperbaiki perilaku pelaku kejahatan.
“Perdebatan-perdebatan terhadap RKUHP harus dihentikan dan dibicarakan sesuai dengan keahlian selain itu masyarakat diharapkan tidak mudah terprovokasi,” sambung Mahmud.
Mahmud memberi contoh yaitu, kontroversi penghinaan terhadap kepala negara, semua negara mengatur terhadap delik penghina kepala negara. Ini merupakan delik yang mengangkat marwah suatu bangsa. Tidak mungkin kita rela bahwa kepala negara kita dihina. Namun hal ini tentunya harus diperhatikan deliknya menyerang kehormatan atau harkat martabat harus ada parameter yang jelas sehingga kritikan yang bernuansa edukatif membangun tidak termasuk dalam delik ini.
“Ada kontroversi terhadap delik perzinahan, dahulu perzinaan dianggap sebagai ranah privat, hingga muncul demo dan kritik-kritik bahwa negara tidak boleh mencampurinya. Sementara, perzinahan bukanlah _crime without victim_, atau kejahatan tanpa korban,” lanjut Pakar Hukum USU.
Didalam RKUHP telah dibangun suatu tujuan pemidanaan yang bernuansa ke Indonesia, salah satunya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dan mengembalikan keseimbangan lingkungan yang terganggu.
Dalam delik adat, kejahatan tidak hanya hubungan atara pelaku dan korban saja, akibat kejahatan terjadi kesialan di masyarakat. Ketika terjadi perzinahan di suatu daerah maka seluruh masyarakat akan sial dan hal tersebut seringkali dikaitkan dengan bencana alam karena kemaksiatan manusia.
“Artinya, dari sisi filosofis masyarakat yang komunal dan religius maka delik perzinahan bukan kejahatan tanpa korban tetapi korban dari perzinahan itu adalah nilai-nilai dalam masyarakat dan lingkungan harmonisasi manusia dengan alam,” lanjutnya.
Masyarakat harus memahami bahwa bangsa kita memiliki kearifan lokal yang luar biasa harus dipahami secara teliti, jernih, dan diimplementasikan berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Kehadiran RKUHP inilah secara esensi mengakomodir secara kongkrit berbagai nilai kearifan lokal yang bernilai komunal religius menjadi bentuk hukum positif.
“Tidak ada alasan untuk menolak RKUHP, mari kita bersama-sama membangun bangsa kita agar kuat dan terhina dari marabencana,” pungkas Mahmud Mulyadi. (Red).