Oleh.A.Rusdiana
Dalam QS Al A’raf ayat 16-17 dikisahkan bahwa setan dengan sombong berbicara kepada Allah:
Iblis berkata, “Karena Engkau telah menyesatkanku sehingga aku tidak melaksanakan perintah-Mu bersujud kepada Adam, maka aku benar-benar akan menghalang-halangi keturunan Adam dari jalan-Mu yang lurus. Aku akan memalingkan dan menyesatkan mereka dari jalan-Mu sebagaimana aku yang tersesat (berpaling) dari sujud kepada bapak mereka, Adam. Bersambung ayat 17, Kemudian aku benar-benar akan mendatangi mereka dari segala arah untuk menggoda mereka supaya enggan terhadap urusan Akhirat dan bersemangat terhadap urusan dunia, untuk melontarkan keragu-raguan di dalam hati mereka dan membuat hawa nafsu mereka tampak baik di mata mereka. Dan Engkau-wahai Rabb kami- akan mendapati sebagian besar dari mereka tidak bersyukur kepada-Mu, karena aku telah mengarahkan kekafiran kepada mereka.
Itulah Deklarasi setan. Setan memiliki banyak cara untuk bisa mengalahkan manusia, namun setan tak memiliki kekuatan sedikitpun di hadapan orang yang ikhlas. Dalam QS Al Hjr ayat 39-40 termaktub sebagai berikut
Setan berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka”
Banyak orang yang baik telah wafat, kemudian kita kenang dengan berbagai sifat yang mulia. Salah satu diantaranya adalah sifat ikhlasnya. Keikhlasannya menjadi karakter yang melekat dalam pribadinya saat berjuang, berkorban, demi agama, bangsa dan negara. Berkaitan dengan keikhlasan, Prof. Dr. Yunahar Ilyas dalam bukunya Kuliah Akhlak menjelaskan tentang makna Ikhlas dan apa saja yang kriteria keikhlasan itu.
Secara bahasa akar atas dari iklah adalah khalasa dengan makna bersih, jernih, tidak bercampur. Secara istilah berarti beramal semata-mata mengharap ridha Allah SWT. Ikhlas adalah berbuat tanpa pamrih. Namun persoalan ikhlas itu tidak ditentukan oleh ada atau tidak adanya imbalan materi, tetapi ditentukan tiga faktor yakni:
Pertama, Niat yang Ikhlas (Ikhlas Anniyah).
Dalam Islam faktor niat sangat penting. Apa saja yang yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah berdasarkan niat mencari ridha Allah SWT. innamal a’malu binniyat (“Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung kepada niat”).
Niat ikhlas dan usaha yang sebaik-baiknya adalah syarat terpenuhinya kriteria ikhlas. Pekerjaan sukarela bisa saja bernilai tidak ikhlas bila dilakukan dengan serampangan. Sebaliknya profesi yang mendatangkan upah, bisa saja bernilai ikhlas apabila dilakukan dengan niat ikhlas dan usaha yang sungguh-sungguh.
Bagaimana dengan orang yang bekerja dan mendapatkan upah, seperti guru, dokter, dosen, apakah mereka tidak ikhlas? Takmir masjid dan pengurus ormas yang menjalankan tugasnya tanpa mendapat upah apakah otomatis ikhlas? Upah tidak ada kaitannya dengan keikhlasan. Ikhlas atau tidak seseorang tergantung pada niat dan kualitas usahanya.
Kedua, Beramal dengan sebaik–baiknya (Itqaan Al–amal).
Seorang muslim yang mengaku ihklas melakukan sesuatu harus membuktikannya dengan menjalankan perbuatan itu dengan sebaik baiknya tidak boleh sembarangan. Amal tidak ada kaitannya dengan honor atau imbalan sehingga salah bila ada yang memahami bahwa apabila bekerja tanpa mendapatkan honor maka dapat bekerja sesuka hati tanpa memperhatikan kualitas kerja.
Ikhlas berarti beramal, beraktifitas, dan beribadah semata-mata hanya mengharap ridha Allah semata. Karena ikhlas berarti bekerja untuk Allah, maka sudah barang tentu setiap pekerjaan ia laksanakan dengan sebaik-baiknya, dengan etos kerja yang tinggi. Apabila mendapat upah dari hasil kerja, maka ia belanjakan kepada yang halal dan dengan cara yang halal pula. Apakah mungkin orang yang beramal dengan ikhlas melaksanakan amalnya itu dengan asal-asalan? Jawabannya adalah tidak mungkin, karena lillah sama sekali bertentangan dengan asal-asalan.
Bekerja dengan etos kerja rendah hanya mungkin terjadi bila ia melakukan pekerjaannya itu dengan maksud yang fana, bila ia bekerja dengan maksud selain kepada Allah. Kepada ktua panitia kerja bakti misalnya, ia bekerja giat apabila dilihat saja.
Sedangkan ikhlas adalah bekerja untuk Allah. Karena sadar Allah maha melihat, maka ia tidak tidak membutuhkan perhatian manusia manapun. Karena tahu Allah maha hidup, tentu Allah akan selalu ada, berbeda dengan makhluk yang memiliki batas waktu di dunia. “Sesungguhnya Allah SWT menyukai, bila seseorang beramal, dia melakukan dengan sebaik-baiknya..” (HR Baihaqi).
Ketiga, Pemanfaat hasil usaha dengan sebaik–baiknya (Jaudah Al-ada)
Seorang muslim yang telah menjalani dua unsur keikhlasan di atas yang pertama diawali dengan niat dan diteruskan oleh usaha maka ia akan mendapatkan hasil dari dua unsur tersebut maka harus dimanfaatkan dengan sebaik–baiknya dalam usaha yang lain, seperti seorang pelajar/mahasiswa yang belajar dan mendapatkan ilmu maka ilmu yang didapatkan harus diamalkan dengan ikhlas. Seorang pedagang yang mendapat untung dari hasil jual belinya haruslah dibelanjakan kepada yang halal, dengan cara yang halal pula. Bila itu seorang pelajar, maka ilmunya itu ia manfaatkan bukan hanya untuk keuntungan diri sendiri, tapi juga memberi manfaat pada sesama.
Allah Memerintahkan kepada kita untuk beribadah kepada-Nya dengan penuh keikhlasan dan beramal semata-mata mengharap ridha Allah semata. Fimanya dalam Surah Al Bayyinah: 5; “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan/mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS Al Bayyinah [98]: 5).
Begitu pula dalam QS Al An’am 162, Allah Berfirman;
“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS Al An’am [6]: 162).
Hanya dengan keikhlasanlah semua amal ibadah akan diterima oleh Allah SWT. Seorang mukhlish tidak akan pernah sombong kalau berhasil, tidak putus asa kalau gagal. Orang yang ikhlas akan selalu bersemangat dalam beramal. Pujian tidak membuat dia terbuai dan cacian tidak membuat dia mundur. Yang dicarinya hanyalah ridha Allah semata. Tapi seseorang yang tidak ikhlas akan cepat terbuai dan lupa diri bila mendapatkan pujian dan cepat berputus asa menghadapi segala rintangan dalam perjuangan.
Kebalikan dari ikhlas adalah riya. Riya dalam bahasa Arab berasal dari kata رأى – يرى yang berarti melihat. Sehingga Riya memiliki arti beramal karena ingin dilihat oleh orang lain. Beramal karena ingin mendapat pujian, harta, jabatan, popularitas dan segala hal selain kepada Allah. Riya menjadikan amal ibadah kehilangan nilai pahalanya di sisi Allah. Seperti tanah di atas batu yang sirna tersapu hujan. Hilang tidak membekas. Berlelah-lelah beribadah ternyata tidak ditemukan hasilnya saat hari perhitungan. Sedangkan ikhlas bagaikan kebun subur di dataran tinggi. Apabila hujan lebat, maka bertambah subur tanamannya. Walaupun hujan hanya sekedar gerimis saja, maka itu pun sudah mencukupi kebutuhan tanaman untuk tumbuh dengan optimal.
Walaupun riya dapat menghilangkan nilai pahala dari amal yang dikerjakan, namun bukan berarti karena takut riya maka amal ibadah itu lebih baik tidak dilakukan saja. Kuncinya adalah kebiasaan. Bila sudah terbiasa melakukan suatu ibadah, maka perasaan riya itu pun akan terus terkikis hingga tidak tersisa lagi.
Namun yang kita harus selalu waspada adalah sifat riya. Apa itu riya? Ini sifat kebalikan atau lawan dari ikhlas. Riya adalah melakukan sesuatu bukan karena Allah, tapi karena ingin dipuji atau karena pamrih lainnya. Rasulullah saw menyebut riya sebagai syirik kecil. Dan beliau paling mengkhawatirkan syirik kecil itu terjadi pada umatnya. “Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syirik kecil” Sahabat bertanya”Apa syirik kecil itu ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Riya.” (HR. Ahmad).
Semoga Allah meridhoi setiap langkah kita agar dijauhkan dari sifat riya dan tergolong kepada umat yang iklas beramal.***
*Arikel ini merupkan intisari Khutbah jumat, 2 September 2022
(A.Rusdiana adalah Guru Besar Manajemen Pendidikan UIN SGD Bandung, pendiri Yayasan Pendidikan Al-Misbah Bandung dan Yayasan Tresna Bhakti Ciamis)