Artificial Intelligence Membantu Dokter Meningkatkan Kualitas Pelayanan Kesehatan, Bukan Untuk Menggantikan Dokter

 

Jakarta – ekpos.com – Berdasarkan rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rasio dokter terhadap jumlah penduduk adalah 1:1000. Pada tahun 2021, Indonesia memiliki sekitar 102 ribu dokter, sementara jika jumlah penduduk Indonesia adalah 273 Juta jiwa, maka Indonesia masih kekurangan sekitar 171 ribu dokter.

Dengan kondisi saat ini, di mana jumlah lulusan dari seluruh fakultas kedokteran yang ada di Indonesia hanya sekitar 11000 dokter baru pertahun, maka diperlukan sekitar 15.5 tahun untuk memenuhi kebutuhan dokter di Indonesia.

Jika Indonesia berhasil menggandakan jumlah lulusan pendidikan dokter, maka pada tahun 2030 kebutuhan dokter tahun 2022 baru akan terpenuhi. Untuk mengatasi hal ini, tentunya berbagai terobosan perlu dilakukan, terutama untuk memenuhi kekurangan pada tahun 2023 hingga 2030. Tujuan utama pemenuhan tenaga kesehatan adalah untuk memastikan layanan kesehatan dapat diberikan ke seluruh rakyat Indonesia berdasarkan mutu yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI.

Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan antara lain melalui (1) transformasi pembiayaan kesehatan, sehingga para nakes honorer serta nakes yang bukan dokter, dapat membantu dokter ada, dengan skema pembiayaan tertentu, (2) transformasi tenaga kesehatan, sehingga terjadi pemerataan layanan kesehatan, termasuk penggunaan telemedisin untuk memungkinkan tersedianya akses layanan kesehatan yang bermutu di daerah-daerah yang masih kekurangan dokter, (3) transformasi teknologi kesehatan, yaitu dengan bantuan teknologi yang sudah matang untuk membantu para nakes dalam memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu. Contoh teknologi yang dapat diimplementasikan misalnya (a) telemedisin untuk memberikan layanan jarak jauh, (b) rekam medis elektronik yang dapat digunakan bersama, (c) laboratorium klinis bergerak untuk pengambilan dan pengujian sampel di daerah-daerah terpencil, (d) sistem telerobotik untuk membantu pembedahan yang rumit, serta (e) teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk membantu dokter mempercepat dan meningkatkan akurasi diagnosis.

Artificial intelligence (AI) dapat digunakan dalam berbagai tahap dalam penanganan masalah kesehatan. Tahap awal adalah dapat digunakan untuk memprediksi atau melakukan deteksi dini sebuah penyakit, sedangkan tahap selanjutnya adalah untuk melakukan diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan klinis. AI juga dapat digunakan untuk menentukan atau merekomendasikan preskripsi obat, dan juga dapat digunakan untuk membantu dokter dalam rangka pemantaun kondisi pasien di ruang rawat inap atau di rumah. AI yang diintegrasikan dengan rekam medis elektronik (atau rekam kesehatan penduduk) dapat digunakan untuk menghitung risiko seseorang mendapatkan penyakit. AI juga bisa di integrasikan dengan alat medis seperti EKG untuk menentukan jenis aritmia atau jenis penyakit jantung, serta di integrasikan dengan alat radiologi untuk mengklasifikasikan penyakit atau kelainan dari citra medis yang diperoleh.

Hingga tahun ini, puluhan perangkat lunak AI telah dikembangkan oleh Prof. Eko. Diantaranya adalah untuk penanganan penyakit Jantung, Stroke, Kanker, Paru, Diabetes, Ginjal, Covid, TBC, serta Obgyn. Untuk penyakit jantung misalnya, Prof. Eko telah mengembangkan AI untuk memprediksi nilai risiko saat ini dan pada umur berapa seseorang akan terkena penyakit jantung koroner. Beliau menggunakan tiga kelompok data dari rekam kesehatan penduduk, yaitu kelompok data genetik termasuk umur, jenis kelamin, golongan darah, riwayat penyakit turunan, dan suku bangsa; kemudian kelompok data gaya hidup diantaranya jenis makanan, kebiasaan minum, kebiasaan menghirup udara, aktivitas fisik, aktivitas mental, kondisi lingkungan sekitar dan interaksi sosial. Untuk kelompok data ketiga adalah terkait dengan hasil pengukuran klinis, diantaranya adalah berat badan, tinggi badan, tekanan darah, kadar gula darah dan kadar kolesterol.

Ratusan ribu data pasien telah dikumpulkan oleh tim Prof. Eko dari beberapa rumah sakit baik itu di Indonesia, Malaysia dan Eropa. Data ini digunakan untuk melatih AI supaya memiliki akurasi yang tinggi. AI untuk prediksi jantung koroner telah dikembangkan pada tahun 2015 dan digunakan di beberapa rumah sakit. Hasil pengujian menunjukkan, bahwa AI yang dikembangkan mampu memprediksi penyakit jantung koroner dengan akurasi di atas 90%. Hal ini berarti, jika AI ini diimplementasikan di fasyankes primer di Indonesia, maka beban BPJS untuk menanggung pembiayaan penyakit jantung koroner tentunya dapat berkurang, karena jumlah pasien stadium lanjut yang masuk ke rumah sakit karena penyakit jantung koroner berkurang.

Selain itu, dengan aplikasi AI ini, perilaku hidup sehat penduduk Indonesia juga akan meningkat, dan harapan hidup sehat juga meningkat. Karena penggunaan AI ini sangat mudah, dan memiliki mutu yang konsisten, maka para tenaga kesehatan non dokter atau dokter-dokter baru akan sangat mudah menggunakannya untuk memberikan layanan pemeriksaan kesehatan lebih cepat, mudah, dan akurat. Meskipun AI ini adalah bagian dari transformasi teknologi kesehatan, namun dalam pelaksanaannya aplikasi AI juga merupakan bagian dari transformasi pembiayaan dan transfarmasi tenaga kesehatan.

Prof. Eko mengharapkan, Indonesia dalam waktu dekat bisa mengimplementasikan teknologi AI yang sudah matang, baik untuk prediksi, diagnosis, preskripsi, maupun pemantauan kesehatan pasien. Hal ini adalah dalam rangka untuk membantu nakes, mengurangi permasalahan kekurangan kuantitas dan kompetensi para nakes, meningkatkan layanan kesehatan primer dan rujukan, serta mengurangi biaya penanganan kesehatan pasien stadium lanjut karena rendahnya penerapan perilaku hidup sehat di Indonesia. ****

Catatan: Prof. Eko Supriyanto adalah, guru besar dalam bidang informatika kesehatan dan artificial intelligence di Fakultas Teknik Biomedika dan Ilmu Kesehatan, Universitas Teknologi Malaysia serta Institut Teknik Biomedika dan Informatika, Universitas Teknologi Ilmenau, Jerman. Beliau juga merupakan research fellow di Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.

Total
0
Shares
Previous Article

Stop Perundungan, Bupati Demak: Warga Sekolah Harus Peka terhadap Anak Didik

Next Article

Kadisinfolatad: Teknologi Informasi Berperan Potensial Bagi Ekonomi, Sosial dan Lingkungan

Related Posts