Saya Meragukan Komisi III DPR dapat Membuat UU Narkotika yang Utuh

 

Oleh Dr Anang Iskandar, Ahli Hukum Narkotika, mantan KA BNN

Jakarta – ekpos.com – Komisi III DPR harus berpikir out of the box bila ingin membuat UU narkotika yang utuh, dan dapat diimplemtasikan dengan adil.

Tulisan ini dimaksudkan sebagai masukan terbuka untuk Komisi III DPR dalam membahas RUU perubahan kedua UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Yang harus difahami oleh Komisi III DPR bahwa, sumber hukum UU narkotika yang sedang dibahas DPR saat ini berasal dari Konvensi Internasional, sehingga UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika menjadi UU yang sangat kompleks dimana didalamnya mengatur masalah pidana, masalah medis dan masalah sosial yang berhubungan dengan “obat jenis narkotika” sebagai kesatuan utuh tidak terpisahkan.

Oleh karena itu, pembahasan UU narkotika tidak cukup secara politik melalui pendekatan hukum pidana saja, tetapi juga harus menggunakan pendekatan medis dan pendekatan sosial secara terintegrasi sebagai UU super khusus agar implementasinya dapat wewujutkan keadilan bagi semua.

Dengan kesuperkhususan hukum narkotika tersebut kalau Komisi III tidak menggandeng Komisi IX yang membidangi masalah kesehatan dan komisi VIII yang membidangi masalah sosial, saya yakin Komisi III DPR menghadapi kesulitan dalam merevisi UU Narkotika yang “implementasinya” dapat memecahkan masalah narkotika yang kompleks tersebut.

Bagi komisi III merevisi sebuah UU pidana sih hal biasa, tetapi merevisi UU narkotika berbeda, tidak saja memerlukan dimensi politik hukum pidana, juga memerlukan dimensi politik kesehatan dan sosial sebagai satu kesatuan.

UU no 35 tahun 2009 tentang Narkotika mengatur narkotika secara pidana, kesehatan dan sosial, dimana tujuan dibuatnya UU adalah menjamin penyalah guna dan pecandu sebagai pelaku kejahatan mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, disisi lain bertujuan memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

Perbedaan tujuan dalam penanggulangannya tersebut menunjukan bahwa meskipun pelaku kejahatan narkotika baik penyalah guna, pecandu maupun pengedar diancam secara pidana tetapi proses pidana dan pemidanaannya berbeda, dimana penyalah guna diproses pidana dengan tujuan menyembuhkan/memulihkan seperti sedia kala dengan bentuk hukumannya berupa rehabilitasi sedangkan terhadap pengedar diberantas termasuk jaringannya.

Sejak Indonesia merdeka sudah 3 kali dalam sejarahnya Komisi III DPR membuat UU Narkotika tetapi implementasinya selalu memenjarakan penyalah guna narkotika, padahal penyalah guna itu secara medis dan sosial adalah penderita sakit ketergantungan narkotika, dan

Anehnya, UU narkotika selalu menyatakan Menteri Kesehatan sebagai Menteri yang membidangi masalah narkotika, namun perlu diingat bahwa Menteri Kesehatan itu bukan partner kerjanya Komisi III dalam bidang legislasi, anggaran dan pengawasa.

Itu sebabnya kenapa UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika dikatakan sebagai UU cacat sejak lahir, akibatnya Peraturan Pelaksanaan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang dikomando Kemenkes disana sini terdapat ketentuan yang bertentangan dengan UU narkotikanya.

Dampaknya Kementrian Kesehatan sebagai leading sector yang diamanati UU Narkotika untuk mewujudkan sistem rehabilitasi penyalah guna terdiri dari sistem wajib lapor pecandu dan sistem peradilan rehabilitasi sampai sekarang belum berjalan.

Padahal sistem rehabilitasi penyalah guna adalah indikator utama keberhasilan penanggulangan masalah narkotika disisi deman, sedang disisi supply penanggulangan masalah narkotika menggunakan sistem peradilan pidana.

Nah, kedua indikator utama tersebut adalah indikator keberhasilan penanggulangan masalah narkotika di indonesia yang mestinya harus diwujudkan secara seimbang agar masalah narkotika dapat dikendalikan.

Pertanyaannya ! Sampai sekarang terjadi kevakuman sistem rehabilitasi penyalah guna di indonesia, baik melalui wajib lapor pecandu maupun rehabilitasi atas putusan atau penetapan hakim. Akibat kevakuman tersebut menyebabkan penyalah guna oleh penegak hukum digiring masuk dalam sistem peradilan pidana. Ini yang membuat penyalah guna yang nota bene adalah pecandu akhirnya mendekam dipenjara.

Kenapa sampai sekarang, Kemenkes belum dapat mewujudkan sistem rehabilitasi penyalah guna narkotika secara nasional di Indonesia ? Karena Komisi IX sebagai partner kerjanya Kemenkes, merasa itu bukan kapling tugas komisi IX, dimana masalah narkotika dicetak menjadi kaplingnya Komisi III, sedangkan jangkauan Komisi III tidak sampai masuk ke ranah rehabilitasi yang menjadi fungsinya Kemenkes.

Jadilah ranah “rehabilitasi penyalah guna narkotika” menjadi masalah yang tidak jelas tuannya, berjalannya bagai hidup segan mati tak mau dalam menghadapi populasi penyalah guna yang terus berkembang, yang jumlahnya berdasarkan penelitian mendekati 6 juta orang penyalah guna penderita sakit ketergantungan narkotika.

Menteri kesehatan juga tidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa apa ketika penyalah guna narkotika dalam proses penegakan hukum dijatuhi hukuman penjara oleh hakim, sementara Komisi III DPR diam dan tidak melaksanakan fungsi pengawasannya.

Kenapa hakim kekeh menjatuhkan hukuman penjara bagi pelaku tindak pidana narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna narkotika bagi diri sendiri ? Karena Hakim menggunakan ketentuaan KUHAP dan KUHP sebagai dasar mengadili dan menjatuhkan hukuman, padahal UU narkotika mengatur secara khusus cara mengadili dan menjatuhkan hukuman bagi penyalah guna bagi diri sendiri.

Menurut catatan saya, kalau Ketua MA tidak mengambil langkah perubahan, maka para hakim akan terus menjatuhkan hukuman penjara bagi pelaku kejahatan narkotika yang terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai penyalah guna bagi diri sendiri sesuai yurisprudensi yang ada.

Padahal UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika mewajibkan hakim (pasal 127/2), untuk menggunakan pasal 103 dalam menjatuhkan hukuman rehabilitasi terhadap pelaku kejahatan narkotika yang terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai penyalah guna bagi diri sendiri sesuai tujuan dibuatnya UU (pasal 4d).

Itu berarti kesalahan hakim dalam menggunakan bentuk hukuman yang mestinya dihukum rehabilitasi tetapi nyatanya dihukum penjara.

Saya mengingatkan kepada Ketua MA dan jajarannya bahwa rehabilitasi itu hak penyalahguna sebagai kriminal sakit kecanduan narkotika untuk mendapatkan penyembuhan/pemulihan dari sakit yang dideritanya melalui proses pengadilan, dimana hakim diwajibkan (pasal 127/1) menggunakan kewenangan berdasarkan pasal 103, sesuai tujuan dibuatnya UU narkotika yaitu menjamin penyalah guna dan pecandu narkotika mendapatkan upaya rehabilitasi.

Faktanya selama berundang undang narkotika, para hakim memilih menjatuhkan hukuman penjara bagi pelaku kejahatan narkotika yang terbukti secara sah dan menyakinkan sebagai penyalah guna. Pemenjaraan penyalah guna narkotika ini diamini oleh penegak hukum baik oleh BNN, Polri, Jaksa maupun Pengacara.

Dan DPR baik Komisi III, Komisi IX dan VIII sebagai pengemban fungsi legislasi, keuangan dan pengawasan tidak bersuara lantang untuk menghentikan, hanya Kemenkumham yang merasa gerah karena ada masalah di dalam lapas, baik masalah over kapasitas maupun masalah penyalahgunaaan narkotika dan peredaran narkotika didalam lapas serta masalah sakau bareng didalam lapas.

Sikap penegak hukum yang mengamini tersebut membuat Mahkamah Agung merasa mendapatkan bolo dan merasa bener, bila proses pengadilan masalah narkotika yang pelakunya terbukti sebagai penyalah guna narkotika bagi diri sendiri dijatuhi hukuman penjara.

Pertanyaannya ? Apa putusan memenjarakan penyalah guna tersebut akan berlanjut ? Apakah para hakim tidak tahu kalau UU narkotika secara khusus mengatur kewajiban hakim (pasal 127/2) dan kewenangan hakim (pasal 103) untuk memutuskan atau menetapkan penyalah guna menjalani hukuman rehabilitasi secara medis dan sosial sesuai tujuaan dibuatnya UU narkotika (pasal 4d).

Terus bagaimana nasip para penyalah guna narkotika sebagai kriminal sakit yang terlanjur dijatuhi hukuman penjara oleh hakim dan sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap ? Mereka itu penderita sakit ketergantungan narkotika dan berpotensi sakau didalam penjara kalau putus obat.

Saya menyarankan pemerintah untuk memikirkan upaya hukum luar biasa agar mereka mendapatkan akses rehabilitasi untuk mewujudkan hak mereka agar sembuh/pulih, mereka secara pidana harus dihukum tapi bukan dipenjara melainkan dihukum menjalani rehabilitasi agar sembuh/pulih sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

*Komisi III harus berbagi kamar*

Dalam membahas RUU Narkotika agar Komisi III berhasil membuat UU narkotika yang utuh dan dapat diimplementasikan dengan adil, perlu berbagi kamar dengan Komisi VI dan Komisi IX agar menghasilkan UU narkotika yang utuh dan dapat mengintegrasikan masalah narkotika dari aspek pidana, medis dan sosial

Karena UU narkotika tidak hanya mengatur sisten peradilan pidana tetapi juga mengatur sistem peradilan rehabilitasi dimana sistem sistem tersebut pelaksanaannya memerlukan dukungan pembiayaan dan pengawasan dari DPR sebagai pengemban fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.

Kenapa harus berbagi kamar, agar sistem rehabilitasi penyalah guna narkotika dan sistem peradilan rehabilitasinya dapat diimplementasikan secara seimbang dengan sistem peradilan pidana. Kalau tidak, nasip UU narkotika hasil revisi akan sama dengan 3 UU narkotika sebelumnya memenjarakan penyalah guna.

Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya. ****

Total
0
Shares
Previous Article

TNI Harus Bersinergi Sukseskan G20 Tahun 2022 Di Bali

Next Article

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Tahun 2022 Bersama Masyarakat Pendatang di Pegunungan Tengah

Related Posts