Menjadi prajurit sejati harus siap menghadapi segala situasi sulit. Bagi prajurit yang bertugas di perbatasan di pulau-pulau terluar yang terlambat mendapat kiriman logistik harus siap didera kelaparan sampai kiriman atau bantuan logistik datang.
Demikian juga saat berlayar menuju medan tugas operasi ke suatu tempat yang jauh. Tanpa ada uang tanpa ada rangsum makanan yang cukup, mengakibatkan perut keroncongan dilanda rasa lapar yang hebat. Itulah yang dialami Kolonel CAJ Eko Waluyo Setyantoro, Kasubditbinminperspra Ditajenad.
Saat bertugas mengantar dan mengawal para pemuda Timtim pro integrasi, Eko dkk pernah punya pengalaman yang tak terlupakan saat 5 hari kelaparan di atas kapal.
Sejak menjadi perwira muda, begitu lulus dari taruna AKMIL tahun 1987 Eko langsung mendapat tugas ke Timtim (Sekarang Timor Leste) dalam Operasi Seroja.
Karena salah persepsi disangka selama berlayar menuju Timtim akan mendapat rangsum, ternyata berlakunya nanti kalau sudah sampai di tempat tugas. Walhasil sebagai perwira muda yang masih polos dengan pangkat Letda, Eko dkk makan perbekalan yang dibawa sekedarnya.
Mau minta makan ke pemuda Timtim tidak tega karena makan mereka pun berebut. Jadilah Eko dkk harus menahan lapar.
Teman-temannya ada yang sudah lemah tak tahan, wajah pucat tak ada asupan makanan, membuat Eko berpikir keras bagaimana caranya mencari dan mendapat makanan. Maka begitu kapal lego jangkar masih di lautan jauh dari pantai. Eko melempar matanya ke sekitar dan berdiri di atas buritan, tapi tak terlihat satu pun perahu nelayan.
Namun entah tertutup badan kapal entah matanya kurang tajam penglihatan, tiba-tiba Eko melihat perahu nelayan.
Berdalih ingin mengantar surat dari Pangdam ke Kodim Kupang, Eko pun mendapat izin dari Komandan kapal, diberi batas waktu 2 jam turun ke daratan. Bila lewat 2 jam Eko akan ditinggal kapal. Kalau benar-benar sampai ditinggal kapal, hancurlah riwayat tugas pertamanya. Namun demi teman yang didera kelaparan Eko nekad melakukannya.
Dengan perasaan kalut dan tak karuan, Eko muda naik perahu nelayan. Dan anehnya selama di atas perahu nelayan itu, mulut Eko seakan terkunci rapat, tiap mau bertanya atau berbicara, mulutnya tak mampu bersuara. Sampai di daratan pun Eko merasa terdampar di negeri asing tak tahu arah.
Namun pertolongan selalu di saat yang tepat. Ada kendaraan umum melintas di depannya, dan ternyata saat ditanya melewati markas Korem.
Singkat cerita, setelah menempuh perjalanan darat dengan suatu angkutan umum, sampailah Eko di Korem Kupang menghadap Danrem. Matanya nanar menjelajah ke atas meja yang banyak tersedia penganan dan minuman. Namun Sang Danrem dengan dingin tak sekalipun menawarkan atau mempersilahkan minum.
Saking sudah tak tahannya menahan lapar dan haus, Eko pun memberanikan diri minta izin meminum minuman yang ada di meja. Saat diperbolehkan, saat itu Eko merasakan nikmat yang tiada tara minum air yang mengalir ke kerongkongannya.
Tegukan demi tegukan ia nikmati dengan perasaan syukur bercampur merasa bersalah dan sedih mengingat teman-temanya masih didera lapar dan haus di kapal.
“Bismillah alhamdulillah maaf teman-teman saya mendahului”, gumam Eko saat hendak minum minuman terlezat yang pernah dirasakan.
Waktu terus berjalan. Sementara ia hanya diberi waktu 2 jam dan harus segera kembali ke kapal. Mau bicara langsung minta bantuan logistik masih belum punya keberanian. Sang Danrem sama sekali tak bergeming dengan isyarat pembicaraan secara halus kalau dirinya butuh bantuan rangsum.
Di saat-saat genting seperti itu, datanglah seorang perwira pejabat keuangan yang masuk ruangan. Berbeda dengan Dandim, perwira tersebut langsung mengerti. Dibekalinya Eko uang sebesar Rp 25.000 yang saat itu termasuk jumlah yang amat besar mengingat gaji Eko masih sekitar Rp 91.000 an.
Tanpa menunggu lama, berpacu dengan waktu, uang tersebut dibelikanlah nasi padang. Ia begitu ingat teman-temannya yang kelaparan. Dengan menumpang motor dan membawa tentengan nasi padang, sang pengendara motor pun ngebut menuruti perintah Eko yang harap-harap cemas ditinggal kapal dan pasukan.
Dramatisnya, saat diburu-buru sampai ke kapal di tengah perjalanan ban motornya kempes. Tak ada waktu lagi cari tukang tambal ban, dengan terpaksa motor tetap dipaksa berjalan walau terseok-seok yang akhirnya Eko sampai dibibir pantai. Di sana sudah ditunggu perahu nelayan yang tadi mengantar Eko ke daratan. Kini akan mengantar Eko ke kapal.
Di atas perahu nelayan mulut Eko kembali tak bisa untuk bersuara. Keanehan pun terjadi. Sama pada saat berangkat, kini saat kembali menuju kspal pun mulut Eko terkunci. Nelayan itu dengan tenang dan hening mendayung perahunya tanpa suara.
Setelah memberi jasa kepada nelayan tersebut dengan sisa waktu yang mepet akhirnya Eko berhasil naik kapal. Dan ingin segera mempersembahkan nasi padang makanan “terlezat” untuk teman-temannya.
Namun ada yang aneh menyergap pikiran Eko. Sesaat Eko menaiki kapal dan matanya mengerling ke sekitar, tak terlihat bayangan sedikit pun perahu nelayan yang tadi mengantar jemput.
Tak mau berpikir panjang Eko pun bergegas menuju teman-temannya. Teman-temannya ada yang sudah tergeletak tidur, yang lemah dan pucat karena menahan lapar. Begitu Eko membuka sedikit bungkusan nasi padang dan mendekatkannya ke hidung temannya yang setengah tidur, temannya itu pun langsung bangun.
Begitu gembira, seperti mendapat makan dari surga. Nasi padang terlezat yang untuk mendapatkannya melalui perjuangan berat dan berliku.
Bahagia sekali melihat temannya lahap makan nasi Padang. Eko pun teringat betapa besar jasa nelayan yang mengantarkanya ke daratan dan menunggunya di bibir pantai untuk mengantar Eko kembali ke kapal. Namun sang nelayan menghilang begitu Eko sampai di atas kapal. Tak ada titik bayangan perahu nelayan sepanjang mata memandang lautan.
Itulah pengalaman berkesan yang tak terlupakan seumur hidup. Pengalaman seorang Kolonel CAJ Eko Waluyo Setyantoro. (Oleh: Siti Sundari)