MENYINGKAP 3 CARA AGAR HIDUP MERAIH KEMULYAAN

Oleh : Ahmad Rusdiana

Di dalam ajaran Islam, ada tiga kata yang secara makna saling melengkapi dalam mewujudkan harga diri seseorang, yakni izzah (kemuliaan diri), muru’ah (menjaga kehormatan diri), dan iffah (menahan diri). Ketiga kata tersebut saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Izzah juga berarti keagungan, kehormatan dan kekuatan. Jika kita sering mendengar kata izzul islâm, itu bermakna betapa mulianya Islam bagi kehidupan manusia. Izzah harus ada dalam hati setiap orang, yang didapat dengan cara mendekar kepada Rabb-nya.

Sementara muru’ah, menurut Syekh Imam Mawardi dalam Adab Ad-Dunya wad-Din, memiliki pengertian:

“Muru’ah adalah menjaga tingkah laku hingga tetap berada pada keadaan yang paling utama, supaya tidak melahirkan keburukan secara sengaja dan tidak berhak mendapat cacian.” Lebih lengkap, menurut Mausu’ah Fiqh al-Qulub, muru’ah adalah: “Mengerjakan segenap akhlak baik dan menjauhi segenap akhlak buruk; menerapkan semua hal yang akan menghiasi dan memperindah kepribadian, serta meninggalkan semua yang akan mengotori dan menodainya.”

Sedangkan ‘iffah menurut Ibnu Maskawaih di dalam kitabnya Tahdzibul Akhlak, suatu kemampuan yang dimiliki manusia untuk menahan dorongan hawa nafsunya. ‘Iffah merupakan keutamaan yang dimiliki manusia ketika ia mampu mengendalikan syahwat dengan akal sehatnya. Dari sifat ‘iffah inilah lahir akhlak-akhlak mulia seperti sabar, qana’ah, adil, jujur, dermawan, santun, dan perilaku terpuji lainnya. Sifat ‘iffah ini pulalah yang membuat manusia menjadi mulia (izzah). Sekiranya manusia sudah tidak lagi memiliki sifat ini, maka ia tidak ubahnya dia seperti binatang. Karena, ketika seseorang mampu memfungsikan ‘iffah-nya, berarti akal sehatnya bekerja dengan baik.

Dengan demikian, orang yang memiliki harga diri adalah orang yang mampu menampilkan kemuliaan dirinya (‘izzah), menjaga kehormatannya (muru’ah), dan menahan diri (‘iffah) dari dorongan hawa nafsu, perbuatan maksiat, perilaku yang buruk dan segala sesuatu yang diharamkan oleh syariat.

Dalam pengamalannya, ‘iffah itu terbagi dua, yaitu menahan dan menjaga diri dari syahwat kemaluan, dan menahan diri dari syahwat perut dengan cara meminta-meminta. Hal ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wata’ala:

Dan orang-orang yang belum mampu untuk menikah hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya” (QS an-Nur: 33).

Termasuk ‘iffah adalah menahan diri dari meminta-minta kepada manusia. Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:

“(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui” (QS Al-Baqarah: 273).

Iffah pada diri manusia merupakan sifat potensial yang harus dididik sedemikian rupa sehingga bisa menjadi benteng dalam menjaga kemuliaan eksistensi dirinya. ‘Iffah tidak bisa diraih hanya dengan mempelajari teori. ‘Iffah hanya bisa diraih dengan pendidikan jiwa (tarbiyyatu al-nafs) melalui amal-amal shaleh yang kerjakan.

Iffah merupakan akhlak paling tinggi dan dicintai Allah. Dari sifat ‘iffah inilah akan lahir sifat-sifat mulia seperti: sabar, qana’ah, jujur, santun, dan akhlak terpuji lainnya. Ketika sifat ‘iffah ini sudah hilang dari dalam diri seseorang, maka akan membawa pengaruh negatif dalam diri seseorang tersebut, dikhawatirkan akal sehatnya akan tertutup oleh nafsu syahwatnya, ia sudah tidak mampu lagi membedakan mana yang benar dan salah, mana baik dan buruk, yang halal dan haram.

Bagaimana cara menanamkan sifat ‘iffah dalam diri seorang Muslim sehingga memiliki kemuliaan dan harga diri yang baik? Diantara caranya adalah:

Pertama, membekali diri dengan ketakwaan kepada Allah. Ini merupakan asas paling fundamental dalam menanamkan ‘iffah pada diri seseorang. Ketakwaan adalah perisai seseorang dari perbuatan-perbuatan tercela yang dilarang oleh ajaran agama Islam. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip sebuah riwayat bahwa Umar radliyallahu ‘anh pernah bertanya kepada sahabatnya Ubai bin Ka’ab tentang takwa, lalu Umar radliyallahu ‘anh balik ditanya: “Apakah engkau pernah melalui jalan berduri?” Umar menjawab: “Ya, saya pernah melaluinya.”

Kemudian Umar ditanya lagi, “Apa yang engkau lakukan?” Umar menjawab, “Saya akan berjalan dengan sangat hati-hati sekali sehingga tidak terkena duri itu.” Kemudian dikatakan padanya: “Itulah takwa”.

Seorang yang membekali dirinya dengan takwa, akan berhati-hati dalam setiap langkahnya, sehingga dia aman dan terhindar dari duri syahwat dan ranjau-ranjau maksiat.

Kedua, mengamalkan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu ‘anh mengabarkan, orang-orang dari kalangan Anshar pernah meminta-minta kepada Rasullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada seorang pun dari mereka yang minta kepada Rasulullah melainkan beliau berikan hingga habislah apa yang ada pada beliau. Rasulullah bersabda kepada mereka ketika itu:

“Kebaikan (harta) yang ada padaku tidak ada yang aku simpan dari kalian. Sesungguhnya siapa yang menahan diri dari meminta-minta, Allah akan memelihara dan menjaganya. Siapa yang menyabarkan dirinya dari meminta-minta, Allah akan menjadikannya sabar. Siapa yang merasa cukup dengan Allah dari meminta kepada selain-Nya, Allah akan memberikan kecukupan kepadanya. Tidaklah kalian diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. al-Bukhari).

Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim juz 7 hal. 145 mengatakan, “Dalam hadits ini ada anjuran untuk ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta), qana’ah (merasa cukup), dan bersabar atas kesempitan hidup dan kesulitan (hal yang tidak disukai) lainnya di dunia.

Ketiga, memperbanyak membaca doa. Di antara doa yang diajarkan Rasulullah untuk memiliki sifat iffah adalah:

Ya Allah aku mohon kepadamu petunjuk, takwa, iffah (pengendalian diri), dan kecukupan” (HR Muslim).

Persaingan hidup yang semakin tinggi dan keras banyak memunculkan perilaku umat yang melanggar batasan syariat. Bila perbuatan suka meminta-minta saja sudah bisa menyebabkan kemuliaan seseorang jatuh, maka yang lebih berat dari sekadar meminta-minta seperti korupsi, mencuri, merampok, dan sebagainya tentu lebih menghinakan pelakunya. Anehnya, perbuatan tersebut semakin banyak dilakukan. Termasuk maraknya perilaku kaum lelaki dan wanita, yang karena hanya demi menginginkan enaknya hidup, mereka rela melakukan perbuatan yang menghilangkan kemuliaan mereka dengan mengorbankan kehormatan dirinya. Dengan demikian orang yang bisa menjaga harga dirinya akan mulia di hadapan Allah dan manusia, terlebih Allah berikan kemudahan jalan untuk meraih

Orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. al-Ankabut: 69).
(Wallahu A’lam Bishowwab)
*(Artikel ini merupakaninstisariKhutbah Jumat,27 Januari 2023)

PROFILE

Prof. Dr. H. A. Rusdiana, Drs., MM. : Lahir di Puhun Ciamis, tanggal 21 April 1961, merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara pasangan Bapak Sukarta (Alm), dengan Ibu Junirah. Sejak kecil mengikuti orang tua di Dusun Puhun Desa Cinyasag Kec. Panawangan Kab. Ciamis. Tamat Sekolah Dasar di SD Cinyasag I, tahun 1975. Madrasah Tsanawiyah di Panawangan Ciamis lulus tahun 1979, Madrasah Aliyah Bandung lulus 1982, S-1, Jurusan Dakwah Fakutas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung tahun 1987, S-2 Magister Manajemen Institut Manajemen Indonesia Jakarta lulus tahun 2002. dan menyelesaikan S-3 Program Pascasarjana Manajemen Pendidikan Universitas Islam Nusantara Bandung, lulus tahun 2012, dengan Disertasi “Implentasi Kebijakan WASDALBIN Menuju Akuntabilitas Perguruan Tinggi. Sesuai dengan moto hidupnya “belajar dan mengabdi”, Ia mengabdi sebagai Dosen Manajemen Pendidikan pada Fak. Tarbiyah dan Keguruan dan Pascasarjana UIN Bandung. Pangkat Lektor Kepala Golongan IV/c. TMT April 2019. Jabatan Guru Besar Ilmu Manajemen Pendidikan pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Sejak 27 September 2021. *** red

Total
0
Shares
Previous Article

Satgas Yonif 143/TWEJ Dampingi Bupati Bantu Penyaluran Bantuan Kepada Masyarakat Kiwirok

Next Article

Untuk Memantapkan Program Kegiatan 2023, PBTI Akan Gelar Rakernas di Jakarta

Related Posts