Jakarta – ekpos.com – Pertemuan antara Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto dan Ketum Nasdem, Surya Paloh, tidak dapat dilepaskan dari konteks politik yang terjadi belakangan ini. Nasdem diyakini oleh Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, tengah galau melihat perkembangan politik akhir-akhir ini.
Menurutnya, hal ini terkait dengan Nasdem yang sudah memiliki bakal capres yakni Anies Baswedan. “Karena sudah menetapkan Anies, maka Nasdem dianggap telah keluar dari peta koalisi Istana,” kata Burhanuddin, Kamis (2/2/2023) di Jakarta.
Ia juga menyatakan, di dalam koalisi pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo, ada partai yakni, PDI Perjuangan, yang secara internal mengkritik apa yang dilakukan oleh Nasdem tersebut.
Burhanuddin juga menyatakan pertemuan itu kedua pemimpin parpol itu juga terkait dengan munculnya sinyalemen yang berkaitan dengan reshuffle kabinet di pemerintahan Jokowi.
“Ada konteks ini yang tidak dapat dilepaskan dalam pertemuan antara Surya Paloh dan Airlangga Hartarto,” kata Burhanuddin.
Menurutnya, kehadiran Surya Paloh ke Partai Golkar, dalam rangka membangun aliansi bersama, minimal untuk jangka pendek, karena ada rivalitas dengan PDIP. Jadi Surya Paloh ingin mendapatkan dukungan politik dari partai yang telah melahirkannya, yakni Golkar dan pada saat yang sama menjajaki kemungkinan peta koalisi 2024.
“Namun it’s early to tell, terlalu cepat kalau kita ingin membuat peta koalisi 2024 berdasarkan manuver Surya Paloh kali ini. Ini seperti moving target, kalau target itu bergerak dan kita compare dengan peta hari ini, maka kemungkinan itu meleset,” kata Burhanuddin.
Yang menarik dalam pertemuan itu menurut Burhanuddin, mengapa penjajakan koalisi yang dilakukan Surya Paloh itu justru ke Golkar, bukan ke PDIP. Ini, menurutnya, seperti Nasdem tak ingin ditinggal dalam koalisi. Hal ini juga terlihat dari langkah petinggi Nasdem lainnya datang ke Partai Gerindra, dan bukan ke PDIP.
“Ini soal pilihan di mana penjajakan itu diadakan, menunjukkan bahwa Golkar, Gerindra atau PDIP, masih ada dalam perencanaan Nasdem dalam peta menuju 2024. Tapi untuk konteks PDIP sepertinya Nasdem kesulitan, karena tidak ada penjajakan sama sekali ke sana. Pilihan tempat itu menunjukkan bahasa politik yang kita tangkap tentang peta politik 2024,” ujar Burhanuddin.
Melihat hal ini, Burhanuddin menyatakan, jika penjajakan Nasdem ke PDIP saja belum terjadi, maka untuk koalisi menuju 2024 antara kedua partai sulit untuk terjadi.
Demikian cara Burhanuddin membaca pertemuan antara Surya Paloh dan Airlangga Hartarto tersebut. “Dalam konteks politik internal dalam koalisi yang memanas, terutama pasca Nasdem men-declare Anies Baswedan sebagai capres, maka Nasdem perlu teman, terutama dalam konteks rivalitas yang diam-diam maupun terang-terangan dalam internal koalisi,” tutur Burhanuddin.
Menurut Burhanuddin, kondisi ini juga menyiratkan adanya kegalauan di Nasdem atau Surya Paloh melihat perkembangan politik akhir-akhir ini. Apalagi sebelum Surya Paloh dan elit partai Nasdem lainnya datang ke Golkar, terdapat statement politik dari PKS dan Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Partai Demokrat, yang siap untuk mencapreskan Anies Baswedan bersama Nasdem.
“Seharusnya dua pernyataan itu membuat Nasdem gembira menyambut datangnya dukungan dari dua partai itu. Harusnya Nasdem merayakan dukungan politik dari PKS dan Demokrat yang siap untuk mendukung Anies Baswedan, capresnya Nasdem, tanpa memaksakan ketua umumnya atau elitnya sebagai calon wakil presiden bagi Anies,” ungkap Burhanuddin.
Alih-alih terdapat selebrasi terhadap dukungan itu, Nasdem justru bergerilya atau bersilaturahmi ke Gerindra dan Golkar. “Ini artinya ada kegalauan yang sulit untuk ditutup-tutupi dari langkah Nasdem beberapa hari terakhir ini. Mulai dari kunjungan elit Nasdem ke Sekber Gerindra-PKB, pertemuan Surya Paloh dengan Jokowi dan ditutup kunjungan Surya Paloh ke Golkar,” kata Burhanuddin.
Ia melihat di satu sisi ada kegalauan dari Nasdem di mana mereka ingin membuat exit strategy yang elegan karena sudah mencapreskan Anies Baswedan, dan sudah masuk terlalu jauh untuk mundur. Sehingga mereka seperti harus melakukan U-turn yang berat jika Nasdem tiba-tiba tidak jadi mencapreskan Anies Baswedan.
“Kegalauan itu yang saya baca dari langkah Nasdem beberapa hari ini,” kata Burhanuddin.
Ia melihat, sebenarnya masih ada titik temu bagi Nasdem untuk membawa Anies dalam koalisi yang direstui oleh Istana. Misalnya, jika Nasdem membawa mantan Gubernur Jakarta itu ke Koalisi Indonesia Bersatu. “Lalu Cawapresnya Anies nanti, salah satu dari ketua umum yang tergabung di KIB. Saya kira ini salah satu opsi supaya Anies tidak dianggap sebagai antitesis dari Jokowi,” pungkas Burhanuddin. (Red).