Jakarta – ekpos.com – Pemerintah telah mengesahkan UU Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai wujud penyesuaian dengan politik hukum, keadaan dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang menjunjung hak asasi manusia. KUHP baru ini telah dirumuskan oleh para guru besar, ahli hukum pidana dari seluruh Indonesia sejak tahun 1963.
Dr. Erdianto, SH, M.Hum (Ahli Hukum Pidan FH UNRI) mengatakan bahwa, sejak lama kita sudah berharap KUHP yang baru ini sudah disahkan. Kenapa? Karena KUHP yang lama yang masih berlaku pada warisan Hindia Belanda itu tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia baik secara filosofis, secara sosiologis, secara praktis dan secara yuridis.
“Sampai hari ini kita hanya memberlakukan KUHP yang merupakan hasil terjemahan dari para ahli walaupun ada brand pembinaan hukum nasional juga memberikan terjemahan terhadap KUHP yang asli, tapi itu tidak sesuai dengan sosiologis dan filosofis masyarakat Indonesia,” ungkapnya melalui keterangan, Senin (20/2).
Erdianto memberikan contoh, misalnya adalah terkait zina sepanjang suka-sama suka di dalam KUHP yang lama dianggap sah-sah saja. Namun sementara dalam kondisi di masyarakat itu adalah perbuatan yang tidak tercela dan merupakan dosa yang sangat besar. Oleh karena itu, memang sejak awal KUHP yang baru ini segera disahkan.
“Alhamdulillah akhirnya pemerintah pada era Presiden Jokowi ini mengesahkan UU No 1 Tahun 2023,” lanjutnya.
“Kita menyambut gembira, banyak hal-hal baru di dalam KUHP yang baru diantara lain pengakuan terhadap hukum hidup termasuk dalam persoalan zina tadi, kemudian juga berkaitan dengan adanya pemaafan hakim. Kemudian ada juga delik-delik baru di perluasan terhadap delik kesusilaan. Jadi, misalnya perkosaan tidak ditafsirkan hanya selaku kedalam KUHP yang lama tapi sudah diterjemahkan dalam perluasan yang lebih luas bahwa dengan mengikuti perkembangan zaman tentang kejahatan seksual yang makin meluas,” jelasnya.
Kemudian tujuan pemidanaan juga sudah mengarah kedalam tujuan yang restoratif dan rehabilitatif. Jadi, orientasi pemidanaan kita tidak lagi bersifat retributif. Kemudian pidana mati juga dapat tetap dijatuhkan tetapi dengan alasan yang sangat selektif pada masa percobaan 10 tahun.
“Jadi, saya sebagai salah satu dosen hukum pidana di Indonesia menyambut dengan sangat gembira KUHP yang baru. Bahwa ada kelemahan-kelemahan tentu saja setiap produk hukum yang dibuat oleh pemerintah pasti memang ada sisi-sisi yang harus diperbaiki. Itulah tugas kita sebagai akademisi untuk mengkaji dan terus mengkaji KUHP baru ini,” tutupnya. (Red).