Oleh: Santi Agustini
JURNALISTIK tak hanya bagi Sarjananya saja, tetapi dapat menjadi milik siapa pun yang bisa masuk mendalaminya dengan teoritis dan juga praktis. Pesatnya teknologi seiring dengan minat yang tinggi, dapat menunjang siapa pun untuk menjadi seorang jurnalis. Kita petik kisah salah seorang jurnalis terkenal yang ternyata bukan seorang Sarjana Jurnalistik.
Kaum milenial mungkin ingat ketika mendengar nama Bondan Winarno. Oh, bukankah ia seorang presenter ‘acara kuliner’?
Pertanyaan ini mungkin ada dalam pikiran pembaca. Hal itu memang betul, Bondan Winarno ialah seorang presenter ‘acara kuliner’ yang hadir di salah satu Stasiun Televisi Swasta. Ia terkenal melalui slogan ‘Maknyus’ dan ‘Top Markotop’. Tapi harus kamu tahu, ia adalah seorang jurnalis juga.
Bondan Winarno tak belajar di Jurusan Jurnalistik, namun di Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, walau tidak menyelesaikan pendidikannya. Saat itu ia sudah terjun di dunia fotografi dengan menjadi fotografer di Puspen Hankam di Jakarta.
Bondan lahir di Surabaya, 29 April 1950. Minatnya terhadap kejurnalistikan sudah dibangun saat usianya 10 tahun. Ia telah menjadi penulis lepas di beberapa media seperti Sinar Harapan, Mutiara, Kompas, Suara Pembaruan, Tempo, Asian Wall Street Journal, dan lain-lain.
Bondan pernah jadi pemenang lomba menulis cerpen yang diadakan Majalah Femina pada 1984. Cerpennya dengan judul Gazelle terinspirasi dari pengalaman saat ia ditugaskan ke Kenya sebagai wartawan. Tak hanya cerpen, ia juga pernah menulis cerita anak, novel dan buku-buku yang berkaitan dengan manajemen.
Karya-karnya Bondan antara lain, Tantangan Jadi Peluang: kegagalan dan Sukses Pembangunan Jaya selama 25 tahun (1987), Manajemen Transformasi BUMN: Pengalaman PT Indosat (1996), Bre X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi (1997), Kiat Bondan di Kontan: Berpikir Strategis di Saat Krisis (1998), dan lainnya.
Karyanya Bre X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi merupakan yang fenomenal. Dalam karyanya itu Bondan berani membuka kasus kematian Manajer Eksplorasi Bre-X Corp Michael Antonio Tuason de Guzman yang dikabarkan bunuh diri dengan cara menjatuhkan helikopter di hutan Kalimantan.
Bondan datang ke kantor National Bureau of Investigation (NBI) di Manila. Ia pun menguak banyak dokumen dan referensi lain. Tak berhenti di situ, ia mencari narasumber di Jakarta, Samarinda, Balikpapan, Busang, Manila, Toronto, Calgary. Hasilnya ia bisa menghubungi sekitar 30 narasumber.
Kasus ini berawal dari seorang ahli geologi Filipina bernama Michael de Guzman dan ahli geologi Belanda John Felderhof, bersama perusahaan tambang Bre-X. Mereka melakukan penipuan pada para investor untuk berinvestasi di Busang.
De Guzman menyebut penelitiannya membuktikan ada jutaan ton kandungan emas di Busang. Karena hal itu saham Bre X laku keras. Hal ini membuat dua perusahaan tambang besar ingin menguasai saham Bre X yaitu Barrick Gold Corporation dan Freeport MacMoran.
Namun, Freeport MacMoran tak percaya dengan mudah pada De Guzman. Lalu meminta De Guxman menunjukkan area dengan kandungan emas jutaan ton itu. Kemudian untuk memenuhi permintaan tersebut, De Guzman pergi dengan helikopter. Namun tiba-tiba Guzman dikabarkan jatuh dari helikopter. Kabarnya mayat Guzman hancur dan ditemukan di rawa-rawa hutan Kalimantan.
Investigasi Bondan dimulai. Ia tak percaya penemuan mayat De Guzman ditemukan dengan waktu yang tak lama yaitu kurang dari satu minggu. Kemudian, kondisi jasad tersebut tidak sesuai dengan kondisi jasad seseorang yang jatuh dari ketinggian 800 kaki. Bahkan jasad itu tidak sesuai dengan ciri-ciri fisik De Guzman.
Bondan menyatakan kasus bunuh diri De Guzman rekayasa.. Di akhir investigasinya, Bondan belum berhasil membuktikan De Guzman masih hidup. Namun, ia menyatakan ada kemungkinan De Guzman masih menikmati hidup di negara yang tak terpantau.
Walau tak berhasil menguak Kasus De Guzman, tetapi pada 2003 Institut Studi Arus Informasi (ISA) menobatkan “Bre X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi” sebagai salah satu buku jurnalisme investigasi terbaik.
Pada 2017, tepatnya 29 November, Bondan Haryo Winarno meninggal dunia akibat kelainan jantung di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta. Raganya telah pergi, namun karya-karya luar biasanya akan terus abadi. Dari Bondan kita belajar, siapa saja bisa menjadi jurnalis hebat. Keuletan dan profesionalitas dapat membangun kita menjadi versi terbaik dari kita. Salam Jurnalistik!