Oleh: Ahmad Rusdiana
(Guru Besar Manajemen Pendidikan UIN SGD Bandung)
Zakat adalah kewajiban bagi setiap muslim. Merenungi makna dan hakikat dari ibadah zakat yang pada bulan Ramadhan ini, senantiasa menjadi bahan diskusi, kajian, dan materi perbincangan hangat umat Islam. Selain mempelajari definisi dan pernak pernik pengamalan rukun Islam yang ketiga ini, sepatutnya kita juga mengetahui hakikat ibadah zakat yang kita lakukan. Hal ini agar kita tahu dan sadar bahwa hakikat beribadah adalah bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban, namun semua itu merupakan sebuah kebutuhan yang akan membawa dampak positif.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nur, ayat 56 sebagai berikut:
Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat. (QS. An-Nur 56)
Dalam ayat ini, jelas disebutkan bahwa ibadah zakat merupakan sebuah perintah. Sebagai makhluk dan hamba, perintah yang diberikan Allah menunjukkan sebuah kewajiban yang wajib dipatuhi dan dikerjakan. Jika menjalankan shalat adalah kewajiban yang memiliki dimensi vertikal yakni sebuah kepatuhan untuk memenuhi hak Allah SWT dengan menyembah-Nya, maka kewajiban zakat memiliki dua dimensi ibadah. Selain dimensi vertikal sebagai kewajiban kepada Allah, zakat juga memiliki dimensi horizontal dalam bentuk memberikan harta yang dimiliki karena di dalamnya terdapat hak-hak orang lain.
Dalam menunaikannya, zakat juga bukan sekadar memberikan bagian harta dan setelah itu selesai kewajiban kita. Namun di situ terdapat aturan dalam pengeluarannya dan sudah ditentukan besaran harta yang harus dikeluarkan. Ini lah kemudian yang menjadikan zakat disebut masuk dalam kategori ibadah maliyah atau ibadah kehartaan.
Dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin, Imam al-Ghazali menjelaskan ada 3 hakikat makna dan tujuan dari kewajiban berzakat.
Pertama, mengeluarkan zakat mampu menjadi wujud totalitas kecintaan kita kepada Allah SWT. Totalitas dalam mencintai akan memunculkan komitmen kuat untuk tidak akan menduakan yang dicintai. Keterkaitan dengan ke-Esa-an Allah, maka zakat akan semakin menyempurnakan keimanan untuk tidak akan menduakan Allah dan menguatkan bahwa Dia lah satu-satunya yak berhak untuk disembah. Dan perhatikan ayat berikut ini:
Artinya: Katakanlah (Muhammad): Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia. (QS Al-Ikhlas: 1-4)
Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa semakin tinggi derajat manusia di sisi Allah maka akan semakin besar rasa cinta kepada Allah. Ketika cinta sudah kuat, maka ia akan rela untuk memberikan apa yang dicintainya untuk jalan menuju Allah SWT, termasuk harta yang merupakan materi paling digandrungi dan dicintai oleh manusia ketika hidup di dunia. Sehingga esensi dari zakat adalah melepaskan hal yang dicintai untuk mengukuhkan ketauhidan kepada Allah SWT.
Kedua: Hakikat zakat kedua menurut Imam al-Ghazali adalah sebagai ikhtiar untuk membersihkan diri dari berbagai sifat negatif khususnya sifat kikir atau pelit. Sifat buruk ini bisa diobati dengan membiasakan diri membantu orang lain dengan harta yang kita miliki, khususnya melalui zakat. Imam al-Ghazali pun menarasikannya dengan kalimat: “Kecintaan terhadap sesuatu, hanya bisa diobati dengan cara memaksa untuk berpisah darinya, sampai menjadi sebuah kebiasaan.” Kita juga sebenarnya tak perlu khawatir jika ketika memberikan harta kepada orang lain kemudian harta kita akan berkurang. Pada hakikatnya, orang yang memberikan hartanya untuk hal-hal yang diperintahkan oleh Allah akan dilipat gandakan lebih dari yang diberikan. Terkait hal ini, Allah SWT telah menegaskan sebagai berikut:
Artinya: Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2]: 261).
Ketiga, zakat yang kita keluarkan pada hakikatnya adalah sebagai wujud syukur atas nikmat dari Allah SWT. Perlu kita sadari bahwa Allah telah memberikan kita nikmat anggota badan yang harus kita syukuri dengan wujud ibadah badaniyah, seperti shalat dan ibadah sejenisnya. Selain itu juga Allah telah memberikan nikmat memiliki harta benda yang cara mensyukuri adalah dengan ibadah maliyah yakni dengan mengeluarkan zakat, infak, atau sedekah.
Lebih dari itu, Imam al-Ghazali pun menyebut bahwa zakat juga bukan sebatas bentuk syukur. Tetapi juga wujud kepedulian dan kasih sayang terhadap orang lain khususnya yang membutuhkan uluran tangan kita. Dengan kepedulian ini, kita kemudian akan bisa menjadi jiwa-jiwa yang bisa memberi manfaat pada orang lain. Rasulullah bersabda:
Artinya: Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. (HR Imam Thabrani)
Tiga hakikat zakat menurut Imam al-Ghazali ini, cukup kiranya mampu mendewasakan cara kita dalam berzakat. Mari niati berzakat bukan sebatas menggugurkan kewajiban namun lebih dari itu, zakat yang kita tunaikan harus mampu mewujudkan nilai-nilai luhur yang perlu ditanamkan dalam dalam diri kita.
Dari ketiga hakikat berzakat ini, kita berharap bisa lebih meresapi ibadah zakat yang kita tunaikan sehingga manisnya ibadah yang dilakukan akan lebih terasa. Ketika nikmat ibadah bisa dirasakan, maka otomatis akan semakin menambah rasa kerinduan untuk terus melakukannya. Ibadah dan aktivititas apapun yang dilakukan bukan atas dasar keterpaksaan, pasti akan maksimal hasilnya. Sebaliknya, ibadah atau pekerjaan yang dilakukan atas dasar keterpaksaan dan sebatas menggugurkan kewajiban saja, maka akan jauh dari hasil yang diharapkan. Semoga kita bisa menjadi insan yang ikhlas dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan masuk ke dalam golongan orang-orang yang dicintai-Nya, amin ya rabbal alamin.Wallahu a’lam bishowab.
(Artikel ini, merupakan intisari dari khutbah Jumat 20 April 2023)