Benarkah, Ideologi Pancasila Tidak Bertentangan dengan Islam? Pakar Pendidikan ini,Mengupas Tuntas…

Oleh : Ahmad Rusdiana

(Guru Besar Manajemen Pendidikan- UIN SGD Bandung)

HARI LAHIR PANCASILA diperingati setiap tanggal 1 Juni. Kelahiran ideologi RI tersebut ditandai dengan ucapan isyarat usul dasar negara oleh Ir. Soekarno dalam sidang BPUPKI pertama pada 1 Juni 1945 silam.

Sejak  2016, Pemerintah telah menetapkan 1 juni sebagai Hari Lahir Pancasila melalui Keputusan Presiden No. 24 Tahun 2016.

Penetapan tersebut merupakan suatu hal yang sangat penting dan bernilai strategis bagi bangsa Indonesia, sebagai salah satu upaya untuk mengarusutamakan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara melalui refleksi yang bersifat tahunan. Bangsa Indonesia diundang untuk membayangkan kembali aspek filosofis dan sejarah kelahiran Pancasila sebagai ideologi, dasar negara, serta pedoman hidup bangsa Indonesia.

Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa; Sila pertama ini merujuk pada Al-Qur’an, surat Al-Ikhlas, ayat 1 yang bunyinya sebagai berikut:

Artinya: Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa.

Ayat ini merupakan inti ajaran Islam yakni iman tauhid. Artinya sila pertama memberikan jaminan bahwa negara melindungi keyakinan bahwa Allah itu esa. Selain itu setiap warga negara Indonesia wajib memiliki keyakinan agama karena Indonesia bukan negara sekuler dan apalagi atheis.

Dengan kata lain Indonesia adalah negara yang mewajibkan seluruh warga negara menganut agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Tak seorang pun di negeri ini diperbolehkan tidak memiliki keyakinan agama atau yang disebut ateisme.

Seluruh agama yang berlaku di Indonesia menyepakati Keesaan Tuhan sesuai dengan konsep masing-masing

Kedua: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; Sila kedua ini merujuk pada Al-Qur’an, surat An-Nisa, ayat 135 yang bunyinya sebagai berikut:

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah…

Ayat tersebut merupakan salah satu ajaran penting di dalam Islam yang menekankan perlakuan adil terhadap sesama manusia tanpa pandang bulu. Islam menolak keberatan karena setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah apapun latar belakangnya.

Manusia dipandang setara tanpa memandang etnis, ras, agama dan golongan. Di hadapan Allah, hanya “prestasi ketakwaan” yang membedakan antara manusia satu dengan lainnya.

Berdasarkan pada sila kedua ini seluruh warga negara Indonesia yang majemuk ini mendapatkan jaminan kenyamanan hak di depan hukum. Martabatnya sebagai manusia dijunjung tinggi. Hal ini sejalan dengan prinsip ajaran Islam yang menekankan perlakuan adil karena berlaku adil merupakan bagian dari ketakwaan kepada Allah SWT sebagaimana ditegaskan dalam surat Al Maidah, ayat 8, yakni:

Artinya: Berhaklah yang adil karena adil itu lebih dekat kepada ketakwaan kepada Allah.

Kesimpulannya, sila kedua dari Pancasila yang menekan keadilan dan kebaikan demi menjunjung tingi harkat dan martabat manusia ini sejalan dengan perintah-perintah di dalam Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup bagi seluruh kaum Muslimin.

Ketiga: Persatuan Indonesia; Sila ketiga ini merujuk pada surat Al-Hujurat, ayat 13 sebagai berikut:

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.

Ayat di atas secara jelas bersesuaian dengan kondisi objektif bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, ras dan golongan. Dengan kata lain negeri ini dianugerahi dengan keberagaman yang harus dirawat dan dijaga dengan saling mengenal dan berinterkasi untuk mewujudkan persatuan bersama.

Untuk itu ditetapkanlah bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan demi terwujudnya persatuan nasional. Persatuan memang sangat diperlukan dan menjadi syarat mutlak untuk hidup bersama secara damai dan bergotong royong untuk melindungi kemerdekaan yang telah diperjuangkan para syuhada dan pahlawan kita dengan pengorbanan harta, raga hingga nyawa.

Perintah untuk bersatu memiliki landasan teologis yang sangat kuat sebagaimana diamanatkan dalam Al-Qur’an, surat Ali Imran, ayat 103 sebagai berikut:
Artinya: Dan terikatlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuhan-musuhan, maka Allah mempersatukan hati, lalu jadilah kamu karena nikmat Allah, orang- orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.

Kedua ayat tersebut, yakni ayat 13 dari surat Al-Hujurat dan ayat 103 dari surat Ali Imran, secara jelas menginspirasi dan menjadi sumber rujukan bagi sila ketiga dari Pancasila.

Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.

Sila keempat ini merujuk pada surat Asy-Syuro, ayat 38 sebagai berikut:

Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat di antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.

Ayat di atas secara jelas memberikan tekanan agar para pemimpin melakukan musyawarah untuk mencapai mufakat dan menetapkan prioritas dalam mengambil keputusan. Ayat ini juga melarang dilakukannya cara-cara yang memaksakan kehendak kepada orang lain, tetapi lebih menekan musyawarah atau dialog yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meskipun dalam pelaksanaannya ada yang harus melalui perwakilan masing-masing.

Selain merujuk pada surah Asy-Syura, ayat 38 tersebut, sila keempat ini juga sejalan dengan kaidah fiqhiyah sebagai berikut:

Artinya: Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan.

Kaidah fiqhiyah tersebut merupakan rumusan yang ditegaskan oleh Imam Syafii yang meyakini bahwa kedudukan seorang pemimpin merupakan kedudukan yang setara dengan seorang wali terhadap anak yatim. Maksudnya adalah seorang pemimpin memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa kebijakan-kebijakannya diarahkan kepada kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya dan bukan malah merugikan dan menyengsarakan mereka.

Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia; Sila kelima ini merujuk pada surat An-Nahl, ayat 90, sebagai berikut:

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.

Ayat tersebut menekankan bahwa keadilan dan kebajikan sosial harus selalu dijunjung tinggi demi perdamaian dan kesejahteraan bersama sekaligus untuk melindungi bahwa orang-orang lemah, baik secara kuantitas maupun kualitas mendapatkan jaminan bahwa mereka dapat ikut merasakan kesejahteraan bersama. Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang majemuk. Mereka harus mendapatkan perlakukan yang sama di depan negara tanpa rasa takut berdasarkan suka, agama maupun golongan. Sila kelima ini sejalan dengan sistem sosial ekonomi Islam bahwa hak-hak individu diakui dan dihormati. Namun demikian setiap individu memiliki kewajiban sosial yang harus dilaksanakan untuk mencapai masyarakat yang adil dan sejahtera bersama.

Dari seluruh uraian tersebut kita dapat berkeyakinan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan akidah, syariah, dan akhlak Islam. Untuk itu menjadi kewajiban kita bersama untuk mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Pancasila hanyalah salah satu dari keempat pilar kebangsaan Indonesia. Untuk itu, juga merupakan kewajiban kita bersama untuk mempertahankan dan menjaga ketiga pilar lainnya, yakni UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. itulah anugerah Allah SWT yang harus kita syukuri bersama dan harus dijaga terus terutama oleh generasi saat ini.

(Wallahu a’lam bishowab)

Total
0
Shares
Previous Article

Menhan Prabowo Hadiri Pertemuan Multilateral Menhan AS-ASEAN, Harapkan Kelanjutan Kerja Sama Yang Baik

Next Article

Satgas Yonif 143/TWEJ Bersama Tim PUPR Teliti Sumber Air Bersih Untuk Warga Papua

Related Posts