Pentingnya Muhasabah di Akhir Tahun Hijriyyah

Prof.Dr.Ahmad Rusdiana, MM

Oleh: Ahmad Rusdiana

(Guru Besar Manajemen Pendidikan)

Setelah melaksanakan hari raya Idul Adha, tidak terasa sampailah kita di penghujung akhir tahun 1444 H. Alhamdulillah sebentar lagi tinggal menghitung hari kita akan memasuki bulan Muharram. Bulan pertama Hijriyyah. Sebagai umat Islam, kita bersyukur dengan meningkatkan ketaqwan kita kepada Allah Swt, lebih giat beribadah dan beramal saleh. Dengan segera berakhirnya tahun 1444 H.ini, marilah kita menengok taubat kita, evaluasi diri kita masing-masing, seberapa banyak kesalahan yang kita perbuat, seberapa besar perbuatan zalim pada diri kita sendiri? Sudahkah kita memperbaikinya, beristighfar keharibaan Ilahi Rabbi? Akankah kita bisa memperbaiki di tahun mendatang? Karena bukan seorang Mukmin yang sempurna jika hari ini tidak lebih baik dari hari kemarin, apalagi sampai mengalami penurunan.

Pertama: Kita perbaiki apa yang masih kurang pada diri kita , dan kita tingkatkan apa yang baik. Sebab bagaimanapun, diri kita sendirilah yang lebih mengetahuinya. Segala macam kesalahan yang diperbuat tidak akan bisa ditutup, karena manusia itu sendiri yang akan menjadi saksi atas perbuatannya. Oleh karena itu Allah berfirman dalam surat Al-Qiyamah ayat 14 dan 15:

 “Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meski dia mengemukakan alasan-alasannya.” ( Al-Qiyamah [75]:14 dan 15).

Dari sini, sebelum kita dihisab oleh Allah nanti di hari kiamat, kita teliti diri kita masing-masing. Di sana (ketika amal kita dihisab pada hari kiamat) semua perbuatan kita terbeber secara jelas. Dan diri kitalah yang akan menjadi saksi atas semua itu. Tangan, kaki, mulut dan seluruh anggota badan kita akan menjadi saksi atas perbuatan-perbuatan yang telah kita lakukan seperti tersebut dalam surat an-Nur ayat 24:

 “Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang sebelum mereka kerjakan.” (QS.an-Nur [24]: 24).

Yang Kedua Menimbang Diri: Sayyidina Umar bin Khattab ra, khalifah kedua yang meneruskan estafet Rasulullah saw setelah Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq, pernah mengatakan, “Hisablah diri kalian sebelum dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang dan berhiaslah untuk menghadapi hari penampakan yang agung.” (Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma’rifah, tanpa tahun], juz IV, hal.396). Nasihat dan ungkapan di atas menjadi sangat penting untuk diingat kembali sekaligus menjadi bahan intropeksi untuk diri sendiri selama satu tahun, mengingat tahun baru beberapa hari lagi akan datang untuk menggantikan tahun sebelumnya, sementara tahun saat ini akan segera menghilang.

Pada dasarnya manusia mendapatkan perintah untuk muhasabah, pemeriksaan dan pemeriksaan pribadinya setiap saat. Sebab barang siapa yang ditenggelamkannya sendiri, menghitung amal perbuatannya di dunia, niscaya perhitungan amalnya akan mudah di akhirat. Dan manusia yang bertaqwa adalah mereka yang beramal untuk masa depan yang abadi, yaitu kebahagiaan di akhirat yang mendapatkan ridla dari Allah Swt. Sebaliknya, orang yang durhaka adalah mereka yang hanya selalu menuruti hawa nafsunya, tetapi dia akan mengharapkan kenikmatan dan anugerah di kemudian hari. Betapa nistanya orang tersebut, mengharap buah dari apa yang tidak ia tanam. Ketakwaan seorang hamba tidak akan sempurna sampai ia mau bermuhasabah terhadap pribadinya sendiri. Sebagaimana dalam sebuah petuah dari Maimun bin Mahran:

“Seseorang tidak akan bertakwa hingga ia sanksi pribadinya sebagaimana ia meringankan orang lain, dari mana ia mendapatkan makan dan pakaiannya?”

Ketiga: Muhasabah bukan berarti ‘ujub, bukan menganggap diri paling benar. Sebab yang pribadi merasa dirinya benar, walaupun ia benar, maka ia lebih jelek dari orang yang salah, namun ia merasa pribadinya salah. Yang tak habis pikir orang yang salah tapi merasa benar. Oleh karena itu, kita harus menanam benih-benih kebaikan agar nantinya kita bisa menuai dan memetik buahnya. Muhasabah adalah sebuah anjuran dan perintah yang harus kita jalani sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat al-Hasyr ayat 18:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Secara tersirat ayat tersebut merupakan anjuran muhasabah terhadap amal yang telah kita lakukan. Dari sini sahabat Umar bin Khattab RA berkata:

“Hitunglah amalmu sendiri sebelum kalian dihisab (di hari akhir), dan timbanglah (amal) kalian sebelum (amal) kalian ditimbang (di hari kiamat). Dan pada hari akhir hisab akan ringan hanya atas orang yang pada saat di dunia dia menghitung amalnya.”

Ketiga: Akhir taun ini adalah saat yang tepat untuk mengkoreksi.Segala aktivitas kita, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Namun yang terpenting adalah kehidupan masa depan kita, yaitu kehidupan kekal di akhirat yang mendapatkan ridha dari Allah. Marilah kita ayunkan langkah kita untuk menggapai cita-cita dan meraih segala impian kita. Pesan dan nasehat Sayyidina Umar di atas, tentu saja kegiatan seperti itu sangat baik dan dianjurkan. Sebab, dalam muhasabah (intropeksi), seseorang sedang melakukan sanksi terhadap dirinya sendiri hal apa saja yang mereka lakukan selama satu tahun. Mereka juga “membaca” perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam mengisi hidup dalam setiap harinya. Namun, selain dilakukan di acara tahunan, intropeksi juga harus dilakukan setiap hari, bahkan setiap waktu.

Sayyid Bilal Ahmad al-Bistani ar-Rifa’i al-Husaini, seorang sufi terkemuka dalam salah satu kitabnya mengatakan, sudah seharusnya umat Islam melakukan intropeksi sepanjang umurnya, maka ia harus memikirkan tentang apa yang akan dilakukan pada pagi, siang, sore, hingga malam hari, sebagaimana beliau katakan, Artinya, “(Maka berpikir [merenung]lah atas apa yang kamu kerjakan, apabila engkau menemukan kepatuhan (dalam pekerjaan itu), maka bersyukurlah kepada Allah, dan apabila engkau menemukan maksiat (di dalamnya) maka celalah dirimu.(Sayyid Bilal, Farhatun Nufus bi Syarhi Tajil ‘Arus al-Hawi li Tahzibin Nufus, [Beirut, Darul Kutub ‘Ilmiah, cetakan kedua: 2015 M], hal. 17).

Dari penjelasan di atas, Merayakan tahun baru dengan cara mengintropeksi diri atas segala pekerjaan dan perbuatan yang dilakukan selama satu tahun menjadi “perayaan” yang sangat penting dan tentunya juga sangat baik. Intropeksi tentunya harus dilakukan setiap saat, yaitu setelah melakukan kesalahan sekecil apapun dan setiap kali menyelesaikan amal kebajikan.

Tentu tidak perlu menunggu satu tahun, apalagi menunggu adanya acara intropeksi tahunan. Mengapa demikian? Sebab karakteristik waktu adalah berjalan begitu cepat tanpa manusia sadari ternyata sudah ada di penghujung tahun untuk menggantikan lembaran-lembaran lama menjadi lembaran baru. Hal ini sebagaimana diafirmasi oleh Allah swt dalam Al-Qur’an, Artinya, “Pada hari ketika mereka melihat hari Kiamat itu (karena suasananya hebat), mereka merasa seolah-akan hanya (sebentar saja) tinggal (di dunia) pada waktu sore atau pagi hari .” (Surat An-Nazi’at ayat 46).

Dari beberapa ulasan di atas, apabila kita berkorelasi dengan beberapa kenyataan yang terjadi di Indonesia, banyaknya tragedi dan musibah yang kerap terjadi merupakan iktibar (renungan) untuk menjadikan tahun-tahun selanjutnya menjalani dengan penuh kehati-hatian, serta mempersiapkan cara yang tepat, efisien, dan lebih bermanfaat. Dengan cara itulah seseorang akan bisa memanfaatkan tahun baru yang akan datang. Sebab, jika tidak demikian, akan dimanfaatkan oleh waktu yang ada dalam tahun itu sendiri, sebagaimana dalam salah satu kalam bijak bestari, yang dikutip oleh Imam Al-Manawi,

Artinya, “Waktu adalah pedang. Jika kau tidak (pandai) memainkannya, maka dia akan memotongmu.” (Imam Al-Manawi, Faidhul Qadir, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah, cetakan pertama: 1994 M\1415 H], juz IV, hal.670).

Pada kalam hikmah di atas, jika dalam tahun mendatang seseorang tidak menggunakan hal-hal positif, seperti ibadah dan kebaikan lainnya, maka tahun itu sendiri akan menggunakan seseorang untuk memperlakukannya terhadap hal-hal yang negatif. Tentu, dalam poin kedua merupakan pekerjakan yang tidak diinginkan oleh semua orang, termasuk penulis. Sebab, di antara kerugian yang sangat besar, adalah lewatnya hari-hari, bahkan sampai satu tahun tanpa manfaat yang bisa didapatkan di dalamnya.

Ungkapan di atas sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab bin Hasan As-Sulami Al-Baghdadi Ad-Dimisyqi (wafat 795 H), Artinya, “Bukankah termasuk kerugian, bila malam-malam berlalu tanpa ada manfaat padahal juga dihitung (jatah ) umurku?” (Ibnu Rajab, Ghada’ul Albab Syarah Manzumatil Adab, [Dar Ibnu Hazm lit Thab’ah wan Nasyr, cetakan pertama: 2004], juz II, halaman 348).***

*(Artikel ini merupakan intisari Khutnah Jumat, 14 Juli 2023)

Total
0
Shares
Previous Article

Pansus 5: Toko Swalayan Harus Ikut Majukan Niaga Tradisional

Next Article

Motivasi Siswa Baru, Disdik Jabar akan Gelar PLS Serentak

Related Posts