Jakarta – ekpos.com – CEO Agro Investama Group, Petrus Tjandra mengatakan, Indonesia punya pengganti bahan bakar fosil, dan bisa berhenti menggunakan bahan bakar fosil pada 2045 mendatang, dengan memanfaatkan biodiesel.
Saat memberikan pemaparannya di acara “Peran dan Kontribusi FMIPA UI dalam Pengembangan Riset dan Peningkatan Nilai Sawit Indonesia,” yang digelar di kampus Universitas Indonesia (UI), Depok, Petrus Tjandra menjelaskan, Indonesia punya industri kelapa sawit yang hasilnya bisa dimanfaatkan untuk biodiesel. Namun kapasitas produksi minyak sawit di Indonesia belum maksimal. Menurutnya, mendorong kapasitas produksi hingga mencapai 100 juta ton pada 2045 bukanlah hal yang mustahil.
“Artinya di 2045 akan ada produksi seratus juta ton minyak sawit. Sehingga kita punya renewable energy,” ujar Petrus Tjandra, Kamis (17 Agustus 2023) kemarin.
Petrus menyebut, saat ini kapasitas produksi satu hektar lahan sawit hanya sekitar sembilan ton tandan buah segar. Padahal jika dikelola dengan maksimal, menurut calon anggota DPD RI itu satu hektar lahan sawit bisa menghasilkan hingga 25 ton tandan buah segar
Kurang maksimalnya kapasitas produksi tersebut dikarenakan perawatan dan panen yang tidak baik. Kata dia, petani sawit masih banyak yang menyepelekan kualitas bibit, dan masih banyak yang salah memilih waktu panen.
“Kerap kali saat terdesak kebutuhan maka buah yang masih mentah dipotong. Padahal kadar minyaknya baru empat belas persen. Malah takut memetik saat matang karena petani khawatir busuk,” tuturnya.
Selain itu, menurutnya, penting juga dibangun fasilitas pengolahan yang jaraknya tidak jauh dari lokasi panen. Hal tersebut dapat meminimalisir terjadinya kebusukan pada sawit, saat dikirim ke lokasi pengolahan.
“Lantas bagaimana agar sawit yang dipetik benar-benar matang dan tidak ada kekhawatiran menjadi busuk ketika dikirim dari petani ke pabrik? pabrik harus lebih dekat dengan kebun. Sehingga memangkas jarak dan efisiensi waktu,” terangnya.
Petrus Tjandra yang telah mendaftar sebagai senator DPD RI Lampung itu, lebih lanjut menerangkan bahwa, penggantian bahan bakar fosil menjadi biodiesel adalah untuk kepentingan lingkungan.
Oleh karena itu, pengolahan sawit tidak boleh justru berdampak pada pemanasan global. Menurutnya, metode metode dry heated atau pengeringan dengan udara panas dapat digunakan. Metode tersebut bisa tidak menambah emisi gas rumah kaca. Saat ini di Indonesia terdapat sekitar enam belas juta hektar lahan sawit. Jika semua lahan sawit tersebut dikelola dengan baik sehingga per hektar dapat menghasilkan 25 ton tandan buah segar, bukan tidak mungkin target produksi sawit 100 juta ton dapat tercapai.
“Misalnya enam juta hektar lahan sawit saat ini, dikali dua puluh lima ton tandan buah segar, dikali kadar minyak dua puluh lima persen maka tercapai seratus juta ton minyak sawit.
Selain untuk kepentingan bahan bakar, kata dia minyak sawit juga dapat dimanfaatkan untuk menambah ketahanan pangan. Minyak sawit juga bisa digunakan untuk menggantikan kapas, membantu industri tekstil dalam negeri yang masih bergantung pada kapas impor.
Dalam kesempatan tersebut, dia menyinggung bahwa, gagasan produksi 100 juta ton sawit sudah dipaparkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Merves), Luhut Binsar Pandjaitan dalam sebuah pertemuan internasional di Swiss pada Januari lalu, namun gagasan tersebut malah dikecam karena dikaitkan isu pemanasan global dan deforestasi. Padahal gagasan tersebut seharusnya disambut baik.
“Tapi, kalau saya meyakini para peneliti muda dari Indonesia termasuk dari Universitas Indonesia ini dapat mendukung target produksi seratus juta ton minyak sawit di tahun Indonesia Emas dua ribu empat lima, tanpa deforestasi dan tambahan emisi gas rumah kaca,” tutupnya. (Red).