Jakarta – ekpos.com – Produk kemajuan teknologi seperti media sosial, tidak hanya memberikan dampak positif, tapi juga negatif bagi kehidupan. Adanya fenomena Flexing (pamer) menjadi salah satu contoh yang semakin marak terjadi, khususnya dikalangan ASN dan keluarga. Menyadari hal ini, DP Pengurus KORPRI Nasional mencoba mengangkat topik menarik ini, untuk memberikan edukasi dan menambah wawasan anggotanya melalui Seri Webinar ke-31 KORPRI Menyapa ASN dengan tema “ASN, Say No To Flexing”, Selasa (26/9/2023).
Webinar yang setiap selasa rutin diselenggarakan ini, menghadirkan Ketua Umum DP KORPRI Nasional, Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, SH, MH, sebagai Keynote Speech dan dua narasumber yaitu, Aris Dharmansyah Edisaputra, Staf ahli Menteri Bidang Transformasi Birokrasi Kemenko PMK dan Rike E. Amru, seorang Ex-TV Journalist dan Sustainability Enthusiast.
Memulai keynote speechnya, Ketum KORPRI mempertanyakan strategi mencegah flexing (pamer) di berbagai media atau apa yang seharusnya dipamerkan dengan mengajak ASN untuk mengaplikasikan strategi management yaitu branding dan marketing.
Menurut Prof. Zudan, upaya branding dan marketing tersebut dilakukan sebagai bentuk akuntabiltas publik ASN sebagai penyelenggara pemerintahan, dengan memamerkan dan menjelaskan kepada masyarakat semua produk, karya, kinerja, dan prestasi serta hal-hal baik yang telah dicapai.
Mengamini apa yang disampaikan oleh Ketua Umum, narasumber pertama, Aris Dharmansyah Edisaputra mengatakan, setuju flexing dengan melakukan branding dan memamerkan hal-hal positif dari hasil kinerja yang dicapai oleh ASN, namun Aris menyoroti banyaknya kejadian yang dilakukan ASN dan keluarganya yang memamerkan kekayaan, jabatan dll.
Aris menjelaskan bahwa, flexing bisa jadi disebabkan karena seseorang merasa kurang dihargai atau kurang kepribadian, kurang empati dan kurang perhatian serta mungkin juga kurang pergaulan, sehingga Ia akan melakukan flexing sebagai upaya pembuktian dan pengakuan atas kekuasaan, kekayaan atau kepopuleran yang dia miliki.
Agar ASN dapat menghindari hal-hal negatif seperti flexing ini, perlu ditanamkan bahwa ASN sebagai profesi berlandaskan pada prinsip nilai dasar, kode etik dan kode perilaku, salah satunya adalah memelihara dan menjunjung tinggi standar etika yang luhur, memegang teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas, serta menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan.
Di kesempatan yang sama, Ex-TV Jurnalis, Rike E. Amru, menjelaskan, seseorang melakukan flexing dengan menunjukkan kemewahan karena menginginkan pengakuan, identitas sosial “aku”, menutupi rasa rendah diri, dan pelarian serta motif finansial.
Rike sependapat dengan Prof. Zudan dan narasumber sebelumnya bahwa, flexing adalah keinginan atau kebutuhan sebagian orang untuk mendapatkan pengakuan. “Flexing bukan tidak boleh, tetapi kalau mau pamer, pamernya yang keren, pamer yang inspiring dan impactual, dapat menggerakkan serta mendorong orang untuk berbuat lebih baik,” tegas Rike.
Berbicara risiko yang mungkin dialami ketika mencoba untuk hedon atau flexing, Rike Amru memaparkan beberapa risiko yg bisa terjadi antara lain; dikejar KPK, penuntutan, dipecat dari jabatan, dipenjara, hukuman sosial, ketidak-jujuran, resiko reputasi, hilangnya privasi, ancaman keamanan, beban finansial, “halu” & ngawang, hubungan dangkal, merenggangnya hubungan, kesehatan mental.
Webinar ini dipandu oleh Fitri Novitasari, S.Sos, M.T, Anggota KORPRI di Kementerian LHK, diikuti oleh 1.000 partisipan melalui Zoom Meeting dan sampai berita ini diturunkan, sudah hampir 7.000 kali ditonton melalui kanal Youtube. (Red).