Oleh : Ahmad Rusdiana
Pemilihan umum (Pemilu) 2024 sudah didepan mata berbagai media ramai membicarakan para calon idamannya, itu masing-masing mending. Lebih parahnya lagi menyudutkan calon pasangan yang tidak sepakat dibenaknya, hal itu serasanya tidak adil, apabila kita hanya terus menerus berdiskusi bagaimana akhlak pemimpin/calon pemimpin saja?. Pada khutbah kali ini, izinkzn khatib akan menyampaikan materi khutbah yang berjudul: bagaimana “Akhlak Pemilih yang Baik dalam Islam”?.
Hal ini penting untuk disampaikan agar kita bisa menjadi seorang yang bijaksana dan tepat dalam memilih pemimpin yang akan menjadi penentu kebijakan. Dalam hal ini, Islam memberikan rambu-rambu dan etika dalam memilih calon pemimpin. Pasalnya, seorang pemimpin memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan umat dan warga masyarakat. Pemimpin yang baik dan berintegritas akan dapat mencapai prestasi yang baik dan membawa kemaslahatan bagi umat. Berdasarkan panduan Al-Qur’an, setidaknya ada 3 akhlak dalam Islam untuk memilih pemimpin. Hal ini bertujuan untuk mendidik masyarakat dalam menentukan calon pemimpin di masa depan.
Pertama, menjadi pemilih yang cerdas .
Pemilih cerdas adalah pemilih yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang calon yang akan dipilihnya. Pemilih cerdas tidak akan memilih calon hanya berdasarkan emosi atau ajakan orang lain, terlebih ingin memilih karena materi atau politik uang. Seorang pemilih yang cerdas akan memilih calon berdasarkan pertimbangan yang rasional dan berdasarkan program kerja serta visi misi calon yang tersedia. Dalam Islam, seorang Muslim seyogianya menjadi seorang yang cerdas dan jujur. Pemilih yang cerdas akan menyadari betapa pentingnya memilih pemimpin yang terbaik. Pasalnya, bila salah dalam menentukan pilihan, maka pejabat yang terpilih akan mudah menimbulkan korupsi dan menyelewengkan jabatannya. Dalam Al-Qur’an Surah al-A’raf ayat 198, Allah berfirman;
Artinya: “Jika kamu menyeru mereka (berhala-berhala) untuk memberi petunjuk, mereka tidak dapat mendengarnya. Kamu mengira mereka memperhatikanmu, padahal mereka tidak melihat.” (QS al-A’raf [7]: 198).
Menurut ulama tafsir ada tiga kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk pada pandangan mata manusia. (1), نظر (nazhar), yaitu melihat bentuk dan gambaran sesuatu; (2), بصر (bashar), yaitu melihat dengan mengetahui seluk beluk serta perincian yang bersifat indrawi dari apa yang dilihat; dan yang (3) adalah رأى (ra’â), yakni melihat disertai dengan pengetahuan secara mendalam atas hakikat sesuatu.
Ayat di atas, dapat kita simpulkan bahwa Allah SWT mendorong manusia untuk menjadi orang yang cerdas. Kecerdasan ini dapat diperoleh dengan cara menggunakan akal pikiran sebaik-baiknya, memikirkan ciptaan Allah SWT, dan belajar dari para ahli. Demikian juga dalam Al-Qur’an QS Yusuf ayat 54, Allah berfirman agar manusia menjadi orang yang jujur dan cerdas. Pasalnya, kejujuran dan kecerdasan merupakan modal dasar manusia untuk hidup di dunia. Jika dua hal itu dipegang, niscaya manusia kelak akan selamat.
Artinya: “Raja berkata, “Bawalah dia (Yusuf) saya agar saya memilih dia (sebagai orang yang dekat) saya.” Ketika dia (raja) telah berbicara kepadanya, dia (raja) berkata, “sejujurnya (mulai) hari ini engkau menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami lagi sangat percaya.” (QS Yusuf [12]:54).
Menurut Profesor Quraish Shihab, Dalam Tafsirnya ayat ini mendahulukan kata حَفِيْظٌ (hafîzh/pemelihara) daripada kata عَلِيْمٌ (‘alîm/amat berpengetahuan). Ini karena pemeliharaan amanah lebih penting daripada pengetahuan. Seseorang yang memelihara amanah dan tidak berpengetahuan akan terdorong untuk meraih pengetahuan yang belum dimilikinya. Sebaliknya, seseorang yang berpengetahuan tetapi tidak memiliki amanah, bisa jadi ia menggunakan pengetahuannya untuk menjaga amanah.
Kedua, menghargai pilihan orang lain.
Dalam kehidupan bermasyarakat, kita akan bertemu dengan berbagai macam orang dengan latar belakang dan pilihan yang berbeda-beda. Termasuk dalam kategori pemilihan umum, tidak tertutup kemungkinan antara istri dan suami yang berbeda, begitu juga orang tua dan anak. Pun, antara tetangga dengan tetangga lainnya. Hal ini wajar karena setiap orang memiliki hak untuk memilih apa yang mereka yakini dan inginkan. Perbedaan pilihan itu wajar, terlebih calon yang akan dipilih pun beragam. Sebagai seorang muslim, kita mengajarkan untuk menghargai pilihan orang lain, meskipun berbeda dengan pilihan kita. Allah berfirman dalam Q.Surah an-Nahl [16] ayat 93;
Artinya: “Seandainya Allah berkehendak, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Akan tetapi, Dia mengirim siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Kamu pasti akan ditanya tentang apa yang kamu kerjakan.” (QS an-Nahl [16] : 93).
Perbedaan adalah kehendak Allah, tetapi Allah tidak menghendaki perbedaan itu menjadi sumber perpecahan dan konflik. Allah menghendaki perbedaan itu menjadi sumber kebaikan dan kemajuan bagi umat manusia. Sejatinya, dengan perbedaan, manusia dapat saling belajar dan bertukar pikiran. Dengan perbedaan tersebut, manusia dapat saling melengkapi dan saling memperkuat. Dengan perbedaan tersebut, manusia dapat menciptakan hal-hal baru dan bermanfaat bagi umat manusia. Oleh karena itu, kita harus menyikapi perbedaan tersebut dengan bijak dan bijaksana. Kita harus saling saling dan menghargai perbedaan. Kita harus saling berlomba-lomba dalam kebajikan, bukan dalam permusuhan.
Ketiga, menjadi pemilih yang adil dan bersih.
Secara sederhana, pemilih yang adil adalah pemilih yang memberikan suara sesuai dengan hati nuraninya, tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak relevan. Seorang pemilih yang adil juga tidak melakukan keadaan dalam pemilihan umum, baik secara langsung maupun tidak langsung. Lebih lanjut lagi, pemilih yang adil memiliki peran penting dalam mewujudkan pemilihan umum yang jujur dan adil. Dengan memberikan suara sesuai dengan hati nuraninya dan tanpa melakukan kecurangan, pemilih yang adil dapat membantu memilih pemimpin yang terbaik untuk bangsa dan negara. Dalam Q.Surah Al-Maidah ayat 8; Allah SWT, berfirman;
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) Saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum yang mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Maidah [5] : 8).
Tafsir Ulama mendefinisikan adil dengan penempatan sesuatu pada tempat yang seharusnya. Ini menjelaskan kepada persamaan, meskipun dalam ukuran kuantitas boleh jadi tidak sama. Di sisi lain, ada juga ulama yang menjelaskan bahwa adil adalah memberikan kepada pemilik hak-haknya melalui jalan yang terdekat.
Terakhir, itulah etika dan rambu-rambu Islam dalam memilih calon pemimpin. Sejatinya, Islam menekankan kita untuk menjadi pemilih yang baik dan bijak. Pemilih yang baik dan bijak adalah pemilih yang memiliki kesadaran politik yang tinggi, mampu menggunakan hak pilihnya secara cermat dan bertanggung jawab, serta berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi.
*(Penulis adalah Guru Besar Manajemen Pendidikan, UIN SGD Bandung)