Damai Hari Lubis, Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
JAKARTA || Ekpos.com – Gara-gara hak prerogatif, 9 orang Wantimpres yang dipimpin oleh Wiranto bergeming, begitu pula semua menteri terlebih Sri Mulyani, pusat bendahara keuangan negara, takut menasehati agar Jokowi prihatin, untuk tidak menghambur-hamburkan kas negara sekedar mengadakan peringatan 17 Agustus 1945 di “2 (dua) ibukota negara” Jakarta dan Penajam.
Begitu pula para wakil rakyat semuanya turut menyetujui, justru secara kelembagaan, rela tutup telinga dari himbauan rakyat sebagai representatif hak kedaulatan rakyat.
Apakah semua Wantimpres dan seluruh anggota kabinet semua terjerat leher oleh Jokowi *_mirip Airlangga Hartarto, Cak Imin dan Zulhas ?_* serta seluruh anggota legislatif juga terjerat oleh para ketumnya selain terikat secara organisasi melalui jurus PAW atau kah kedua lembaga tenyata memang telah berubah pada rezim Jokowi ? dari dua nomenklatur menjadi satu kesatuan makna yakni eksekutif dan legislatif sepakat merger, sehingga fungsi legislatif harus terhenti sesuai teori merger ? Sehingga fungsi eksekutif menjadi eksklusif (eksekutif yang juga legislatif), teori Montesque dikalahkan olah Teori Machivelsme ala Jokowi. Karena beberapa fakta menunjukan yudikatif juga kental arahan eksekutif. Atau kah Teori Montesque (eksekutif, legislatif dan yudikatif) sudah diakuisisi oleh metode politik Jokowi ala suka-suka?
Sulit ditengarai, namun realitas prakteknya menyatakan demikian.
Maka, andai mimpi para aktivis yang berhalusinasi beralaskan hukum, yang aktifitasnya hendak implementasikan (terapkan) suara rakyat berdaulat melalui teori amandemen kembali kepada UUD. 1945 yang murni dan konsekuen, maka butuh konsep pembatasan hak prerogatif tetap berada dibawah vox populi vox dei karena salus populi suprema lex esto. Tidak sekedar semboyan mirip panca sila yang akhirnya mati harga dampak kebijakan discounisasi. ***