Oleh: Prasetijono Widjojo MJ
JAKARTA || Ekpos.com – Tonggak-tonggak sejarah “membangun bangsa” (nation building) dimulai dengan Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 dimana ada kesadaran kolektif yang digerakkan oleh para cendekiawan (creative minority) bahwa kebangsaan adalah senjata melawan penjajah dengan ditandai dengan lahirnya Boedi Oetomo.
28 Oktober 1928 para pemuda Indonesia berikrar dan menyatakan satu bangsa, satu tanah air, menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Indonesia yang beragam dalam budaya, bahasa, maupun kekayaan lainnya disatukan melalui Sumpah Pemuda.
Pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 menandai dinyatakannya “pandangan hidup bangsa” atau falsafah hidup bangsa yang kemudian menjadi dasar negara Republik Indonesia. Di atas landasan falsafah bangsa tersebut dibangun negara Indonesia, satu untuk semua, semua untuk satu, dan semua untuk semua. Prinsip gotong-royong yang menjadi “pegangan” dalam merealisasikan pembangunan bangsa, dalam mengisi kemerdekaan di seberang jembatan emas. Pembangunan negara (State Building) adalah alat untuk mencapai tujuan bangsa atau cita-cita bangsa.
Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta atas nama “bangsa Indonesia”. Proklamasi Kemerdekaan adalah “Jembatan emas” dan di seberang jembatan emas itulah bangsa Indonesia membangun negara Indonesia mewujudkan negara Indonesia yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur. Pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia (nation and state building) dengan koridor yang dituangkan dalam Alenia Keempat Pembukaan UUD 1945: dengan membentuk satu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 juga merupakan peristiwa sejarah yang menandai kegagalan konstituante dalam menyusun UUD. Sehingga Ir. Soekarno menyatakan dekrit Presiden yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 1959 dan Indonesia kembali kepada UUD 1945.
Isi dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 antara lain:
1. Menetapkan pembubaran Konstituante.
2. Menetapkan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia dan tidak berlaku lagi UUDS 1950.
3. Membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang terdiri dari anggota DPR ditambah dengan utusan golongan dari daerah.
4. Membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara tersebut di atas diperlukan kondisi prasyarat yang harus dipenuhi yaitu, Berdaulat dalam politik, Berdikari dalam ekonomi, dan Berkepribadian dalam kebudayaan (Trisakti). Trisakti merupakan satu kerangka berpikir, kerangka bekerja, sejalan dan dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila.
Berdaulat dalam politik adalah perwujudan kedaulatan rakyat sesuai sila keempat Pancasila, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sistim politik yang sesuai sila keempat inilah yang harus terus dibangun dan dijaga. Hal ini menuntut adanya lembaga perwakilan yang inklusif yang mencerminkan perwakilan seluruh rakyat. Dalam pelaksanaannya terwujud dalam kelembagaan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Lembaga MPR harus inklusif. Spirit para pendiri bangsa yang inklusif ini tercermin dalam keterwakilan dalam MPR yang terdiri atas: Partai Politik, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan. Semacam model Tri-Kameral (bukan bi-kameral) yang menjadi cari khas Indonesia yang secara kodrati dianugerahi dengan keberagaman, kebhinnekaan, pluralistik dalam hal budaya dan lain-lain.
Berdikari dalam ekonomi menjadi satu kekuatan yang harus dibangun secara kokoh untuk menopang kedaulatan politik dan menjaga ketahanan budaya. Berdikari dalam ekonomi, kedaulatan politik dan kepribadian dalam kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kekuatan ekonomi, politik, dan budaya ketiganya harus dijaga dan dirawat untuk ketahanan bangsa, untuk mengawal penyelenggaraan berbangsa dan bernegara dalam mencapai cita-cita bangsa. Penguasaan Teknologi dan penyiapan SDMnya menjadi kunci untuk mendorong akselerasi pembangunan ekonomi.
Berkepribadian dalam kebudayaan adalah ranah mental-kultural yang harus terus dijaga dan dirawat sesuai nilai-nilai luhur budaya bangsa. Nilai-nilai yang harus terus menjiwai (terinternalisasi) dalam pembangunan politik maupun ekonomi. Disinilah Trisakti sebagai satu kesatuan yang utuh (Telu-teluning atunggal) yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Tata Kelola Politik merupakan “enable” terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan (Tata Sejahtera) dengan spirit Berdikari dalam ekonomi dan dengan tetap tidak kehilangan Jati diri bangsa (berkepribadian dalam kebudayaan) dalam satu sistem Tata Nilai berdasarkan Pancasila.
Kemerdekaan bangsa Indonesia tidak terjadi begitu saja tetapi telah dimulai perjuangannya sejak Kebangkitan Nasional 1908. Pilar-Pilar perjuangan kebangsaan merupakan rangkaian sejarah bangsa sejak Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia 17 Agustus 1945, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Trisakti sebagai Gagasan Ir. Soekarno yang disampaikan pada peringatan kemerdekaan bangsa 17 Agustus 1964.
Semoga bangsa Indonesia semakin maju dan jaya. Semoga Indonesia menjadi negara yang Merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dirgahayu Republik Indonesia ke-79, 17 Agustus 1945-17 Agustus 2024.
Semoga bermanfaat.
Tangerang, Banten
17 Agustus 2024