JAKARTA || Ekpos.com – Apa itu pembangkangan konstitusi? Banyak yang berbicara tentang itu tapi tidak benar-benar memahami maknanya. Pembangkangan konstitusi merujuk pada tindakan yang melanggar atau tidak mematuhi ketentuan yang diatur dalam konstitusi suatu negara.
Hal tersebut diungkapkan Inas N Zubir, Kader dan Politisi Senior Partai Hanura melalui keterangannya kepada wartawan, Jum’at (23/8).
Inas menegaskan, DPR, MK, MA, pemerintah dapat terlibat dalam pembangkangan konstitusi. dan tindakan semacam ini dapat mengancam stabilitas hukum dan merusak fondasi negara, karena konstitusi merupakan dokumen dasar yang menjamin hak-hak warga negara dan mengatur hubungan antara kekuasaan pemerintah dan rakyat.
Berdasarkan konstitusi Indonesia, dalam Pasal 20 UUD 1945, menetapkan bahwa lembaga yang memiliki kewenangan untuk membentuk undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang mana proses pembentukan undang-undang tersebut harus melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
– Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
– Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Lalu, apa arti undang-undang itu sendiri? Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau dengan sebutan lain DPR dengan persetujuan bersama Presiden, yang mana undang-undang tersebut terdiri dari norma dan aturan yang mengatur perilaku masyarakat. Norma dalam undang-undang mencakup nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar yang menjadi dasar pembuatan undang-undang, sedangkan aturan adalah ketentuan konkret yang harus dipatuhi oleh individu dan institusi.
“Apakah MK memiliki kewenangan untuk membentuk undang-undang walaupun hanya satu ayat atau satu pasal saja? Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf (a) dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa wewenang Mahkamah Konsitusi (MK) adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tandasnya.
Ditambahkannya, menguji undang-undang terhadap UUD 1945 berarti menilai apakah suatu undang-undang sesuai dengan ketentuan dan prinsip-prinsip yang diatur dalam konstitusi tersebut. Jika undang-undang atau norma dalam undang-undang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka undang-undang atau norma tersebut dapat dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh MK.
Oleh karena kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) terbatas pada pengujian undang-undang saja, maka MK tidak berwenang untuk menciptakan norma baru yang setara dengan pembentukan undang-undang. Sesuai dengan UUD 1945, kewenangan untuk membentuk undang-undang sepenuhnya berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dalam persoalan judicial review UU No. 10/2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menciptakan norma hukum sendiri dengan membentuk pasal dan ayat baru dalam undang-undang tersebut. Tindakan ini melanggar UUD 1945, karena wewenang untuk melakukan perubahan dan pembentukan undang-undang seharusnya berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah.
“Dengan demikian, jelas bahwa MK telah bertindak di luar batas wewenangnya dan membangkang terhadap konstitusi UUD 1945,” pungkasnya. (Red).