Damai Hari Lubis (Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212)
JAKARTA || Ekpos.com – Pendapat para Filsuf orientalis (pemikir barat) tidak keliru jika menyebut Ibnu Khaldun adalah Montesque dari Timur, karena memang Beliau Ibnu Khaldun sudah berkepatutan disebut Bapak Sosiolog (Pakar ilmu sosiologi) ahli filsafat muslim. Namun banyak orang mengira ahli sosiologi pertama adalah Agus Comte, padahal kenyataannya Ibn Khaldun hidup sebelum 400 tahun kelahiran Auguste Comte .
Atau karena buah kaya terbesar Ibnu Khaldun buku Muqoddimah” sempat hilang selama 200 tahun, sehingga bukan saja Agus Comte alias Isidore Auguste Marie François Xavier Comte/ Auguste Comte, yang lahir 19 Januari 1798 di Montpellier (Republik Prancis Pertama). Meninggal 5 September 1857 (usia 59) di Paris, hidup pada masa Kekaisaran Kedua Prancis August Comte, adalah seorang filsuf, sosiolog dan ahli matematika, sehingga lalu dikatakan dengan persepsi sebagai Bapak Sosiologi, namun keliru person.
Karena “bisa-bisanya” Agus Comte, dianggap dan dikenali sebagai bapak ahli filsafat sosiologi, bukan justru Ibnu Chaldun yang hidup lebih dulu 400 tahun?
Begitu pula Montesque atau Charles-Louis de Secondat Baron de La Brède et de Montesquieu (18 Januari 1689–10 Februari 1755), yang riil lebih muda 300 tahun-an dari Ibnu Khaldun.
Kenapa kemudian justru dinyatakan oleh para filsuf orientalis Ibnu Khaldun sebagai Montesque dari Timur (Negeri Muslim)? Apakah tidak bermotif notifikasi sejarah sungsang?
Nama Ibnu Khaldun lengkapnya adalah, Waliyuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman bin Khaldun. Lahir 1 Ramadan 732 H/27 Mei 1332-1406 M. Ulama, filsup/ ahli filsafat dan ilmu sosial (Sosiolog) pada abad ke 14. M atau Tahun ke 8 H) Hafal Al Qur’an, meninggal pada usia 73 Tahun. Selain ahli filsafat dan sosiologi, Ibnu Khaldun dikenal menguasai ilmu kalam, fiqih dan ekonomi.
Dan Ibnu Khaldun melahirkan buah pikir yang terkenal dengan istilah Teori Siklus, berdasarkan kajiannya terhadap fakta-fakta yang ada disekitarnya, bahwasanya: _”Sebuah negara kemungkinan akan mengalami perubahan yang signifikan setelah berjalan sekitar 120 tahun dengan siklus yang terjadi setiap 40 tahun”._
Bahwa, filosof-filosof Barat abad modern seperti Machiavelly, Giambastita Vico, Agus Comte, Cornot, semuanya dipengaruhi pemikiran Ibnu Khaldun. Dalam artian mereka para pakar, mempelajari dengan mencari pengetahuan yang terbaik atau lebih baik, namum landasan berpikirnya tetap orientalisme, dengan segala teori pematahannya yang “berkecenderungan negatif” terhadap pemikiran islam “pada titik nadir”.
Kemudian terus digali “dimodernisasi” oleh pemikiran orientalis Montesque dengan teori trias politika-nya sebuah negara demokrasi (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang objektif dari sisi orientalisme. Namun kemunduran atau kerusakan tatanan moral dari penganut sistim syar’i atau sebut saja khilafah. Dan kini faham orientalis sudah mencapai puncak liberalisme (demokrasi modern) mungkin nanti ke depan ada istilah demokrasi super modern? Lalu semuanya apa yang terjadi adalah dinamika yang harus dilewati oleh zaman dan masing-masing kesimpulan sejarah secara objektif atau mengubur kekeliruan dalam-dalam secara subjektif atau maunya sebuah golongan? Inilah fenomen sejarah yang realistis dari kausalitas hubungan internasional antar bangsa-bangsa (negara-negara) sepanjang zaman yang tentunya harus objektif, yang keliru perlu diluruskan, karena sejarah adalah ilmu pengetahuan (ilmiah), dan ilmu pengetahuan (wajib) tidak boleh bohong, karena implikasinya menyesatkan ummat dikemudian hari berkepanjangan.
Sesuai sejarah ilmu pengetahuan, Karya momental besar Ibnu Khaldun (Muqaddimah) yang sempat lenyap selama kurang lebih 200 tahun (dua ratus tahun). Kitab Muqoddimah baru muncul kembali dan dianggap penting sebagai bahan kajian baik oleh Barat maupun Timur setelah diteliti ulang oleh seorang ilmuan dari Francis pada tahun 1697 (Barthélemy d’Herbelot de Molainville), yang memunculkan biografi Ibnu Khaldun yang Herbelot tulis dalam sebuah buku di perpustakaan (Bibliotheque) milik d’Herbelot, sehingga dikenal lalu diabadikan sebagai _”Bibliotheque Orientale barthelemy d’Herbelot d Molainaville”_.
Dari sekian banyak pembahasan yang tercantum dalam Muqaddimah (Kitab karangan Ibnu Khaldun), dari mulai Peradaban Badui (kelompok yang selalu berpindah-pindah), atau yang tidak menetap, lalu peradaban orang menetap, di sebuah negeri dan kota, provinsi, mata pencaharian dan lain sebagainya, tak kalah pentingnya Ibnu Khaldun pun menyinggung pembahasan mengenai kedaulatan dan kriteria seorang khalifah atau pemimpin.
Teori “kedaulatan” menurut Ibnu Khaldun, merupakan sesuatu yang alami bagi manusia, sebab di dalamnya terdapat implikasi kehidupan manusia-manusia secara sosial (Zoon Politicon, Aries Toteles). Sehingga Kedaulatan tidak bisa dilakukan hanya menggunakan kekuatan seseorang, kedaulatan dapat didirikan dengan adanya solidaritas sosial. Dengan adanya solidaritas sosial, masyarakat akan lebih teroganisir serta segala keperluan sebagai makhluk sosial akan terpenuhi. Yang Dimaksud oleh Ibnu Khladun solidaritas disini adalah solidaritas yang terpuji sesuai tabi’at manusia (bukan praktik homo homini lupus, teori Thomas Hobbes) atau Ibnu Khaldun menolak teori yang menyatakan “setiap manusia boleh melakukan apa saja untuk mendapatkan cita-cita atau hasrat yang Ia inginkan (Teori Machiavelli),”. Ibnu Khaldun menekankan pemimpin mesti role model atau akhlakul karimah.
Untuk menjaga solidaritas sebuah negara, bisa dibentuk lembaga/institusi seperti tentara, polisi, maupun struktural kementrian, misal Menkumham, dan sebagai analogis fungsionalnya (rules behavior) adalah _MAHKAMAH KONSITUSI_ Pengadilan atau mahkamah yang identik di Indonesia dianalogikan sebagai profesi para.hakim yang berkerja memutus perkara dengan pola hanya satu kali (FINAL AND BINDING).
Fhilosofi Ibnu Khaldun juga menyatakan, selain solidaritas sosial, kedaulatan pun harus ditunjang _dengan menguatkan maal atau uang (harta negara)_ sebagai penopang seluruh struktur dan infrastruktur dan tenaga fungsional atau para aparatur. Hal terkait anggaran bentuk solidaritas demi mempertahankan ‘kedaulatan”.
Sehingga penjabaran teori dalam kehidupan bernegara ditegaskan oleh Ibnu Khaldun, “apabila suatu negara tidak ingin mengalami kehancuran, maka harus memperkuat dua fondasi; pertama solidaritas sosial, dan kedua uang (maal) untuk kebutuhan menjaga kedaulatan dari intervensi dan komprador atau antek asing.
*_Jadi bukan sebaliknya, negara yang tidak dalam status diintervensi pihak asing, malah mengundang (rakyat bangsa) imperialis asing, yang tercatat sejak dahulu ingin menguasai tanah air, kini rakyat bangsa kolonialis tersebut yang semi militer (dipastikan alumni pelatihan militer) justru dilegitimasi melalui regulasi, sehingga legal atau halal “menguras harta kekayaan tanah air milik tumpah darah bangsa” untuk kurun 190 tahun atau 5 sampai dengan 7 generasi asing di tanah air, dan lalu bakal diperpanjang, setidaknya tidak jelas batasan regulasi tentang keberlanjutannya, sehingga pekerjaan rumah yang high risk dari para tamu asing kepada anak cucu bangsa kelak, karena eksistensi mereka sah diundang untuk berbisnis mengeruk kekayaan alam Tanah Air selama 190 tahun dan lalu setelahnya._*
Hal high risk undangan terhadap pihak asing, ilustrasi kentalnya (data empirik) adalah wujud implementasi terhadap diskresi kepada orang asing di rezim era Jokowi, kebijakan politik ekonomi yang mirip bajingan tolol (versi pepatah Rocky Gerung) atau Jokowisme dengan metode mirip sinyal komprador.
Namun kembali kepada Ibnu Khaldun yang lebih tua 300 tahun dari Montesque, namun dinyatakan sebagai Montesque dari belahan timur atau pemikir islam, dan atau Agus Comte yang lebih muda 400 tahun dari Ibnu Khaldun, “murid yang turut menikmati buku karya Ibnu Khaldun”. Namun dikatakan dikatakan sebagai Bapak Sosiologi. Ini lah bukti daripada gejala-gejala fenomena serta dinamika sejarah dan kehidupan manusia bangsa-bangsa di dunia.
Dan “Logika berpikirnya Ibnu Khaldun sendiri tidak merugi, ummat general setelahnya yang merugi, karena konsumsi ilmu pengetahuan manusia tertahan selama 200 tahuan.”
Selebihnya, apakah teori siklus buah pikir Ibnu Khaldun prosesnya sedang berjalan, karena teorinya menyatakan setiap negara setelah 120 tahun terjadi perubahan siginifikan, dan siklus yang terjadi setiap 40 tahun sekali.
Dengan menggunakan teori siklus, jika parameternya perubahan yang terjadi di dunia internasional umumnya (seluruh negara-negara di dunia), namun estimasinya apakah baru saja keluar atau baru masuk pada proses siklus 40 tahun? Atau kah sudah dimulai tahun 1980 setelah era ketertutupan politik komunis tirai besi (sistem yang stagnasi ke rekonstruksi sistim) kepada politik perestroika atau politik glassnost yang mengarah ke liberalisme (Uni Sovyet pecah menjadi Rusia), dan atau politik komunis China dari sistim komunisme imperialisme (tirai bambu) menjadi komunis kapitalisme liberalisme, politik kolonialisme ekonomi yang menguras kekayaan alam negara lain dan atau dengan kendali projek utang dan jasa (profesionalitas) dengan disertai intrik-intrik kepentingan politik pihak negara kreditur terhadap negara debitur.
Dan umumnya untuk negara mayoritas muslim apakah tarik siklusnya masuk ke 40 tahun menuju 120 tahun, lalu sejak kapan dimulainya estimasi siklus tersebut, apakah dari masa Ali bin Abi Thalib atau dari masa kehancuran Turkey oleh Kemal Attaturk 1938 atau dari masa siklus Presiden Erdogan 2104?
Kemudian, bagaimana khusus pergerakan titik nol siklus sosial-politik di tanah air sejak Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 atau sejak 2014 era Jokowi Presiden atau setelah lengser 20 Oktober 2024, dan atau..?
Pastinya tentang prediksi terkait teori siklus Ibnu Khaldun, andai mau dihubungkan ke dunia nyata Tanah Air NRI dan internasional, urgensi diadakan diskusi dan pengkajian sejarah negara-negara di dunia serta perpolitikannya serta hasilnya atau keadaan pencapaiannya (ekonomi, hukum dan budaya), termasuk perkembangan pergolakan perpolitikan dan rekayasa segala macam sistim yang dilahirkan oleh pihak penguasa atau akibat pergolakan oposisi, sehingga sudut pandang kupasannya mesti kompleks dan menyeluruh (intensif).
Dengan kata lain, kesimpulan cermin perspektif teori siklus sosiologis-nya adalah dinamika kehidupan politik ekonomi dan budaya dan sistim hukum yang telah terjadi di setiap belahan negara-negara dan bangsa di dunia internasional, termasuk segala kausalitas dengan segala dampak realitas di masing-masing bangsa dan negara.
Dan di tanah air nampak realitas telah mulai terjadi siklus ke dua sejak 1985 atau era rezim 40 yang MELAHIRKAN PLATFORM REVOLUSI MENTAL buah pikir Jokowi selaku pemimpin (presiden) yang tidak berkejelasan, hingga berdampak inkonsistensi kepemimpinan, serta melahirkan banyak faktor kebohongan dari rezim penguasa dan pengusaha (oligarki) secara sistematis dan struktural, lalu muncul versus terhadap REVOLUSI MENTAL, wujud representatif perlawanan politik dari anak bangsa, yang dimotori melalui statemen tokoh ulama besar di negeri ini Dr. Habib Rizieq Shihab, yakni dengan teori filosofi REVOLUSI AKHLAK.
Serta konsep perlawanan revolusi akhlak vs revolusi mental, diantaranya adalah konsep pematahan teori sistim presidensial dengan sistim non partai atau Indonesia tanpa partai, pemilu presiden diganti dengan merujuk kepada sila ke-4 Panca Sila melalui Musyawarah dan hasil musyawarah.
Maka proses dimulainya teori siklus buah pikir Ibnu Khaldun di Indonesia, sudah berjalan prosesnya sejak orde baru Soeharto sejak 1985, atau setelah 40 tahun era Soekarno (1945 + 40 tahun) atau sejak 20 Oktober 2024 setelah pelantikan presiden Prabowo merupakan proses perjalanan siklus. Lalu siklusnya hampir memasuki proses siklus ke-2 sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945 atau menuju siklus 40 tahun sejak kepemimpinan 1985 Soeharto? Artinya siklus perubahan 40 sejak 1985 adalah tahun 2025.
Maka 1 tahun lagi 2025, merupakan siklus ke-dua berakhir dan memulai kepada siklus 40 tahun kali ke-tiga untuk menuju perubahan negara atau menuju 120 tahun perubahan wujud metode negara (pola metode sistim hukum bernegara).
*Mari kita kaji dengan narasi menyusul pada artikel lainnya*
Tinggal 1 tahun lagi (2025) Indonesia akan mengalami perubahan, entah Prabowo menjadi bersikap keras terhadap perilaku eks pemimpin yang banyak cacat sejarah politik hukum.
Atau setelah Gibran menjadi presiden pada tahun 2025. Jika Prabowo berhalangan di Tahun 2025, maka digantikan oleh Gibran, maka apakah siklus 40 tahun sekali di negara ini, terhitung sejak Gibran berkuasa pada tahun 2025 masuk pada siklus ke-3 atau menuju perubahan mencapai 120 tahun?
Artikel ini disadur oleh penulis, serta disandingkan dengan proses buah pikir hasil dari pengamatan hukum & politik berdasarkan sumber referensi dari para ahli sejarah dan pakar sosiologi kelas dunia serta dan khususnya gejala-gejala politik dan hukum rezim di bawah kekuasaan eksekutif Jokowi/presiden yang aktif merusak tatanan sistematika hukum dan aktif merusak moralitas bangsa. Dan teori siklus ini dipercayai oleh penulis memliki banyak kebenaran adanya, mengingat makna pribahasa, “sejarah akan berulang, hanya waktu dan pelakunya yang berbeda”. ***