Tulisan Oleh: Eggi Sudjana dan Damai Hari Lubis (Advokad Senior dari TPUA)
JAKARTA || Ekpos.com – Ada bisik-bisik dari segelintir tokoh, sesaat lagi bakal hadir rezim yang berupaya untuk menciptakan rekonsiliasi terhadap usaha penuntutan maaf terhadap diri JOKOWI disertai bonus kroni demi persatuan namun melupakan korban yang sudah merasakan teraniaya dan tercabik-cabik jiwa dan raganya.
Aliran framing bijaksana adalah pola pikir sumbu pendek, sekedar kepentingannya yang berharap cukup dengan alasan demi persatuan. Lagi-lagi perilaku dengan keuntungan materi yang berlimpah hasil dari kejahatan oligarki terorganisir dengan pola TSM akan terus menjalankan praktik kejahatannya tanpa efek jera sebagai salah satu manfaat dari fungsi hukum (utilitas).
Sedangkan makna adil itu sendiri lahir dikarenakan ada beberapa faktor:
1. Ada materi perkara/peristiwa (kasus delik),
2. Ada bukti awal hak korban yang dilanggar,
3. proses berjalannya perkara dengan pedoman,
4. Tehnis berproses (ketentuan formil),
5. Subjek (behafior/aparatur),
6. Pemberian sanksi yang adil serta berkepastian.
Jika semua harus bijaksana dengan utamakan faktor pemaaf (Restoratif justice) bukan kah rules menjadi rongsokan tak berharga dan behavior/penguasa sudah menzalimi para pemilik hak? Karena. Hukum selalu dapat dibeli, dan transaksi (Jual-beli) Maaf pun niscaya juga dari hasil kejahatan, setidaknya obscur (remang-remang) alias tak berkepastian.
Secara substantif FAKTOR PEMAAF yang diharuskan si penguasa merupakan kebalikan daripada asas keadilan (justice), dan rezim sudah mempraktikkan otoritarian dengan bungkus (framing) cap kemuliaan namun berlogo *_HARUS MEMAAFKAN_* dengan tanda seru (!).
Lalu bukan kah akan melahirkan kecemburuan terhadap unsur maaf dari banyak orang yang tidak harus ditampilkan bahkan kesulitan untuk menampung membuat daftar siapa dan apa bentuk korban dari kejahatan rezim Jokowi serta perilaku individual dari Joko Widodo yang sering berperilaku anomali mengejek rasa keadilan masyarakat bangsa ini yang bernalar sehat. Lalu berapa harga bandrol unsur faktor pemaaf tersebut kepada aparatur dan kepada seluruh bangsa yang benar sehat, diluar atau minus nalar nungging (cebongers).
Sehingga alhasil MAAF jadi branded dan sekedar framing, namun bungkus excellent (BARANG MAHAL).
Ada rujukan untuk bertindak dari Sila Pertama dari fundamental norm atau philosofische grondslag atau PANCA SILA yang harga mati yang memiliki sumber diantaranya ayat dari Tuhan Sang Maha Pengatur:
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْۤ اِسْرَآءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِۢغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَا دٍ فِى الْاَ رْضِ فَكَاَ نَّمَا قَتَلَ النَّا سَ جَمِيْعًا ۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَ نَّمَاۤ اَحْيَا النَّا سَ جَمِيْعًا ۗ وَلَـقَدْ جَآءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِا لْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَ رْضِ لَمُسْرِفُوْنَ
min ajli zaalika katabnaa ‘alaa baniii isrooo-iila annahuu mang qotala nafsam bighoiri nafsin au fasaading fil-ardhi fa ka-annamaa qotalan-naasa jamii’aa, wa man ahyaahaa fa ka-annamaaa ahyan-naasa jamii’aa, wa laqod jaaa-at-hum rusulunaa bil-bayyinaati summa inna kasiirom min-hum ba’da zaalika fil-ardhi lamusrifuun
“Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.”
(QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 32) . Ayat Al Quran ini bisa menjadi dalil analogi, kenapa andai faktor pemaaf ditujukan kepada seorang yang tidak pantas di maafkan termasuk orang-orang yang setia serta radikal mendukung nya , karena membunuh satu orang tanpa alasan Syar’i tidak boleh/ tidak di benarkan karena sama dengan membunuh seluruh manusia, jadi sangat biadab Jokowi dengan banyak peristiwa pembunuhan seperti anggota kpps 894 orang lebih mati tanpa boleh di visum, kasus rusuh Kanjuruhan Stadion Malang, Jatim ratusan orang mati di Malang Jawa Timur, para keluarga korban penjagalan 6 orang anggota FPI di Km 50, di siksa dan di bantai malah ditetapkan menjadi tersangka disobidience (pembangkangan) konstitusi dan kontra rasa keadilan keluarga korban serta obstruksi semua fungsi hukum.
Peristiwa covid-19 kurang lebih puluhan ribu orang mati sia-sia karena faktor penanganan-nya tidak becus mal praktek atau melanggar asas prudential principle.
Bandingkan dengan Brunei dan Vietnam hanya berapa korbannya? Sedikit sekali korban covid-19 jadi nampak dusta bila covid-19 dianggap musibah nasional or international. Juga tidak lupa kasus bunuh diri gara-gara judi online juga narkoba setiap hari 50 Orang mati, ini semua akibat kebijakkan Jokowi selaku presiden yang tidak profesional dan bermartabat termasuk tuduhan publik terkait ijasah palsu. Kenapa tidak juga mengklarifikasi dihadapan wakil rakyat, sebagai mewakili kedaulatan rakyat, seridaknya mencari dan mendapatkan solusi berdasarkan prinsip sistim hukum, Jo. UU. KIP. UU. Tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Sehingga komparasi kematian petugas KPPS. Kanjuruhan 6 pengawal anggota FPI, korban dampak C. 19 nyawa WNI yang berhak diselamatkan, sebaliknya negara tidak menyepelekan nyawa mereka (HAK UNTUK HIDUP/HAM), maka menjadi bahan komparasi filsafat (dasar berfikir) lalu berkembang, lahir pertanyaan di benak kepala publik, apakah ada unsur lain penyebab kematian Mulyono? Hal ini butuh penyelidikan dan penyidikan yang intensif, harus profesional, transparan serta kredibel & akuntabel (proporsional dan objektivitas).
Dan secara bijak dengan kerangka berpikir dan dilandasi objektifitas (bukti data empirik) faktor pemaaf tidak tertutup kemungkinan di negara ini dengan adanya sistim hukum tentang restoratif justice. Namun tetap berdasarkan musyawarah antara para pihak korban dan pelaku atau yang turut serta terlibat berdasarkan sistim hukum dengan kategori perbuatan dan tanggung jawab moral dan hukum atas jabatan berdasarkan tupoksi jabatan dan mengingat asas equal dan fiksi hukum yang merupakan garis batasan jelas tentang tidak adanya alasan ketidaktahuan atau kebolehan (PENGECUALIAN WNI) melanggar sistim hukum, TERLEBIH SOSOK JOKOWI SELAKU PEJABAT PENYELENGGARA NEGARA TERTINGGI RI. TENTANG KEWAJIBAN TUNDUK DAN PATUHI KEBERLAKUAN HUKUM POSITIF/ IUS KONSTITUM (HUKUM YANG HARUS BERLAKU). Sehingga dalam konteks faktor keadilan merupakan prinsip makna atau hakiki tidak sekedar ucapan dan tulisan “rule” namun rasa batiniah. Keadilan tidak sekedar koheren namun inheren.
Lalu, seandainya rumor santer tentang itikad baik “rekonsiliasi”. Maka yang dibenak adalah, ada beberapa faktor dengan beberapa tingkatan/ dimensi yang mesti terpecahkan atau disatukan oleh seluruh bangsa ini.
Pertama secara logika berpikir ada pertikaian atau peristiwa,
Kedua, sistem hukum ternyata belum memadai, belum memiliki asas legalitas,
Ketiga mencari solusi dengan beberapa metode atau konsep penyelesaian atas perbedaan prinsip antara dua pihak atau lebih?
Maka sebelum mengarah dan menyentuh faktor krusial yang fokus kepada isu rekonsiliasi level nasional (tentunya).
Maka lebih dulu menjawab atau mengomentari para pihak, selain satu pihaknya adalah penguasa sebagai prinsipal stake holder, sesuai makna konteks pertanggungjawaban hukum daripada penguasa penyelenggara negara (konsep prohibita in se) Dan pihak lainnya sementara bisa saja dideskripsikan namun melalui data empirik (pastinya), antara lain pihak-pihak tersebut dipisah menjadi dua bagian sebagai kategori korban politik rezim (kriminilisasi).
Daftar nama pihak PEMILIK HAK MAAF. 1. Dr. HRS. 2. Prof. ES. 3. Prof. STK. 4. K. SL. 5. Enam ORANG TUA KORBAN KM. 50. 6. DR. SN. 7. MNN. 8. MHT. 9. KZ.10. JG. 11. BTM. 12. GN.13. JG. 14. BM.15. RB 16. RK.17. UsO. 18. UAT. 19. EM dan Para Korban Cyber (Catatan hukum: daftar inisial masih panjang).
Dampak Pemanfaatan Sistim Suka-Suka Sungsang (3 S).1. DHL. 2. RG. SN. (Daftar nama dengan data empirik masih panjang).
Dan subtansial korban adalah termasuk seluruh anak bangsa yang bernalar sehat dan minus kroni & kronis rezim (penguasa sakit) sekian level hirarkis jabatan kebawah dari puncak jabatan Presiden Joko Widodo dan cebongers.
Dan perlu diingat rezim kembali mengulang perilaku “tidak berlaku adil” jika musyawarah namun berdasarkan voting. Karena hakekat keadilan bukan dengan prinsip suara terbanyak, terlebih tidak berharga menurut hukum (illusoir) andai voting diambil berdasarkan hasil dari wakil rakyat namun attitude yang transparan adalah aktor intelektual delneming bangsat bangsa oleh sebab tidak menjalankan tupoksi konstitusinya dalam era kepemimpinan rezim 2019-2024.
Adil harus didapati dari hasil musyawarah ditutup dengan menerima bulat hasil musyawarah, bukan ditutup kesepakatan hasil dari prinsip tangan kekuasaan (otoritarian). Sehingga arti musyawarah hilang substansialnya, jangan mencari substantif namun berkahir dengan mendapat sial (lacur).
Makna musyawarah, adalah berdalil Panca Sila yang Harga Mati. Ketuhanan Yang Maha Esa sungguh tidak bertentangan dengan jiwa dan alam pikiran mayoritas WNI. Dan pancasila menurut sistim hukum merupakan sumber hukum nasional. Dan Pancasila tidak bertentangan syar’i atau akidah iman mayoritas bangsa ini (sesuai prinsip demokrasi suara terbanyak). Dan sungguh Tuhan lah Yang Maha Adil dan Maha Pemberi Petunjuk serta Pemberi Rujuk. ***