JAKARTA || Ekpos.com – Rakyat hanya menang ramai, namun mayoritas publik ngalor ngidul terbuai (tertipu) dengan pemberitaan banyak media sosial (publik), bahkan banyak yang tidak dapat memahami apa itu gratifikasi dan unsur-unsurnya.
Adanya laporan dari individu Publik terhadap Kaesang ke KPK karena banyaknya pertanyaan, “apakah Kaesang dan istrinya gratisan pelesiran naik pesawat jet pribadi sewaan (carter) dari Indonesia menuju ke Amerika pergi pulang, sementara hulubalang di Senayan sedang repot-repotnya memperjuangkan dirinya untuk ikut kompetisi di pilkada?”
Serta merta KPK memberikan pernyataan dan langsung publis, “Kaesang bukan Pejabat publik” atau dengan kata lain, Kaesang tidak bisa dikenakan pasal gratifikasi merujuk UU. TIPIKOR “, namun beberapa lama kemudian berubah “KPK bakal panggil Kaesang”, lalu benar dipanggil dan faktanya ? Kaesang tidak hadiri panggilan, kemudian terbit berita santer dari banyak jurnalis dan berbagai media sosial “bahwa Kaesang telah menghilang” disertai caption / meme lucu-lucu, lagi bengal.
Dari sisi tehnis investigasi dan klarifikasi, KPK terbukti tidak serius memeriksa kasusnya Gratifikasi Kaesang. Karena sebaliknya jika KPK serius bukan Kaesang yang pertama kali akan dipanggil, namun pilot pesawat dan crew maskapai penerbangan, yakni petugas pelayanan penerbangan pada sebuah maskapai, antara lain yang meliputi petugas darat (staf pasasi bandara atau staf tiketing, ground staff, staf bandara, staf Ramp), operator GSE, dan Flight Operation Officer.
Setelahnya, KPK. Harus berlaku profesional dan proporsional, KPK harus berani dan mampu (kredibel) memanggil serta menghadirkan lalu menginvestigasi pejabat ditjen perhubungan udara dan atau kepala direktorat angkutan udara, sebagai pihak yang menjadi sumber daripada pemberian persetujuan hak terbang dan hak angkut (flight approval).
Lalu bagaimana, jika pilot adalah WNA dan kantor perusahaan maskapainya berada diluar negeri?
Maka Penyidik KPK dapat menggunakan sistim hukum yang diatur didalam KUHP. lama, yaitu menggunakan teori asas nasional pasif yakni hukum Indonesia berlaku bagi WNA jika merugikan kepentingan nasional (NRI) vide Pasal 3 dan 4 KUHP (UU.No.1 Tahun 1946). Karena KUHP Baru belum berlaku (UU 1/2023), dan penyidik KPK mesti bekerja sama dengan interpol.
Hak-hak model penyelidikan/investigasi seperti ini sudah menjadi SOP sebagai tehnis metode penyelidikan (investigasi) undercover (tertutup).
Barulah jika sudah mengarah kepada objek terget melalui metode terbuka (overt) atau kegiatan yang dilakukan secara transparansi sesuai Perkap No. 6 Tahun 2029 Tentang Manajemen Penyidikan Jo. KUHAP Jo. UU. Polri.
Bukan KPK langsung kepada target utama dalam hal gratifikasi, yang subjek hukumnya adalah Mr. KAESANG.
Jadi masyarakat gaduh, KAESANG tak hadiri panggilan KPK. Karena KPK “langsung menyerahkan” kepada Jokowi sebagai Presiden RI dan orang Tua tua Kaesang, inilah lalakon KPK selaku pejabat (politik) publik. Bukan selaku aparatur lembaga hukum (non unsur politik).
Semoga masyarakat diluar disiplin ilmu hukum, atau bidang hukum namun bukan ahli dibidang pidana, agar tidak ikutan termakan isu KPK yang sedang bersandiwara aktif dan berjilid- jilid. Sama dengan kasus ajudan Hasto Kristiyanto, yang dirampas HP. nya seolah maling HP. tertangkap tangan. Namun proses raib lalu berganti kasus.
Maka kasus Kaesang pun akan sama, dan pastinya melibatkan orang lain sebagai pihak pemberi gratifikasi (tidak berdiri sendiri) dan pamor kasus Kaesang bakal redup digantikan kasus lain oleh KPK dengan sebuah perkara atau beberapa perkara yang lebih puitis atau perkara dengan level yang lebih tinggi sisi politisnya disertai “volume media yang lebih hingar bingarnya”. Sedang perbedaan antara keduanya adalah, “KPK panggil dan hadirkan Hasto Kristiyanto atas perintah Jokowi untuk menundukkan Megawati, sebaliknya terhadap Kaesang, KPK yang perintahkan (menyerahkan sesuatunya) Jokowi agar lindungi Kaesang, agar tak menghadiri panggilan mereka (KPK) demi menyelamatkan Jokowi sendiri dari keberlanjutan (pengembangan kasus) gratifikasi atau KKN Kaesang.
Damai Hari Lubis (Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212)