Bandung, Ekpos.com
Seluruh pengelola Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) se – Indonesia berkumpul pada tanggal 18–20 September 2024 di Bandung. Hampir 73 Ketua Program Studi Aqidah dan Filsafat dari seluruh UIN,IAIN dan STAIN akan hadir untuk membicarakan masa depan Prodi Aqidah dan Filsafat Islam (AFI).
Prodi yang dilahirkan sejak 45 tahun silam dimulai dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, kini hadir di seluruh UIN, IAIN hingga STAIN dan STAI dari tingkat Strata 1 hingga doktoral.
Ketua Asosiasi Aqidah dan Filsafat Islam (ASAFI) Dr.Kholid Al-Walid, M.Ag mengatakan, dalam proses kehadirannya banyak penentangan yang dihadapi dalam perjalanannya. Mulai dari pandangan bahwa filsafat bukanlah ilmu yang berasal dari Islam, bertentangan dari prinsip-prinsip keyakinan Islam hingga tuduhan bahwa mahasiswa yang kuliah di prodi tidak taat pada syariat Islam hingga meninggalkan Salat dan menjadi liberal.
’’Kecurigaan demi kecurigaan tertuju pada Prodi ini. Stigmaisasi dan ketidaksukaan pada filsafat, serta kecurigaan terhadapnya pada dasarnya karena ketidakpahaman terhadap filsafat itu sendiri. Dan juga di dalam sejarah peradabaan Islam kecurigaan hingga penolakan dimulai dari perdebatan sengit Imam Al-Ghazali yang mengkritik pandangan para filosof dengan menulis karya Tahafut al-Falasifah dan jawaban keras dari Ibn Rushd dalam karyanya Tahafut al-Tahafut,’’ ujar Kholid,dilansir dari JP Metropolitan
Sejak itu filsafat menjadi sangat dicurigai pada sebagian wilayah muslim terutama wilayah muslim Sunni yang umumnya di dominasi oleh pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali, menyebabkan perkembangan Filsafat hanya terjadi di Andalusia yang kemudian menjadi cikal bakal perkembangan Filsafat Barat abad pertengahan dan di wilayah-wilayah muslim Syiah yang umumnya pola berpikir spekulatif masih sangat diterima.
Tapi secara umum dalam peradaban Islam kehadiran filsafat meredup dan dunia Islam memasuki era kemunduran dalam sains dan teknologi. Mengingat, kata dia, para saintis juga merupakan para filosof. Keadaan ini berbeda dengan apa yang terjadi di barat, karena filsafat mengalami perkembangan efeknya sains dan teknologi menggeliat dan terus berkembang hingga saat ini sehingga mengantarkan barat menjadi kiblat sains dan teknologi sekalipun tak lepas dari kritik karena watak epistemologisnya yang positivistik dan materialistik sehingga menolak hal-hal metafisik hingga agama.
Menurut Kholid, tak dapat dimungkiri jasa dalam mengembangkan filsafat di Indonesia adalah hasil usaha dari Muhammad Hatta, Tan Malaka, Romo Driyokoro yang mendirikan Sekolah Tinggi Filsafat yang kemudian dikenal dengan STF Driyokoro juga Fakultas Filsafat dan Budaya UI demikian juga Fakultas Filsafat UGM ditambah mulai banyaknya alumni McGill yang mengambil studi Filsafat atau mereka bersentuhan dengan filsafat dan para filosof selama masa studinya.
Demikian juga, kata dia, banyaknya tokoh-tokoh intelektual Filosof yang besar di Indonesia sebut saja mulai dari Driyokoro, Romo Magniz Suseno, Sutan Takdir Alisyahbana, Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Jalaluddin Rachmat, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Mulyadhi Kartanegara dan banyak nama besar lainnya lagi.
Dalam masa periode awal perkembangan filsafat di Indonesia umumnya yang berkembang adalah filsafat barat. Hal ini tentu disebabkan para pengajar filsafat berlatar belakang pendidikan barat, sedangkan pengetahuan tentang filsafat Islam masih terbatas pada studi sejarah filsafat Islam bukan filsafat Islam itu sendiri.
Baru kemudian di era 80 setelah banyak penerjemahan karya-karya filosof muslim Iran ke bahasa Indonesia seperti karya-karya Murthada Muttahari, Ali Syariati, Taqi Misbah Yazdi, Thabataba’i dan juga karya-karya besar dari Ibn Sina, Syuhrawardi dan Mulla Sadra telah memicu geliat baru studi filsafat Islam di Indonesia ditambah munculnya filsafat Perennial di barat. Salah satu tokohnya adalah Seyyed Hosein Nasr yang juga dikenal sebagian filosof Muslim yang banyak memperkenalkan gagasan-gagasan besar filosof Muslim bahkan tokoh besar Irfan seperti Ibn Arabi. Karya-karya Nasr ditulis berbahasa Inggris sehingga dapat diakses oleh banyak cendekiawan termasuk di Indonesia.
Pasca feformasi antusiasme masyarakat Indonesia pada politik praktis begitu luar biasa, hal ini dibuktikan dengan berjamurannya partai-partai politik baru yang di antara partai-partai politik tersebut banyak yang menggunakan simbol-simbol agama. Gerakan-gerakan Islamisme yang tadinya di era orde baru bersembunyi tapi pasca reformasi muncul secara terang-terangan dan menggaungkan ide Khilafah atau Negara Islam.
’’Puncaknya pada pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2017 dan dilanjutkan kemudian pada Pemilihan Presiden tahun 2019 yang telah menimbulkan gesekan-gesakan di masyarakat Indonesia demikian panasnya yang efeknya hingga sekarang masih dirasakan. Hal itu merupakan gesekan yang paling keras pernah terjadi dan gerakan-gerakan Islamisme berada di belakang salah satu calon,’’ ujarnya.
Kecenderungan pada politik praktis walau di satu sisi hal yang wajar jika dibandingkan dengan keadaan di era orde baru namun berefek negatif bahwa para intelektual yang seharusnya mengembangkan pencerahan melalui ilmu yang mereka miliki namun mereka terjebak dalam aktivitas dukung mendukung calon dan keluar dari rel akademisnya.
Tantangan berikutnya, kata Kholid, kecenderungan pada generasi Z yang meninggalkan literasi-literasi mendalam karena terbiasa dengan pola media sosial yang hanya memberikan informasi-informasi sekilas dan instant. Sehingga generasi Z mengalami kesulitan untuk memahami karya-karya besar dan referensi-referensi utama dan menjadi tidak tertarik pada diskusi-diskusi ilmiah.’’Yang terburuk bahwa generasi ini akan dengan mudah menjadi mangsa kalangan radikalis agamis,’’ terangnya.
Kondisi-kondisi ini tentu berbahaya bagi masa depan negeri ini. Jika Indonesia hendak menjadi negara maju maka Indonesia harus membenahi pendekatan pendidikan dan membangun ruang bagi perkembangan Filsafat bukan hanya sebagai wacana pemikiran tapi juga masuk menjadi bagian kurikulum pendidikan sejak dini.
Di negara-negara maju umumnya filsafat dan berpikir kritis (rational thinking) sudah diperkenalkan sejak dini. Di Indonesia kita baru menemukan studi Filsafat di tingkat Perguruan Tinggi dan itupun masih sebatas pengantar dan sejarah Filsafat bukan sebagai metode berpikir kritis. Sedangkan kalangan-kalangan Islamisme menyasar siswa-siswa sekolah menengah.
Menurut Kholid, filsafat Islam selain memperkenalkan pola berpikir rasional, kritis namun yang lebih penting berasas pada agama sehingga di dalam Filsafat Islam doktrin-doktrin agama yang terlihat rigid menjadi lebih rasional dan terbuka.
Prodi Aqidah dan filsafat Islam juga Prodi Filsafat lainnya tidak sebatas memenuhi target-target administratif kampus namun dituntut untuk memainkan peran yang lebih mendasar yaitu membangun kesadaran bangsa yang lebih substansial, menyebarkan pendekatan kritis dalam beragama sehingga tumbuh sikap moderat dan toleran dan juga merekonstruksi kembali kurikulum pendidikan khususnya pendidikan agama dengan pendekatan filsafat bukan hanya pendekatan fikih an sich, serta membangun epistemologi integrasi antara pendidikan keilmuan agama dan pendidikan keilmuan umum sehingga tidak terjebak pada pola pandang dualitas antara agama dan sains.
Indonesia sangat memerlukan kehadiran para filosof untuk mengembangkan pemikiran yang mendalam dan substansial. Sikap pragmatis yang saat ini menjadi wabah sosial disebabkan hilangnya kesadaran substansial terhadap nasib masa depan bangsa.
Demikian pula berkembangnya Islamisme yang scriptural, Intoleran dan radikal sangat membahayakan keutuhan bangsa ini dan upaya untuk mengubah cara pandang dan ideologi yang diyakini tidak cukup dengan melakukan perdebatan tetapi diperlukan upaya pengajaran Filsafat Islam di tingkat sekolah menengah dan hal itu juga pada saat yang sama akan mendorong studi-studi sains dan teknologi menjadi lebih berkembang.
’’Demikian pula harapan pemerintah untuk melakukan upaya moderasi agama tidak akan sampai pada harapan yang diinginkan jika tidak di awali dengan mengubah cara pandang Masyarakat dan membangun sikap kritis terhadap pemahaman keagamaan,’’ ujarnya.
’’Jika kita melihat beragam tantangan yang dihadapi bangsa ini maka prodi Aqidah dan filsafat Islam menjadi sangat signifikan dan sangat diperlukan kehadiran serta perannya dalam memajukan bangsa bahkan ikut terlibat dalam menciptakan generasi yang kritis dan moderat,’’ tambah Kholid.