MRP Selayaknya Menjadi “Bapa” Bagi Semua Suku di Papua Tengah

Oleh Melkias Keiya, SH*

PAPUA TENGAH || Ekpos.com – Majelis Rakyat Papua (MRP) harus berperan sebagai lembaga yang adil dan memayungi seluruh suku serta kelompok etnis di Papua Tengah.

Sebagai representasi kultural, MRP memiliki tanggung jawab untuk memahami, menghormati, dan melindungi keberagaman identitas yang membentuk masyarakat Papua. Ini mencakup kelompok pesisir dan pegunungan yang masing-masing memiliki sejarah, budaya, dan kebutuhan yang berbeda namun sama-sama penting.

Masyarakat pesisir, sering disebut “manusia perahu,” hidup dengan laut sebagai pusat kehidupan mereka. Laut bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga identitas budaya. Mereka memiliki tradisi maritim yang kuat, seperti menangkap ikan, berlayar, dan berdagang yang telah mereka lakukan selama berabad-abad.

Dalam sejarah mereka, belum tercatat adanya pengembangan atau eksplorasi di wilayah pegunungan pesisir, karena lautan dan jalur air telah lama menjadi fondasi kehidupan mereka.

Sebaliknya, masyarakat pegunungan memiliki hubungan yang dalam dengan tanah yang telah mereka garap sejak zaman leluhur. Sejarah panjang agrikultur di wilayah pegunungan ditandai dengan jejak kebun-kebun yang mencerminkan aktivitas pertanian yang terus berlanjut hingga hari ini.

Pertanian menjadi pusat kehidupan masyarakat pegunungan, dan tanah yang mereka garap menjadi bagian integral dari identitas serta keberlangsungan hidup mereka.

Dalam konteks ini, MRP tidak boleh hanya berfokus pada satu kelompok dan mengabaikan kelompok lain. Sebagai lembaga yang seharusnya merangkul seluruh masyarakat Papua Tengah, MRP harus berperan sebagai “Bapa” yang adil.

MRP harus melindungi dan mendukung semua suku, baik yang hidup di pesisir dengan tradisi maritim mereka, maupun yang hidup di pegunungan dengan budaya agrarisnya.

MRP harus berperan sebagai penghubung yang menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan kepentingan masyarakat pesisir dan pegunungan. Kedua kelompok ini memiliki peran penting dalam membentuk wajah dan identitas Papua Tengah.
Sejarah dan kontribusi dari setiap kelompok, baik dari pesisir maupun pegunungan, harus diakui dan dihormati.

MRP, dengan perannya sebagai lembaga kultural, wajib menjaga keadilan, kesejahteraan, dan keharmonisan antar suku serta memastikan bahwa tidak ada komunitas yang terpinggirkan atau diabaikan. Semua budaya harus dijaga agar tetap hidup dan dihormati.

*Sengketa tapal batas*

Terkait sengketa tapal batas tanah antara Suku Mee dan Suku Kamoro, lahan yang dipersengketakan bukanlah garapan tanah kosong wilayah baru.

Tapal batas ini telah lama menjadi perbatasan yang dihormati oleh kedua suku, dan segala permasalahan terkait wilayah tersebut harus diselesaikan dengan mempertimbangkan sejarah serta adat istiadat yang ada, bukan melalui klaim sepihak atau eksploitasi yang mengabaikan hak-hak adat.

Dalam kaitan ini, MRP mengambil keputusan terkait sengketa tanah di area wilayah adat Kapiraya itu tanpa mengenal tupoksinya.

Tugas dan tanggung jawab MRP dan Kepala Suku Besar Wilayah Meepago di Provinsi Papua Tengah memiliki batasan yang jelas, namun MRP baru-baru ini telah membuat keputusan terkait sengketa tanah di Kapiraya tanpa memahami dengan tepat fungsinya.

Hal ini menimbulkan pertanyaan seputar kewenangan yang dimiliki MRP, karena keputusan tersebut semestinya berada dalam ranah penyelesaian adat yang dipegang oleh Kepala Suku Besar dan tokoh adat setempat.

*Tugas MRP dan Kepala Suku Besar*

MRP itu sendiri adalah lembaga resmi yang bertanggung jawab dalam bidang perlindungan hak-hak adat dan budaya. Adapun wewenang mereka termasuk memberi pertimbangan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi masyarakat adat, namun bukan dalam penyelesaian perselisihan tanah adat.

Sementara itu Kepala Suku Besar Wilayah Meepago, Provinsi Papua Tengah, memiliki tanggung jawab dalam penyelesaian konflik adat, termasuk sengketa tanah di wilayah adat.

Kepala Suku Besar bertindak sebagai pemimpin adat yang menjaga keharmonisan dan melindungi hak ulayat berdasarkan hukum adat yang telah diwariskan turun-temurun.

MRP itu sendiri bekerja di ranah formal pemerintah dalam pengawasan pelaksanaan Otonomi Khusus Papua, sedangkan Kepala Suku Besar mengelola konflik dan penyelesaian adat di komunitas.

Pengambilan keputusan MRP terkait sengketa tanah di Kapiraya tanpa melibatkan tokoh adat dapat dianggap sebagai tindakan yang melampaui wewenangnya.

*Melkias Keiya, SH adalah Kepala Suku Besar Wilayah Meepago, Provinsi Papua Tengah

Total
0
Shares
Previous Article

Siap-Siap! IGF 2024 Siap Mengubah Wajah Industri Game Indonesia

Next Article

DisPoraPar Kota Sukabumi Buka FGD Dan Penyusunan RAD Layanan Kepemudaan

Related Posts