Transisi Kekuasaan Jokowi ke Prabowo, Akankah Indonesia Terhindar dari Konflik Besar?

Penulis: Agusto Sulistio

JAKARTA || Ekpos.com – Indonesia kini tengah berada di ambang transisi kepemimpinan yang cukup krusial, di mana Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengakhiri masa jabatannya, dan Prabowo Subianto akan dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2024. Di sisi lain, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan digelar pada 27 November 2024 menambah tantangan tersendiri. Di tengah situasi ini, Indonesia juga menghadapi berbagai persoalan ekonomi dan sosial yang bisa mempengaruhi stabilitas politik.

Indonesia punya karakteristik sosial-politik yang cukup unik. Meskipun sering kali kita lihat ada polarisasi politik dan ketegangan sosial, Indonesia jarang mengalami kerusuhan besar yang berkepanjangan, berbeda dengan negara-negara seperti Kenya, Argentina, atau Mesir. Ada beberapa alasan yang bisa menjelaskan perbedaan ini.

*Budaya Gotong Royong*

Masyarakat Indonesia dikenal dengan budaya gotong royong, di mana kerjasama dan kebersamaan sangat dihargai. Ketika ada masalah, masyarakat lebih suka menyelesaikannya dengan dialog ketimbang dengan kekerasan. Misalnya, saat Pilpres 2014 dan 2019, meskipun situasi politik cukup panas dan ada perbedaan pendapat yang tajam antara pendukung Jokowi dan Prabowo, kita tidak melihat kerusuhan besar. Memang ada unjuk rasa, tetapi tidak sampai jadi kekacauan besar.

Sementara itu, di Kenya, setelah pemilu 2007, masyarakat terjebak dalam kekerasan etnis yang mengakibatkan ribuan orang tewas dan banyak yang mengungsi. Situasi di Kenya lebih rumit karena banyaknya konflik yang melibatkan perbedaan etnis yang tajam.

*Stabilitas Negara*

Lembaga seperti kepolisian dan militer di Indonesia, meskipun sering kali ada kritik, tetap bisa berfungsi dengan baik dalam menjaga ketertiban. Misalnya, selama Pilpres 2019, mereka berhasil mencegah terjadinya kerusuhan yang lebih parah.

Di sisi lain, Mesir mengalami kerusuhan besar setelah revolusi 2011, yang menggulingkan Presiden Hosni Mubarak. Ketika presiden baru, Mohamed Morsi, terpilih, konflik politik antara kelompok Islamis dan militer justru semakin memperburuk keadaan. Ini mengarah pada kekacauan yang berkepanjangan, dengan banyak tindakan kekerasan terhadap para demonstran.

Kita juga tidak bisa melupakan pengalaman Reformasi 1998. Meski saat itu ada kerusuhan besar, terutama di Jakarta, setelahnya Indonesia berhasil membangun kembali sistem politiknya dengan lebih baik. Hal ini berbeda dengan Argentina, yang pada 2001 terjebak dalam kerusuhan akibat krisis ekonomi. Situasi di Argentina semakin memburuk ketika banyak presiden silih berganti dalam waktu yang sangat singkat karena ketidakstabilan.

Indonesia memiliki trauma dari peristiwa G30S/PKI pada 1965 yang membuat masyarakat lebih hati-hati dalam merespons ketegangan politik. Setelah pengalaman pahit itu, banyak orang jadi lebih memilih jalan damai daripada terjebak dalam kekerasan. Ketika ada ketegangan politik, masyarakat Indonesia biasanya lebih memilih untuk menunggu dan melihat, bukan langsung mengambil tindakan kekerasan.

Di Mesir dan Kenya, situasinya berbeda. Mereka tidak punya pengalaman seperti Indonesia, jadi ketika ada ketegangan, banyak yang langsung terjun ke dalam konflik.

*Pentingnya Penegakan Rule of Law*

Namun, kesadaran masyarakat Indonesia yang lebih mengutamakan perdamaian tidak boleh dijadikan alasan bagi Prabowo Subianto sebagai presiden baru untuk mengabaikan penegakan *rule of law*, khususnya terkait kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dan kroninya dalam hal penyalahgunaan kekuasaan, politik dinasti, serta parktek KKN. Meskipun ada upaya rekonsiliasi politik seperti pemberian penghargaan pangkat jenderal kepada Prabowo atau perubahan Tap MPRS 33/1967 guna membersihkan nama Presiden Soekarno dari tuduhan keterlibatan PKI, penegakan hukum tetap harus dijalankan.

Mengabaikan hal ini atau mempertahankan status quo dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik yang ada. Meskipun masyarakat saat ini tampak kooperatif, sejarah telah menunjukkan bahwa ketidakpuasan yang mendalam dapat berubah menjadi kemarahan yang meluas. Jika parktek penyimpangan dibiarkan tanpa sanksi, bukan tidak mungkin karakter masyarakat yang selama ini damai bisa berubah, dan kerusuhan seperti yang terjadi pada peristiwa G30S/PKI dapat terulang kembali. Perlu dicatat, ada perbedaan besar antara situasi Jokowi dan Soekarno. Soekarno bebas dari tuduhan KKN dan politik dinasti, sementara Jokowi dihadapkan pada tuduhan-tuduhan serius terkait penyalahgunaan kekuasaan.

Contoh lain dari negara demokrasi yang bisa diambil pelajaran adalah situasi di Venezuela. Di bawah kepemimpinan Nicolas Maduro, ketidakmampuan pemerintah dalam menangani krisis ekonomi dan pelanggaran terhadap hak-hak politik telah memicu protes besar-besaran. Kekerasan dalam demonstrasi, penindasan oleh militer, serta pembiaran atas pelanggaran hukum oleh para elit pemerintah menyebabkan banyak nyawa melayang dan menghancurkan tatanan sosial di negara tersebut. Ini menunjukkan bahwa stabilitas sosial bisa cepat terganggu jika hukum tidak ditegakkan secara adil.

*Kesimpulan*

Dengan berbagai tantangan yang ada, Indonesia memang memiliki modal sosial yang kuat untuk mencegah kerusuhan besar. Masyarakat yang menghargai kebersamaan, pengalaman sejarah yang matang, dan lembaga negara yang cukup stabil membuat kita berbeda dari negara-negara yang sering terjebak dalam konflik berkepanjangan. Namun, penegakan hukum tetap harus ditegakkan tanpa pandang bulu, untuk mencegah ketidakpuasan publik yang dapat mengancam stabilitas negara di masa depan. TNI dan Polri harus tetap berpihak pada rakyat, bukan penguasa, untuk memastikan stabilitas dan keadilan di tengah transisi kekuasaan ini.

*Pegiat Sosmed, Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era tahun 90an

Total
0
Shares
Previous Article

Jelang Kejurnas Pencak Silat Piala Kasad Ke-2, Kontingen Kodam V/Brawijaya Siap Tempur

Next Article

Permohonan Praperadilan Abdul Basir Latuconsina, Dikabulkan PN Jaktim

Related Posts