Melawan Kebiasaan Buruk dalam Pilkada DKI Jakarta 2024

Penulis: Agusto Sulistio

JAKARTA || Ekpos.com – Berkat rahmat dan lindungan Allah SWT, bangsa Indonesia telah berhasil melewati Pemilihan Presiden 2024 yang penuh ketegangan tanpa konflik besar. Namun, tantangan berat kembali hadir dalam Pilkada serentak pada 27 November 2024.

Seperti yang sering terjadi, pilkada kali ini kembali diramaikan oleh politik identitas, fitnah, dan serangan negatif terhadap calon kepala daerah. Politik identitas kerap digunakan untuk merusak citra kandidat yang dianggap “berbeda” berdasarkan agama, etnis, atau kelompok sosial.

Contoh nyata terjadi pada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung dan Rano Karno. Mereka menghadapi tuduhan tak berdasar yang menyebut mereka sebagai “anti-Islam.” Tuduhan ini merugikan nama baik keduanya dan menimbulkan keraguan di kalangan pemilih.

*Ancaman Politik Identitas*

Politik identitas adalah strategi yang memanfaatkan unsur agama, suku, atau ras untuk meraih dukungan politik. Meskipun strategi ini mungkin efektif secara jangka pendek, dampaknya mengancam kerukunan sosial dan persatuan bangsa.

Pemilih menjadi terpengaruh oleh isu agama atau etnis daripada kualitas kepemimpinan dan visi pembangunan yang ditawarkan. Oleh karena itu, pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang keras penggunaan politik identitas dalam kampanye untuk menjaga keutuhan bangsa.

*Tuduhan dan Fitnah dalam Pilkada DKI Jakarta*

Pasangan Pramono Anung dan Rano Karno menghadapi tantangan besar. Di satu sisi, mereka harus menyampaikan visi dan misi serta menemui warga untuk memahami persoalan sehari-hari dan harapan masyarakat. Di sisi lain, mereka harus menghadapi fitnah dan isu-isu negatif yang terus mengancam reputasi mereka.

Tuduhan bahwa Pramono “anti-Islam” muncul akibat pernyataannya yang menekankan pentingnya keadilan bagi semua agama. Pernyataan ini dipelintir oleh kelompok tertentu dan dijadikan senjata untuk menyerangnya.

Pramono bahkan mengklarifikasi bahwa program “Magrib Mengaji” yang diusulkan kandidat lain sebenarnya sudah pernah diinisiasi oleh gubernur sebelumnya, Anies Baswedan, dan ia berniat melanjutkannya dengan nama “Happy Mengaji,” melibatkan lebih banyak lapisan masyarakat. Namun, fitnah tetap dilancarkan oleh pihak-pihak yang ingin merusak citranya.

Pramono, dengan latar belakang pendidikan agamanya, bahkan siap membuktikan kemampuan mengajinya jika diperlukan, memperlihatkan bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar. Ia menegaskan bahwa politik agama tak boleh dijadikan alat untuk memecah belah masyarakat.

*Pelajaran Pilpres AS 2008, Barack Obama*

Kasus serupa terjadi di Amerika Serikat saat Barack Obama mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2008. Sebagai kandidat kulit hitam pertama, Obama menjadi sasaran serangan identitas. Tuduhan palsu bahwa ia Muslim dan tidak lahir di AS, dikenal sebagai “birther conspiracy,” disebarkan oleh mereka yang merasa terancam oleh perubahan yang diwakili Obama, termasuk Donald Trump.

Meskipun tuduhan tersebut terbukti salah, dampaknya tetap besar, memecah belah suara dan menurunkan kepercayaan publik terhadap Obama. Namun, Obama berhasil mengatasi serangan tersebut dengan pesan persatuan dan perubahan, membuktikan bahwa kampanye berbasis fitnah identitas bisa dikalahkan.

*Melawan Kebiasaan Buruk dalam Politik*

Setiap upaya melawan kebiasaan buruk, seperti politik identitas, selalu menghadapi tantangan besar. Kelompok yang diuntungkan oleh status quo akan berusaha mempertahankan kekuasaan dengan menyebarkan fitnah dan manipulasi.

Obama dan Pramono Anung adalah contoh bagaimana perlawanan terhadap kebiasaan buruk akan selalu ada, namun dengan keteguhan prinsip dan komitmen pada kebenaran, perubahan dapat tercapai.

*Membangun Demokrasi Tanpa Politik Identitas*

Sebagai bangsa yang terdiri dari beragam suku, agama, dan budaya, kita telah berkali-kali diuji oleh politik identitas. Namun, berkali-kali pula kita berhasil melewatinya dengan tetap menjaga persatuan.

Pada Pilkada 2024, kita dihadapkan pada pilihan apakah kita akan membiarkan politik identitas memecah belah kita, atau memilih pemimpin berdasarkan visi, program, dan integritas? Politik identitas mungkin memberi keuntungan sesaat, tetapi dalam jangka panjang hanya akan memperdalam luka sosial dan menghambat kemajuan.

Mari jadikan Pilkada ini sebagai ajang untuk membuktikan bahwa kita mampu berpolitik dengan dewasa, tanpa menggunakan identitas untuk meraih kemenangan. Dengan begitu, kita bisa membangun Jakarta dan Indonesia yang lebih kuat, adil, dan damai bagi seluruh rakyat.

*Adalah: Pegiat Sosmed, Pendiri The Activist Cyber, Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era tahun 90an.*

Total
0
Shares
Previous Article

Herman Khaeron Masuk Lagi ke Senayan, Janji Tingkatkan Kesejahteraan Rakyat

Next Article

Hari Kesaktian Pancasila, Ideologi Tak Tergantikan

Related Posts