Oleh: Agusto Sulistio (Pegiat Sosmed, Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era tahun 90an)
JAKARTA || Ekpos.com – Masa transisi kekuasaan di Indonesia biasanya ditandai dengan pengurangan aktivitas politik yang signifikan dari presiden yang akan lengser. Presiden yang akan mengakhiri masa jabatannya umumnya lebih banyak menyerahkan arah kebijakan kepada presiden terpilih dan menjaga netralitas politik. Namun, apa yang terjadi menjelang peralihan kekuasaan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Presiden terpilih Prabowo Subianto periode 2024-2029 tampak berbeda dari pola sebelumnya.
Tidak lazimnya transisi kekuasaan kali ini dapat dilihat dari dua aspek utama yakni pergantian kabinet di akhir masa jabatan Jokowi dan campur tangan politik Jokowi dalam urusan kabinet ke depan.
*Pergantian Kabinet Menjelang Akhir Masa Jabatan*
Presiden Jokowi baru-baru ini melakukan reshuffle kabinet di tengah masa transisi menuju pemerintahan Prabowo Subianto. Langkah ini memicu pertanyaan publik, mengingat perombakan kabinet pada periode transisi biasanya jarang terjadi, bahkan bisa dibilang tidak lazim. Tradisi di Indonesia cenderung memberikan ruang kepada presiden terpilih untuk menentukan arah kabinet berikutnya sesuai dengan kebijakan dan visi pemerintahannya.
Pergantian di akhir masa jabatan ini mengisyaratkan bahwa Jokowi masih ingin menegaskan pengaruhnya dalam pemerintahan, bahkan ketika masa jabatannya mendekati akhir. Tidak dapat dipungkiri bahwa langkah ini menuai kritik, terutama karena dapat menimbulkan ketegangan antara pemerintahan Jokowi yang akan berakhir dengan pemerintahan baru di bawah Prabowo.
*Cawe-Cawe Urusan Kabinet*
Selain reshuffle kabinet, Jokowi juga terlihat tetap aktif dalam urusan politik di balik layar, termasuk dalam proses transisi pemerintahan. Jokowi secara terbuka menyatakan keterlibatannya dalam membantu pembentukan kabinet Prabowo. Hal ini tentu mengundang pertanyaan mengenai batas-batas wewenang seorang presiden yang akan lengser dengan presiden terpilih. Biasanya, presiden yang sedang menjabat cenderung menjaga jarak dan tidak terlalu banyak ikut campur dalam pembentukan kabinet pemerintah berikutnya, demi menjaga independensi dan kelancaran transisi kekuasaan.
Campur tangan Jokowi dalam peralihan kekuasaan ini daoat disebut sebagai “cawe-cawe politik,” yang menjadi bagian dari dinamika politik transisi kali ini. Ini tentu bukan tanpa alasan. Selama masa kepemimpinannya, Jokowi telah membangun jaringan politik yang luas, termasuk di kalangan elit partai dan pengusaha. Langkah Jokowi ini bisa jadi merupakan upaya untuk memastikan bahwa kebijakan dan kepentingan politik yang telah ia bangun selama dua periode masa jabatannya tetap berlanjut dalam pemerintahan Prabowo.
*Ambisi Tiga Periode ke Dinasti Politik*
Upaya cawe-cawe Jokowi terhadap pemerintahan Prabowo semakin nyata setelah rencananya untuk memperpanjang masa jabatannya menjadi tiga periode kandas. Penolakan keras datang dari Ketua Umum PDI-P, partai pengusungnya sendiri. Keadaan ini memaksa Jokowi mencari cara lain untuk mempertahankan pengaruh politiknya, dan salah satu langkah yang paling jelas adalah memastikan keterlibatan keluarganya dalam pemerintahan mendatang.
Jokowi berhasil meloloskan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2024, yang penuh dengan kontroversi. Manuver ini menunjukkan bahwa Jokowi tengah membangun dinasti politik yang bisa terus berjalan meskipun dirinya tidak lagi menjabat sebagai presiden. Dengan Gibran sebagai wakil presiden, jelas bahwa Jokowi telah menanamkan pengaruh keluarganya di dalam pemerintahan Prabowo.
Langkah ini sinyal kuat bahwa Jokowi tidak sepenuhnya melepaskan kendali politiknya. Sebaliknya, ia sedang merancang jalur politik yang akan menjamin keberlanjutan pengaruhnya, bahkan melalui anak-anaknya. Transisi kekuasaan ini tidak hanya sekadar peralihan dari satu presiden ke presiden berikutnya, tetapi juga sebuah transformasi politik yang melibatkan penguatan dinasti politik keluarga Jokowi.
*Kabinet Prabowo Bayang-Bayang Jokowi*
Sinyal pengaruh kuat Jokowi juga semakin nyata setelah susunan kabinet Prabowo mulai terbentuk. Pada 14 Oktober 2024, beberapa nama calon menteri telah dipanggil menghadap Prabowo, dan yang hadir sebagian besar adalah loyalis Jokowi, orang-orang yang selama ini mendukung kebijakan-kebijakannya. Ironisnya, meskipun Prabowo adalah presiden terpilih, publik menilai kabinet tersebut lebih banyak didominasi oleh pendukung Jokowi dibandingkan dengan sosok-sosok yang benar-benar mewakili visi dan misi Prabowo sendiri.
Ini menimbulkan pertanyaan besar, seberapa mandiri Prabowo dalam membentuk pemerintahannya? Jika kabinet yang akan dibentuk lebih banyak diisi oleh loyalis Jokowi, apakah itu berarti bahwa pemerintahan Prabowo akan menjadi perpanjangan dari pemerintahan Jokowi? Ketidakjelasan batas wewenang dan peran ini dapat menimbulkan gesekan di kemudian hari, terutama ketika Prabowo mencoba untuk mengimplementasikan kebijakannya sendiri yang berbeda dengan visi Jokowi.
*Ketidaklaziman Etika Politik Jokowi*
Dalam konteks perbandingan internasional, apa yang dilakukan oleh Jokowi dalam transisi kekuasaan ini sulit ditemukan di negara-negara demokrasi besar lainnya. Biasanya, ketika seorang presiden mendekati akhir masa jabatannya, terutama dalam sistem demokrasi yang mapan, mereka cenderung lebih netral dan memberi kebebasan kepada presiden terpilih untuk membentuk pemerintahannya sendiri. Misalnya, di Amerika Serikat, setelah pemilihan presiden, presiden yang sedang menjabat akan menahan diri dari perubahan kebijakan besar atau pergantian kabinet, memberikan transisi yang lancar kepada penerusnya.
Di negara-negara seperti Jerman, Prancis, atau Inggris, tradisi demokratis menekankan pentingnya transisi kekuasaan yang mulus dan tanpa intervensi berlebihan dari pemimpin yang akan lengser. Misalnya, Angela Merkel di Jerman memastikan bahwa transisi ke penggantinya, Olaf Scholz, berlangsung secara lancar tanpa perubahan besar-besaran di kabinetnya pada akhir masa jabatannya. Emmanuel Macron di Prancis juga menjaga netralitasnya selama masa transisi, memberi ruang bagi presiden baru untuk menentukan arahnya sendiri.
Langkah Jokowi, yang justru memperkuat dinasti politik dan mengintervensi penyusunan kabinet pemerintahan berikutnya, menunjukkan adanya pelanggaran terhadap etika politik yang umumnya dipegang oleh negara-negara demokrasi. Cawe-cawe ini dapat dianggap sebagai upaya untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaan pribadi bahkan setelah masa jabatan resmi berakhir, sesuatu yang tidak lazim dan jarang terlihat dalam transisi demokrasi yang sehat.
Pada akhirnya, transisi kekuasaan yang tidak lazim ini menghadirkan tantangan bagi presiden terpilih Prabowo Subianto. Masyarakat menanti bagaimana Prabowo akan memimpin dan membentuk pemerintahan, serta sejauh mana ia dapat membawa perubahan di tengah bayang-bayang pengaruh Presiden Jokowi yang masih kuat. ***
_RS. Cipto Mangunkusumo, Salemba, Jakarta Pusat, Selasa 15 Oktober 2024, 12:36 Wib._