Oleh: Agusto Sulistio (Pegiat Sosmed, Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era tahun 90an)
JAKARTA || Ekpos.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendekati akhir masa jabatannya dengan langkah-langkah politik strategis yang memperlihatkan keterlibatannya hingga detik terakhir. Berbeda dengan para pendahulunya yang cenderung pasif dan menyerahkan transisi sepenuhnya kepada presiden terpilih, Jokowi masih memainkan peran aktif, termasuk dalam perombakan kabinet dan pemberhentian pejabat tinggi. Langkah ini tidak hanya menunjukkan intensitas kepemimpinannya, tetapi juga memunculkan pertanyaan tentang moral dan etika politik dalam masa transisi kekuasaan.
Di negara-negara besar seperti Amerika Serikat, tradisi politik mengutamakan transisi yang mulus dengan sedikit campur tangan dari presiden yang akan lengser. Misalnya, Presiden George W. Bush pada 2008, setelah Barack Obama memenangkan pemilu, menghindari pengambilan kebijakan besar dan menghentikan langkah-langkah yang dapat mempengaruhi pemerintahan baru. Bahkan saat krisis ekonomi global terjadi, Bush lebih memilih berkoordinasi dengan Obama untuk memastikan kebijakan transisi ekonomi tetap sejalan dengan arah pemerintahan berikutnya.
Begitu pula dengan Donald Trump pada 2020. Meskipun terdapat ketegangan politik setelah kekalahannya dari Joe Biden, secara struktural Trump tidak melakukan *reshuffle* kabinet atau mengganti pejabat strategis menjelang akhir masa jabatannya. Transisi resmi diserahkan kepada tim Biden meski terdapat penundaan dan kontroversi seputar pengakuan hasil pemilu. Di negara-negara ini, meskipun terjadi pergantian kekuasaan dengan latar belakang politik yang berbeda, presiden lama umumnya menjaga stabilitas dan menghormati mandat presiden baru tanpa melakukan intervensi besar.
Berbeda dengan model transisi di Amerika Serikat, Jokowi tetap aktif terlibat dalam perombakan kabinet dan penggantian pejabat strategis hingga masa jabatannya hampir berakhir. Hal ini memunculkan dinamika baru dalam transisi kekuasaan di Indonesia yang mengundang perhatian publik terkait batas-batas etis seorang presiden dalam menjaga keseimbangan politik di akhir masa kepemimpinan.
*Manuver Politik Reshuffle Kabinet dan Penyusunan Pemerintahan Baru*
Setelah Pilpres 2024 yang dimenangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Jokowi melakukan tiga kali *reshuffle* kabinet. Langkah ini terlihat dari pelantikan sejumlah menteri dan kepala badan pada 19 Agustus 2024, termasuk penunjukan Bahlil Lahadalia sebagai Menteri ESDM dan Supratman Andi Agtas sebagai Menteri Hukum dan HAM, keduanya tokoh kunci dari lingkaran politik Prabowo. Perubahan ini mengindikasikan keterlibatan Jokowi dalam membentuk konfigurasi kekuatan politik ke depan.
Upaya intervensi lebih lanjut terungkap dari pemberitaan media tentang keterlibatan Jokowi dalam menentukan tokoh-tokoh strategis untuk kabinet mendatang. Media seperti **Tempo** dan *Kompas* menyebut bahwa Jokowi melakukan *cawe-cawe* intervensi politik dalam proses pembentukan kabinet Prabowo-Gibran. Penempatan tokoh seperti Rosan Roeslani, Ketua Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, dan Thomas Djiwandono, yang aktif di Gerindra, memperkuat dugaan bahwa Jokowi berusaha mempertahankan pengaruh politiknya pasca-kepemimpinan.
*Pergantian Kepala BIN*
Manuver politik Jokowi tidak berhenti di perombakan kabinet. Beberapa hari sebelum masa jabatannya berakhir, Jokowi mengajukan pemberhentian Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Jenderal Budi Gunawan, yang selama ini dikenal sebagai sosok berpengaruh di lingkaran istana. Jokowi mengusulkan Letjen TNI (Purn) Muhammad Herindra, Wakil Menteri Pertahanan, sebagai penggantinya.
Langkah ini menimbulkan pertanyaan publik karena dilakukan pada masa krusial menjelang serah terima kekuasaan. Menanggapi kontroversi tersebut, Jokowi berdalih bahwa pergantian ini hanya persoalan administrasi dan sudah didiskusikan dengan presiden terpilih, Prabowo Subianto. Menurut Jokowi, Prabowo meminta agar kepala BIN baru dilantik bersama kabinet barunya pada 21 Oktober 2024.
Namun, alasan ini menimbulkan keraguan. Pertama, keputusan untuk mengganti kepala lembaga strategis seperti BIN di penghujung masa jabatan bukanlah langkah biasa. Secara politik, hal ini mengisyaratkan adanya upaya untuk memastikan kendali atas lembaga intelijen selama masa transisi. Kedua, mengingat hubungan dekat Budi Gunawan dengan elite politik dan Megawati Soekarnoputri, pemberhentian ini memunculkan spekulasi tentang friksi internal di antara tokoh-tokoh penting dalam lingkar kekuasaan.
*Analisis Dibalik Pergantian Kepala BIN*
Badan intelijen memiliki peran sentral dalam mengelola informasi strategis dan keamanan nasional. Pergantian Kepala BIN menjelang serah terima kekuasaan bisa menjadi cara Jokowi untuk memastikan kontrol informasi dan stabilitas selama masa transisi tidak terganggu. Langkah ini dapat mengamankan kepentingan politiknya hingga akhir dan mencegah potensi bocornya informasi strategis kepada aktor-aktor baru dalam pemerintahan Prabowo.
Letjen (Purn) Muhammad Herindra adalah figur yang selama ini dekat dengan Jokowi dan merupakan Wakil Menteri Pertahanan di bawah Prabowo. Dengan menunjuk Herindra sebelum Prabowo resmi dilantik, Jokowi berpotensi memastikan adanya loyalitas berlapis di lingkungan intelijen, di mana Kepala BIN yang baru memiliki hubungan baik dengan Jokowi sekaligus harus beradaptasi dengan kepemimpinan Prabowo. Ini menempatkan Herindra dalam posisi dilematis dengan potensi loyalitas ganda.
Budi Gunawan dikenal sebagai figur yang sangat dekat dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Pergantiannya bisa mencerminkan strategi Jokowi untuk mengurangi pengaruh Megawati di lingkup intelijen. Ini dapat dilihat sebagai manuver politik Jokowi agar ia tidak sepenuhnya tergantung pada kelompok PDIP, terutama setelah dukungan Megawati terhadap wacana presiden tiga periode tidak terwujud.
Idealnya, pengangkatan Kepala BIN baru diserahkan kepada presiden terpilih agar pejabat yang diangkat benar-benar merepresentasikan prioritas dan strategi kepemimpinan baru. Namun, ada beberapa alasan mengapa Jokowi mengambil langkah ini sendiri?
Dengan menunjuk Herindra berdasarkan konsultasi dengan Prabowo, Jokowi tidak hanya mempertahankan pengaruhnya tetapi juga secara politis membuat Prabowo memiliki kewajiban moral untuk menghormati keputusan ini. Ini bisa memperkuat posisi Jokowi di luar pemerintahan sebagai figur yang tetap relevan.
*Dampak bagi Pemerintahan Prabowo ke Depan*
Loyalitas Ganda Kepala BIN. Muhammad Herindra, sebagai pejabat yang diangkat atas inisiatif Jokowi, berada dalam situasi sulit. Ia harus menunjukkan loyalitas kepada Jokowi yang memberinya jabatan sekaligus kepada Prabowo sebagai pemimpin baru. Dalam konteks politik Indonesia, loyalitas ganda seperti ini dapat menciptakan potensi konflik dan keraguan di dalam pemerintahan.
Potensi Hambatan dalam Kebijakan Intelijen. Apabila Herindra lebih condong kepada kepentingan Jokowi, keputusan-keputusan strategis terkait intelijen bisa menjadi kurang efektif dan berisiko menghambat implementasi kebijakan Prabowo. Di sisi lain, Prabowo mungkin akan kesulitan menemukan ruang yang cukup untuk mengarahkan agenda intelijen sesuai visi dan misinya.
Preseden Politik yang Buruk. Langkah ini menciptakan preseden bahwa presiden yang akan lengser dapat tetap melakukan intervensi signifikan hingga akhir masa jabatan, termasuk dalam pengisian jabatan strategis. Ini bisa memengaruhi stabilitas politik dan menciptakan ketidakpastian di masa depan, terutama dalam masa transisi pemerintahan.
*Penutup*
Aktivitas politik Jokowi menjelang akhir jabatannya memunculkan pertanyaan mendasar terkait etika dan moral politik dalam transisi kekuasaan. Secara normatif, presiden yang masa jabatannya akan berakhir seharusnya berperan sebagai penjaga stabilitas dan memastikan transisi berjalan mulus tanpa intervensi berlebihan. Namun, langkah-langkah Jokowi menunjukkan kecenderungan untuk mempertahankan pengaruh, baik melalui *reshuffle* kabinet maupun pergantian pejabat tinggi seperti kepala BIN.
Secara etis, tindakan ini bisa dilihat sebagai bentuk politisasi proses transisi yang seharusnya netral dan transparan. Kendati Jokowi berdalih bahwa perubahan tersebut telah disepakati dengan Prabowo, kenyataan bahwa langkah ini diambil menjelang akhir masa jabatannya menimbulkan kesan kuat adanya agenda terselubung. Ini sejalan dengan dinamika politik sebelumnya, ketika gagasan presiden tiga periode ditolak, dan Jokowi kemudian mengalihkan strateginya dengan mendorong Gibran sebagai wakil presiden terpilih.
Langkah Jokowi ini berisiko menciptakan preseden buruk bagi pelaksanaan transisi kekuasaan di Indonesia. Pergantian pejabat strategis di masa akhir jabatan dapat mengganggu kepercayaan publik dan stabilitas pemerintahan baru. Selain itu, keterlibatan berlebihan dalam pembentukan kabinet baru berpotensi merusak prinsip *good governance* dan mengaburkan batas antara masa jabatan presiden yang lama dan yang baru.
_Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat 18 Oktober 2024, 15:27 WIB._