JAKARTA || Ekpos.com – Ketua Presidium Indonesia Traffic Watch (ITW), Edison Siahaan, belum melihat indikasi adanya kepedulian Pemerintahan Prabowo-Gibran terhadap lalu lintas (lalin) dan angkutan umum yang saat ini berada dalam kondisi memprihatinkan. Bahkan, dalam buku Prabowo Subianto bertajuk *Paradoks Indonesia dan Solusinya*, topik mengenai lalu lintas dan angkutan jalan tidak disinggung. Padahal, lalu lintas adalah bagian dari budaya bangsa, potret modernisasi, serta urat nadi kehidupan yang semestinya mendapat perhatian serius dari pemerintah.
“Kemacetan, kesemrawutan, serta kecelakaan lalu lintas kini menjadi momok bagi masyarakat, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan,” ujar Edison melalui keterangannya, Minggu (27/10).
Dijelaskannya, Permasalahan lalu lintas ini bahkan menimbulkan kerugian mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahunnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Lalu Lintas Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, kemacetan di wilayah Jabodetabek berpotensi menimbulkan kerugian hingga Rp100 triliun per tahun. Sementara itu, kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Semarang, Bandung, dan Medan masing-masing menyumbang kerugian akibat kemacetan sebesar Rp12 triliun per tahun. Berdasarkan kajian Bank Dunia tahun 2019, kemacetan di Jakarta sendiri berpotensi menimbulkan kerugian sebesar Rp65 triliun per tahun.
“Sayangnya, hingga kini pemerintah belum memberikan perhatian khusus terkait upaya mengatasi kemacetan dan permasalahan yang nyata terlihat di hampir seluruh ruas jalan raya,” ujarnya.
ITW mengingatkan, agar pemerintah ke depan lebih memperhatikan prinsip *Accessibility* dalam pembangunan infrastruktur transportasi, yaitu dengan menciptakan infrastruktur yang mudah diakses publik, terintegrasi ke seluruh wilayah, serta terjangkau secara ekonomi. Pendekatan ini berbeda dengan prinsip *Car Mobility* yang sebelumnya lebih berfokus pada pembangunan sarana jalan, seperti jalan tol dan jalan layang, yang justru mendorong masyarakat menggunakan kendaraan pribadi. Hal ini diperparah dengan pertumbuhan industri otomotif yang dalam lima tahun terakhir mencapai 4-5 persen, terutama di Jakarta.
ITW menilai bahwa, penyebab utama kemacetan adalah tidak terkontrolnya jumlah kendaraan, sehingga ruas dan panjang jalan yang ada tidak mampu menampung pertumbuhan kendaraan yang terus meningkat setiap hari. Hendaknya pemerintah mulai mempertimbangkan pembatasan jumlah kendaraan dengan, misalnya, mewajibkan surat keterangan kepemilikan garasi bagi setiap pembelian kendaraan baru.
Selain itu, kondisi jalan yang kurang memadai juga seringkali menghambat kelancaran lalu lintas, misalnya akibat galian jalan yang dilakukan tanpa koordinasi dengan pemangku kepentingan lainnya. Faktor lainnya adalah human error yang diakibatkan rendahnya kesadaran berlalu lintas dan keselamatan. Pelanggaran rambu lalu lintas dan sikap abai memicu kesemrawutan hingga kecelakaan di jalan raya. Pemerintah hendaknya meningkatkan sosialisasi dan melibatkan berbagai pihak dalam upaya meningkatkan kesadaran tertib berlalu lintas.
ITW juga mengingatkan pemerintah agar tidak terus “beternak konflik” dengan membiarkan praktik ilegal di bidang lalu lintas berlangsung tanpa tindakan maupun solusi. Jika pelanggaran terus dibiarkan seolah menjadi legal, ini bisa memicu konflik yang berpotensi mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).
“ITW mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk terus mengingatkan pemerintah bahwa mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas (Kamseltibcarlantas), serta menyediakan transportasi umum, adalah bagian dari pelayanan publik yang menjadi kewajiban negara, bukan sekadar layanan bisnis atau mesin pencari untung,” pungkasnya. (Red).