SAMPAH kembali menjadi momok bagi warga Kota Bandung saat ini. Bagaimana tidak, persoalan klasik terkait overloadnya tempat penampungan sampah terakhir (TPA) Sarimukti diduga menjadi penyebabnya. Sehingga seluxruh organisasi perangkat daerah (OPD) dikomandoi oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota (Pemkot) Bandung hingga tingkat kewilayahan dibuat sibuk karenanya.
Meskipun berbagai upaya terus dilakukan Pemkot Bandung guna meminimalisir persoalan sampah dengan menggelontorkan dana yang tiudak sedikit melalui berbagai program. Diantaranya magotisasi, Kang Pisman bahkan saat ini Pemkot Bandung sudah memberikan intruksi ke seluruh aparat kewilayahan untuk menggurangi jumlah pengankutan sampah (ritasi) hingga 30 persen.
Tak hanya itu, seluruh OPD pun menerjunkan petugas khusus guna membantu aparat kewilayahan memberikan edukasi pemilahan sampah dan bekerjasama dengan akademisi untuk melakukan pendataan tentang volume sampah yang dihasilkan di setiap wilayah.Tentunya selain melibatkan semua unsur hingga elemen masyarakat juga membutuhkan dana yang tidak sedikit guna menangani persoalan sampah di Kota Bandung.
Namun ada hal yang menarik, keterlibatan semua OPD tersebut belum banyak membawa perubahan dalam penanganan sampah di Kota Bandung, justru diduga malah menjadi peluang untuk menciptakan uang bagi sejumlah oknum DLHK. Bagaimana tidak selain mendapatkan dana operasional dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) juga adanya kutipan baik dari masyarakat melalui Ketua Rukun Warga (RW), perusahaan swasta, lembaga pendidikan hingga ke tingkat Kelurahan dan Kecamatan.
Bahkan dari informasi yang didapat, setiap RW harus menyerahkan iuran dengan besaran antara Rp 600.000-Rp1000.000/ bulan tergantung kemampuan strata ekonomi masyarakatnya. Pun untuk tingkat kelurahan dan kecamatan harus membayar biaya pengankutan sampah Rp 55.000/bulan. Julah RW di Kota Bandung adalah 1.597 dan 151 kelurahan dan 30 kecamatan. Sehingga jika diakumulasikan mencapai puluhan miliar perbulanya, belum dari perusahaan swasta baik hiburan, rumah makan maupun hotel dan lembaga pendidikan.Kemana larinya dana tersebut?
Kiranya perlu adanya evaluasi dari lembaga legislatif dalam hal ini DPRD Kota Bandung untuk melakukan klarifikasi dan evaluasi ke DLHK terkait perguliran dana tersebut. Karena, yang paling kena getahnya dalam hal ini adalah para ketua RW yang harus mempertanggungjawabkan keuangan tresebut ketika adanya keterlambatan pengangkutan sampah. Belum lagi untuk bisa melancarkan pengangkutan para petugas pengangkut sampah di setiap RW harus membayar upeti Rp 50.000 kepada petugas angkut (sopir) dump truk pengangkut sampah.(bg) *