Damai Hari Lubis (Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212)
JAKARTA || Ekpos.com – Dr. Habib Rizieq Shihab/HRS menolak mentah-mentah kenaikan pajak oleh pemerintah dari 11 % ke 12 %
Menurut pendapat HRS, pajak mesti diturunkan dari 11% menjadi 5 % dan bagi para orang miskin justru bebas dari pajak
Hal bebas pajak bagi orang miskin ini memang logis, terlebih kenaikan pajak asumsi publik adalah cost menutupi defisit, diantaranya harus menutupi kebocoran keuangan negara, implikasi perilaku korupsi oleh para pejabat publik dan korporasi dan nyata gagal dalam faktor (law enforcement) pemberantasan setidaknya gagal untuk meminimalisir korupsi.
Sehingga pemerintah menerapkan teori terbalik, pemerintah butuh bantuan subsidi dari rakyat miskin melalui kenaikan pajak.
Semestinya dengan logika sederhana, penguasa penyelenggara negara wajib mengejar target kebutuhan serta cadangan devisa (keuangan negara) dengan mengejar para koruptor dan sita seluruh hartanya, baik harta bergerak maupun harta tidak bergerak. Bukan sebaliknya praktikan pola rentenir, memberi pinjaman kepada program makan pagi nominal Rp. 10.000,- (sepuluh ribu) kepada sebagian (anak) kecil orang tak mampu, namun memungut riba dengan pola menaikan pajak bagi orangtua mereka, bahkan lebih kejam dari rentenir, karena riba dipungut paksa kepada seluruh keluarga orang miskin yang tak kebagian makan pagi.
Bertambah tragis rezim penguasa justru berwacana impunity kepada para terduga koruptor.
Pastinya, realitas praktik dan retorik yang tengah berlangsung, merupakan deskripsi dari pola kebijakan politik ekonomi imperialisme (menjajah bangsanya sendiri), sehingga kontradiktif dengan retorika populisme yang telah dan sedang digaungkan.
Dan politik renten *_merupakan cerminan perilaku anomali daripada makna keadilan yang terdapat dalam rumusan pancasila sila ke 5._*
Selanjutnya teori cita-cita didirikannya negara republik Indonesia sesuai pembukaan UUD. 1945 alinea ke 4, yakni demi mencapai mensejahterakan rakyat semakin absurd, gagal total. Sebaliknya praktik korupsi bakal bertambah subur dan menjamur, karena faktor lemahnya pengawasan dan pencegahan serta pemberantasan korupsi (low enforcement).
Maka dengan segala fenomena kebijakan politik ekonomi dan hukum yang sektor penegakannya buruk (bad behavior), karena praktiknya menggunakan pola mencekik ran merampas hasil pendapatan rakyat miskin, lalu bakal membuat subur praktik korupsi merupakan anomali daripada prinsip-prinsip good government (asas-asas pemerintahan yang baik)
Dan pastinya keadilan tidak bakal didapatkan oleh seluruh WNI yang tingkat per-kapitanya rendah atau kategori miskin karena sebagian penyelenggara negara amoral (rusak akhlak) akibat revolusi mental, selebihnya hampir semua sisi kebijakan politik masa lalu (rezim Jokowi) baik disektor ekonomi maupun hukum bahkan budaya anomali, cenderung nir adab.
Dan nyata janji pemerintah (Jokowi) pada tahun 2024 bahwa garis kemiskinan yang ekstrim bakal 0 % terbukti gagal total, sehingga bisa berdampak pada pemerintahan baru (kontemporer) akan lebih terpuruk. Terlebih sebagian besar menterinya *_model Muhaimin dan Airlangga cs_* yang pernah eks terduga korupsi kembali diberi kuasa oleh Presiden RI ke 8 atas “titipan seorang Jokowi bekas presiden” yang menyisakan segudang problem, dan sosok yang sebenar-benarnya harus bertanggungjawab dan mesti dihukum atas segala residu 10 tahun masa kepemimpinannya. ***