Oleh H. Damai Hari Lubis, SH, MH (Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik).
JAKARTA || Ekpos.com – _(Abstrak, “GERAKAN POLITIK KPK” BAHAYAKAN LAW ENFORCEMENT DAN KEHIDUPAN DEMOKRASI)_
Analisa hukum terkait status Tersangka Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP dalam hubungan hukumnya terhadap DPO. Harun Masiku Jo. Vonis putusan perkara Nomor 28/Pid.Sus-Tpk/2020/PN.Jkt.Pst (Nomor 28 Tahun 2020) terhadap Terdakwa 1 Wahyu Setiawan, eks anggota KPU Pemilu 2019 dan Terdakwa 2 Agustine Tio Fridelina, eks anggota Bawaslu 2019 telah inkracht van gewijsde (putusan pengadilan yang berkekuatan tetap), vide HIR Jo. KUHAP (UU. No. 8 Tahun 1981).
Selanjutnya, ada baiknya sebelum lebih jauh menyentuh materi bahasan, mesti dipahami lebih dulu bahwa tujuan fungsi hukum adalah demi mendapatkan kepastian dan manfaat serta keadilan.
Oleh sebab sistim hukum (KUHAP), maka KPK pastinya haram men-down grade atau menganulir putusan yang telah inkracht, sama saja KPK membangkang atau disobidient (tidak perduli) terhadap putusan lembaga peradilan yang telah memiliki kepastian hukum dan mengikat. *_Terlebih disobidient oleh KPK dilakukan terhadap hasil proses “produksi” KPK sendiri yang akhirnya menjelma menjadi putusan Pengadilan Tipikor yang sebelumnya PASTI didahului oleh hasil penyidikan dari tim penyidik KPK, dan melalui tuntutan Jaksa Penuntut JPU Tipikor._*
Dan yang sebenar-benarnya, didalam putusan a quo in casu (Nomor 28 Tahun 2020) terhadap diri Wahyu Setiawan Terdakwa 1 yang telah inkracht tersebut, terdapat beberapa poin pertimbangan, *_tentunya_* seluruh materi pertimbangan logikanya berdasarkan keterangan dari kedua terdakwa dan keterangan dari para saksi yang disampaikan dihadapan persidangan yang terbuka untuk umum, yang dicatat oleh panitera perkara a quo in casu, sehingga pada beberapa pertimbangan putusan dinyatakan; “pemberian suap atau gratifikasi melalui cara-cara pemberian langsung oleh Harun Masiku dan sebagiannya diberikan oleh perantara kepada para terdakwa penerima suap Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fredelina”. *_Makna subtansial putusan inkracht dimaksud TIDAK MELIBATKAN DIRI HASTO_*
Sehingga akumulasi daripada pernyataan dan kesaksian Ronni Sompie, Wahyu terhadap Setiawan dan lainnya, yang memberikan keterangan dalam kesaksiannya di dalam hubungan hukumnya dengan tuduhan kasus suap Harun Masiku, sudah tertera dan menjadi bagian Pertimbangan Hukum daripada materi putusan perkara nomor 28/ 2020, maka siapapun nama yang terdapat dalam putusan tidak boleh memberikan keterangan BAP yang berbeda yang terkait kasus TSK Hasto dan mengingat makna saksi menurut KUHAP yaitu adalah orang yang menyampaikan keterangan di hadapan persidangan atau peradilan mengenai suatu perkara pidana yang ia dengar, lihat, atau alami sendiri *_sehingga semua keterangan saksi Wahyu Setiawan sesuai isi vonis putusan Nomor 28 Tahun 2020 yang intracht yang menguntungkan Hasto secara hukum adalah milik Hasto sedangkan yang memberatkan darimana pun saksi tersebut dihadirkan dapat dipertentangkan oleh Hasto dan oleh para saksi Hasto (a de charge) dan Para Ahli_*
Namun fakta hukum perjalanan proses hukum terhadap Hasto yang resmi oleh KPK berstatus tersangka/TSK pada 24 Desember 2024 namun ternyata status TSK premature, hal ini terbukti, KPK masih membutuhkan saksi Ronni Sompie dan Wahyu Setiawan dan baru saja kemarin, Selasa, 7 Januari 2024 justru terjadi penggeledahan rumah milik Hasto.
Selebihnya ada sinyal kuat berwarna merah (red-bip) terkait kasus Hasto, yang melahirkan tanda tanya besar (red-big question), karena terdapat peristiwa sandiwara hukum”, dikarenakan secara yuridis formal beberapa proses rekayasa mengikuti tuduhan terhadap Hasto, selain sikap atau perilaku (red-attitude/behavior) yang dilakukan oleh KPK menunjukkan kinerja yang tidak memenuhi kualitas dan tidak proporsional, maka hasilnya tidak berdedikasi (red-menyimpang dari faktor objektifitas dan profesionalitas).
Fakta hukum adanya sandiwara hukum, karena adanya beberapa peristiwa temuan yang bukan pure hukum melainkan rekayasa. Karena sebenar-benarnya *_penyidik KPK cukup mengutip keterangan Saksi Wahyu Kurniawan, dari isi pertimbangan hukum yang terdapat didalam putusan nomor 28 Tahun 2020 yang final dan mengikat (red-inkracht)._* sebab secara hukum putusan yang inkracht sampai kapan pun mengikat, tidak dapat dirubah sekalipun oleh KPK, terkecuali lahir putusan pembatalan akibat herziening atau peninjauan kembali/PK.
Maka publik pertanyakan akibat beberapa pola aksi hukum KPK dalam penyidikan selain prematur *_juga ditandai hal yang aneh tapi nyata_*, maka:
1. Apakah KPK bekerja ada pesanan atau intimidasi atau faktor balas jasa dari oknum-oknum?
2. Apakah KPK ikut praktik seni berpolitik pragmatis (diluar fungsi KPK), demi menjegal Harto dalam Kongres PDIP sebentar lagi?
3. Atau KPK disfungsi dalam penyidikan dan penetapan TSK Hasto, hanya karena kurangnya kemampuan atau rendahnya nilai profesionalitas (red-nir kualitas) terkait teknik penyidikan dari ketua KPK yang baru yang juga dipermasalahkan oleh publik, terhadap pengangkatan jabatannya selaku Ketua. KPK.
Oleh sebab hukum, andai salah satu dari 3 faktor prediksi terkait *_gejala-gejala kinerja KPK yang aneh tapi nyata alias SERAMPANGAN_* maka sebaiknya Ketua KPK mundur atau dipaksa mundur sesuai konstitusi karena ada faktor X yang aneh tapi nyata selebihnya atas dasar peran serta masyarakat dengan merujuk satire politik, vox populi vox dei.
Sehingga di alam bawah sadar, bisa saja publik berandai andai, andai saja KPK merubah BAP Ronni dan atau Wahyu Setiawa dan lainnya, dalam hubungan hukum dengan diri Hasto yang menjadi TSK karena faktor pesanan politik, sehingga isi kesaksian para saksi dengan orang yang sama dalam perkara Hasto, ternyata tidak sesuai dengan kesaksian yang sudah menjadi putusan nomor 28 Tahun 2020 yang inkracht, maka *_apakah api panas dalam dada masyarakat hukum (red-ahli hukum, akademisi dan praktisi serta aktivis hukum) bakal tertiup oleh angin vox populi lalu membakar gedung dan isi gedung KPK ?_*