MEWASPADAI KONSOLIDASI MOBOKRASI: Tinggal Satu Cara Menghentikannya, Kembali Ke UUD’1945

 

Oleh: Mulyadi (Opu Andi Tadampali), Dosen Ilmu Politik FISIP UI-SKSG UI

JAKARTA || Ekpos.com – Dalam kurun waktu dua tahun (2022-2024), paling sering di forum-forum ilmiah populer yang diselenggarakan oleh DPD RI bekerja sama dengan perguruan tinggi, lembaga pemerintah, dan lembaga non-pemerintah, saya selalu menyampaikan alasan dan sebab mengapa “Indonesia sedang tidak baik-baik”. Di forum-forum itu, saya juga selalu ingatkan bahwa “darurat oligarki” di Indonesia yang salah satu akibatnya adalah penindasan sempurna kaum pribumi Indonesia, sudah berlangsung pada periode kedua rezim politik Jokowi (2019-2024). Mengenai apakah keadaan “darurat oligarki” ini akan berakhir atau justru beralih ke “darurat mobokrasi”, itu sangat tergantung dari munculnya keberanian dari berbagai pihak untuk kembali ke UUD’1945 yang dilanjutkan dengan adendum.

Mengingat maksud saya menyampaikan hal itu untuk berbagi hasil kajian dan bukan untuk membuat gaduh, maka saya melakukannya lebih banyak menyorotnya dengan teori-teori politik standar untuk menyembunyikan eviden empirisnya berupa skandal politik, seperti yang mulai terbuka satu persatu dalam kasus proyek strategis nasional dan pemagaran laut. Saya menahan diri untuk tidak menyebut sejumlah skandal politik yang ditutup-tutupi, karena tujuan saya memang bukan untuk membuat heboh. Maksud dan tujuan saya tidak sejauh itu. Melainkan hanya ingin menyadarkan kaum intelektual yang sudah terlanjur jadi bandit politik atau yang bersikap masa bodoh terhadap nasib buruk yang sedang menimpa rakyat, bangsa, dan negara Indonesia. Namun untuk pihak yang terlalu vulgar menantang dan meragukannya, sesekali memang saya harus tunjukkan eviden ilmiahnya berupa data dari masing-masing tujuh kapabilitas sistem politik Indonesia yang bersamaan melemah.

Akan tetapi mungkin karena saya menyampaikannya dari sudut pandang subtantif, atau dari perspektif hulunya (sistem, struktur dan regulasinya), maka yang bisa “mencernanya” hanya terbatas pada kaum intelektual yang kritis saja. Kaum intelektual realis yang cenderung menerima anomali politik karena menganggapnya sebagai yang hal wajar, masih tetap berbicara pada hal-hal yang sangat prosedural, pada kasus-kasus remeh-temeh yang ada di seputar hilir saja.

Pemilu, misalnya, yang dibahas secara rutin hanyalah kasus-kasus yang berulang-ulang, kasus-kasus dangkal, seperti seleksi penyelenggara pemilu berbasis pesanan hingga yang tidak netral, daftar pemilih Setan (DPS) hingga daftar pemilih Tuyul (DPT), kampanye suap politik hingga kampanye propaganda politik manipulatif, penggelembungan suara hingga jual-beli suara, dimana semua penyebabnya adalah tukar tambah kepentingan dalam pasar gelap kekuasaan dan solusi praktisnya sangat mudah ditebak, yaitu cukup dengan _”political will”_ hingga kebijakan “tambal sulam” yang justru membuat keadaan politik bertambah kacau dan semakin semrawut.

Pokok masalah pemilu yang paling subtansial, seperti pemilu langsung presiden-wakil presiden dan kepala daerah terbukti merusak demokrasi, merusak pemerintahan nasional dan lokal, melemahkan integrasi politik nasional dan lokal, serta mengancam stabilitas politik nasional dan lokal, tak pernah mau disentuh. Pemilu langsung yang sudah terbukti apa yang dikatakan S. Andreski, “Setan mencarikan pekerjaan orang-orang yang menganggur”, selain tak pernah mau diakui secara jujur, juga berusaha dipertahankan dengan argumen yang memalukan. Terbukti bahwa legitimasi hasil pemilu berimplikasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara, tak pernah mau disorot lantaran enggan memasuki wilayah evaluasi rezim penguasa, yang disangkanya hanya akan merugikan dirinya. Padahal implikasi politik dari rendahnya legitimasi politik dan justifikasi politik hasil pemilu justru memperkuat fondasi bagi pembentukan dan penyelenggaraan pemerintahan non-demokratis, seperti terbentuknya rezim politik otoritarian hingga rezim despotis.

Pertanyaan tentang mengapa orang sekelas Jokowi bisa terpilih menjadi presiden dan orang sekelas anak Jokowi bisa terpilih jadi wakil presiden, nyaris tidak pernah dikaji sebab hulunya lantaran mungkin takut dimusuhi oleh para buzzer partikelir. Pertanyaan mengapa sejak masa jabatan keduanya yang berakhir pada 20 Oktober 2024, ketidakpuasan politik terhadap Jokowi tidak memperlihatkan tanda-tanda berakhir, juga tidak pernah dibahas secara serius. Begitu pula dengan pertanyaan mengapa ketidakpuasan politik dari elemen-elemen gerakan pro-prubahan, seperti kelompok kembali ke UUD1945 Asli untuk diadendum, kelompok anti-rezim politik Jokowi, dan kelompok-kelompok pro-demokrasi justru kembali mengental dalam tuntutan umum “adili Jokowi bersama para kroni-nya” di saat Jokowi tidak lagi menjabat presiden, pula tidak pernah diangkat ke atas permukaan.

Patut diketahui bahwa sepak terjang Jokowi yang membesarkan ‘Oligarki Kembar Tiga’ termasuk diri dan keluarganya yang menjadi tema sentral dari ketidakpuasan politik hanyalah konsekuensi saja. Sekuensinya berupa penyebab rusaknya sistem politik Indonesia tidak pernah mau digali secara mendalam. Yang dibincangkan paling tinggi berkisar pada implikasi hilirnya, seperti ketidakpuasan politik terhadap Jokowi menjadi beban politik Presiden Prabowo Subianto lantaran dinilai telah memberi ruang bagi eksistensi Jokowi beserta mitra oligarkinya.

Kritik itu tidak salah. Tapi saya harus tegaskan bahwa bukan itu pokok masalahnya. Pokok masalahnya tidak terletak pada rezim politik Jokowi yang tidak demokratis, atau rezim politik Prabowo Subianto masih menampung kepentingan Jokowi dan mitra oligarkinya. Pokok masalahnya adalah karena UUD’1945 diganti dengan UUD’2002 untuk misi politik yang sangat buruk dan berutal. Itu subtansi pokok masalahnya. Itu subtansinya masalah hulunya. Pokok masalah dan pokok persoalannya tidak terletak pada Jokowi yang belum diadili dan belum dipenjara, karena mengadili dan memenjarakan Jokowi tidak akan pernah memecahkan masalah dan tidak akan pernah menjawab persoalan subtansial.

Bahwa Jokowi harus diadili dan dipenjara atau diberikan “pelajaran setimpal”, serta rezim politik Prabowo Subianto harus selalu diawasi dengan penuh kewaspadaan, itu saya juga setuju. Tapi sekali lagi, bukan di situ letak pokok masalahanya. Letak pokok masalahnya ada pada kerusakan sistem politik yang sengaja didesain secara canggih oleh pihak asing melalui proxy internal dan eksternalnya.

Melihat berbagai akibat buruknya yang meluas dan sifatnya yang sudah laten dan permanen, maka sudah sepantasnyalah para intelektual beranjak pada pembicaraan hal-hal yang paling subtantif, yang paling prinsip untuk mencegah terulangnya sejumlah skandal politik serupa, pada subtansi masalah dan persoalan yang sudah saya sebutkan itu.

Tulisan pendek ini tidak membahas ketidakpuasan politik terhadap rezim politik Jokowi, diri Jokowi dan keluarganya, serta beban politik rezim politik penggantinya. Melainkan dalam perspektif hulu, hanya untuk menjawab secara singkat sejumlah pertanyaan empirik yang sensitif sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang kerap menjadi tema-tema diskusi elemen masyarakat pro-perubahan.

Sejumlah pertanyaan yang saya maksud, seperti mengapa kaum pribumi mengalami penindasan sepempurna di era rezim politik Jokowi? Mengapa rakyat Indonesia mengalami kemiskinan struktural? Mengapa ‘kaum pribumi’ atau ‘orang-orang bangsa Indonesia asli tersingkir di rumahnya sendiri, dari arena ekonomi politik dan politik ekonomi? Mengapa pemilu langsung penuh kecurangan sistemik, struktural, dan masif? Mengapa muncul fenomena intelektual dan aparat negara yang happy menjadi centeng politik atau jongos oligarki? Serta sejumlah pertanyaan sejenis lainnya yang bernada kritis dan protes.

*Memulai dari Pokok Masalahnya*

Patut dicatat bahwa, gerakan reformasi Mei 1998 tidak menghasilkan apa-apa selain ‘deformasi politik’. Eviden ilmiah empiriknya adalah kerusakan semua struktur sistem politik terutama partai politik, Presiden, dan DPR. Penyebab utamanya adalah pasca jatuhnya rezim politik Orde Baru, gerakan reformasi politik yang diserukan oleh elemen civil society secara lihai dibajak oleh pihak Asing yang dioperasikan oleh proxy internal dan eksternalnya untuk menguasai Indonesia. Metodenya adalah deformasi sistem politik Indonesia yang didesain baik oleh para pendiri negara sebagaimana tertuang dalam UUD1945 Asli. Pihak Asing menyadari bahwa tanpa deformasi desain sistem politik asli Indonesia mustahil Indonesia dapat dikuasai: dikontrol dan dikendalikan.

Proses pengrusakan sistem politik Indonesia dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif dengan cara megganti UUD’1945 Asli dengan UUD’2002 brutal berkedok amandemen konstitusi yang berlangsung selama tiga tahun 1999-2002. Secara strategis, taktis, dan operasional, ada tiga motif politik terselubung pihak Asing merusak sistem politik Indonesia yang didesain oleh para pendiri negara, yaitu:
(1) Menguasai pemerintahan Indonesia lewat presiden non-pribumi. Eviden tentang hal ini, saya minta dicermati motif politik penghapusan syarat presiden orang Indonesia Asli yang ada dalam Pasal 6 UUD’1945 Asli;
(2) Menguasai politik Indonesia dengan merancang “model koalisi bukan koalisi”. Eviden ilmiah tentang motif politik ini, silahkan cermati konsekuensi dan implikasi politik dari pengusulan pasangan calon presiden-wakil presiden “model usulan gabungan partai politik” pada Pasal 6A Ayat (2) klausul terakhir UUD’2002. Ketentuan ini untuk mendesain partai politik terlibat dalam persekongkolan jahat melalui “koalisi kumpul kebo” oleh “jenis partai rental”; dan
(3) Menguasai ekonomi Indonesia dengan membuka “arena tarung derajat” bagi tiga aktor sistem ekonomi politik:
(a) sistem kapitalisme, yang diperankan oleh perusahaan konglomerat;
(b) sistem ekonomi komando, yang diperankan oleh perusahan BUMN/BUMD; dan
(c) sistem ekonomi kerakyatan, yang diperankan oleh Koperasi. Eviden ilmiah tentang motif ini silahkan dicermati klausul demokrasi ekonomi pada Pasal 33 Ayat (4) UUD’2002.

Memastikan ketiga motif politiknya tercapai, pihak Asing menghancurkan sejumlah struktur politik khas Indonesia, dengan cara menghilangkan MPR Asli (meta-struktur) lalu menggantinya dengan MPR Palsu (supra-struktur), menghilangkan DPA (super-struktur) lalu menggantinya dengan Wantimpres (sub-supra struktur), mengubah watak dan jenis partai politik (infra-struktur) sebagai partai ideologi dan kader menjadi “partai rental” sekaligus aktor tunggal kekuatan politik, dan melakukan pemilu langsung presiden-wakil presiden termasuk pemilu langsung kepala daerah yang aturannya dibuat sendiri oleh partai koalisi pemerintah di DPR dan Presiden dukungan koalisi partai pemerintah.

Selain merusak struktur politik tersebut, juga merusak struktur keamanan dan pertahanan negara. Polisi (Polri) dirusak dengan cara menghilangkan Kementerian Keamanan, sehingga Polri berada langsung di bawah arahan Presiden. Sedangkan militer (TNI) dirusak dengan cara dibuat fokus berada di bawah kendali presiden sebagai Panglima Tertinggi. Padahal sebelumnya, TNI sesuai watak dan karakternya sebagai “militer revolusioner profesional” peranya seluas negara dan isinya, lalu dibatasi dengan cara “dipenjara di baraknya” dengan dalih itu adalah ciri “tentara profesional”. Dengan pembatasan itu, maka militer mendapat sorotan publik karena penampilannya dinilai lebih berperan sebagai penjaga kedaulatan kekuasaan dibanding penjaga kedaulatan negara.

*Konsolidasi Mobokrasi*

Selama rezim politik Jokowi berkuasa, Indonesia berada dalam status darurat oligarki. Dua periode rezim politik Jokowi memerintah: periode 2014-219 dan periode 2019-2024, hasilnya hanyalah perkembangan dan pertumbuhan sempurna Oligarki Kembar Tiga: badut politik (oligarki politik), bandar politik (oligarki ekonomi), dan bandit politik (oligarki sosial).

Kalau itu tidak dihentikan secara revolusioner dengan cara kembali ke UUD’1945, Indonesia tidak akan lama lagi memasuki tahap kejatuhannya yang paling mengerikan. Betapa tidak, ‘Oligarki Kembar Tiga’ yang sudah mencengkram politik Indonesia dalam wujud rezim politik oligarkis dengan mudah bertransformasi menjadi rezim mobokrasi, suatu bentuk pemerintahan paling buruk, dimana segerombolan orang jahat memerintah yang didukung oleh massa jahat.

Sebelum tampil menjadi rezim politik totaliter, fasis, dan despotis yang ditandai oleh konsentrasi dan sentralisasi praktik kekuasaan buruk (power over) di tangan sekelompok kecil orang jahat yang didukung oleh massa jahat, para oligark yang juga merupakan mobokrat terlebih dahulu saling menguatkan dalam melakukan konsolidasi kekuasaan melalui empat cara, yaitu:
(1) Pengambilalihan institusi negara dan pemerintahan, seperti badan legislatif, eksekutif, yudikatif, dan auxiliary institution. Tujuannya adalah untuk memastikan semua kekuasaan terkonsentrasi dan tersentralisasi di tangan kelompok kecilnya;
(2). Pembatasan hak-hak politik warga negara, seperti pembatasan kebebasan berbicara-berpendapat, kebebasan berkumpul-berserikat, dan kebebasan memerintah diri sendiri (memilih-dipilih dalam pemilu). Tujuannya adalah untuk menghilangkan pengawasan oposisi terhadap rezim politiknya;
(3) Penggunaan kekerasaan (koersi) berupa terordan intimidasi polituk, seperti penangkapan, penahanan, penyiksaan hingga pembunuhan. Tujuannya adalah untuk memobilisasi loyalitas dan kepatuhan politik, serta menjamin stabilitas politik dan integrasi politik;
(4) Penggunaan propaganda politik dan agitasi politik, seperti manipulasi informasi, pembentukan opini publik. Tujuannya untuk mengendalikan opini dan informasi publik, serta pencitraan politik; dan
(5) Penggunaan suap politik dan kooptasi politik, seperti memberikan pangkat dan jabatan, serta keuntungan ekonomi kepada lawan-lawan politik potensialnya. Tujuannya adalah untuk memudahkan kerja sama.

Dampak dari pengambilalihan institusi, pembatasan hak-hak politik sipil, penggunaan koersi, propaganda politik, agitasi politik, suap politik, dan kooptasi politik adalah hancurnya tatanan demokrasi, hilangnya kebebasan sipil, dan ketatnya kontrol politik terhadap kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan agama.

Mengakhiri tulisan ini, saya mengajak kepada para intelektual untuk menjadi bangsawan dan negarawan dalam rangka menegakkan kehormatan bangsa dan keagungan negara yang ditandai oleh rakyat hidup makmur dan sejahtera. Saya berharap tidak ada lagi intelektual yang membela UUD’2002 sambil membenarkan pemilu langsung yang sudah terbukti hanya membesarkan para badut politik, bandar politik, dan bandit politik menjadi para mobokrat yang sudah pasti menindas, anti-kritik, anti-perubahan, status quo, dan korup. ***

Total
0
Shares
Previous Article

Dukung Pertumbuhan Bisnis, Askrindo Terus Tingkatkan Kompetensi Ahli Asuransi

Next Article

RT 3 Desa Pulau Telo Dijabat Calon Ketua RT Baru Hasil Pemilihan Secara Demokrasi

Related Posts