Oleh: Damai Hari Lubis
JAKARTA || Ekpos.com – KPK nampak masih punya gigi, khusus kasus baru dan bebas hambatan (without a hitch) atau orderan yang serius punya alat bukti dan bebas dari faktor obstruksi politik kekuasaan. Alhasil gejala-gejalanya KPK tidak lagi berfungsi dengan sesungguhnya, tidak lagi dapat dijuluki dan dimaknai dengan lembaga super body.
Parameter KPK tidak lagi super body, diantara salah satunya ditandai dengan pola bekerja berdasarkan “orderan”, model penetapan Tersangka/TSK kepada Hasto Kristiyanto/HK, ternyata tidak memiliki bukti kuat, maka status TSK hanya langkah pemuas bagi “peng-order”, sebagai praktik balas jasa, atau kah sebagiannya terkena politik jerat yang terbiasa dilakukan oleh pemberi order saat berkuasa, sehingga juga memegang kartu “mereka?”
Maka, prediksinya KPK mengejar HK hanya atas pesanan dengan motif dendam dan kepentingan si pemberi order, namun untuk mengejar dan mendapatkan sosok tokoh nasional sekelas HK yang indikasi dari info yang publis “hanya mengajar target”, agar HK mundur dari partainya dan tidak dapat dicalonkan kembali menjadi pengurus pada kongres PDIP yang bakal digelar, dan finisnya berujung perpecahan dan pelemahan Partai Banteng.
Namun pada kenyataannya HK melawan secara radikal, terlebih ada sosok perkasa Megawati yang mengawalnya dan sudah mulai main mata dengan Prabowo sang riil presiden. Maka KPK *_seterusnya_* akan pura-pura sekedar terus mencari bukti yang bukan sebagi alat bukti hukum sempurna dan malah transparansi dari sisi kacamata hukum membuktikan status TSK HK. Prematur dan mengada-ada
Termasuk berita terbaru KPK mengeledah eks rumah petinggi PPP. Lalu KPK menyebut, “bahwa uang suap yang diberikan kepada Wahyu Setiawan sebagiannya juga berasal dari Hasto Kristiyanto (HK). Namun KPK belum merinci nominalnya.”
KPK mestinya sudah mengetahui, apa makna saksi sesuai sistim hukum, dan tahu nominal karena mutlak soal korupsi adalah nominal kerugian perekonomina negara yang dikorupsi, dan pertanyaannya apa yang dikorupsi? Serta KPK patut mengetahui andai delik yang dituduhkan kepada HK penipuan atau pemerasan, tentu bukan kompetensi KPK. Serta harus ada pelaporan dari korban Harun Masiku melalui pihak yang berwajib dan harus didahului dengan adanya faktor pengaduan internal partai atau ranah bidang kehormatan partai.
Selebihnya terkait saksi, KUHAP menyatakan, saksi adalah apa yang sampaikan dihadapan hakim dimuka persidangan. Bukan yang ada di BAP atau bukan sekedar pengakuan kepada KPK.
Dan masih menurut KUHAP, “pengakuan bukan lah satu-satunya alat bukti”
Sehingga semakin nampak bahwa KPK amat ngotot menjadikan Hasto Kristianto, terbukti semakin ngawur, setelah sebelumnya juga memanggil Wahyu Setiawan, padahal secara hukum, apa yang disampaikan oleh Wahyu sudah ada dalam putusan inkracht (pasti dan mengikat) sebelum ada bukti hasil putusan Peninjauan Kembali oleh mahkamah Agung/MA yang diajukan oleh Jaksa Agung melalui upaya hukum luar biasa (herziening) dan putusannya ternyata oleh MA diterima serta PK dikabulkan.
*_Pertanyaan hukumnya, adakah PK oleh Jaksa Agung ada dan dikabulkan kah? tentu Jawab nya TIDAK PERNAH ADA._*
Dan tentu tuduhan HK telah memberikan uang kepada KPU melalui Wahyu, walau pengakuan tersebut sekalipun disaksikan oleh Harun Masiku/HM, maka pengakuan saksi dari HM mesti dalam bentuk surat, seperti kwitansi sebagai tanda terima dan ditandatangani berikut tanggal dan disertai 2 (dua) orang saksi. Bukan sekedar dari percakapan by Hand Phone/HP kecuali HP yang berisikan transaksi digital online (perbankan).
Terlebih HM tidak bisa dihadirkan oleh penyidik KPK? Bagaimana dapat membuktikan HM benar telah meyerahkan uang suap? Dan apa korelasinya pemberian uang tersebut terhadap tuduhan KPK kepada HK. Oleh karenanya oleh sebab hukum, pemberi HM mesti dapat dihadirkan oleh penyidik, namun bukan berarti HK bersalah secara hukum karena bukti hukum juga membutuhkan hubungan adanya bukti korelasi (kausalitas) yang relevan terhadap tuduhan.
Kesimpulan yang didapat penulis, andai saja ketua KPK saat ini mengejar HK kala pemilik order berkuasa, akan mengalami nasib yang sama dengan Firli Bahuri, karena tidak sanggup mengejar dan menangkap sosok Anies Baswedan sehingga laju menuju pilpres
Jadi sarannya, KPK harus menolak segala rekayasa dari pihak manapun, KPK mesti mandiri, harus fungsional dalam mengemban amanah KPK wajib profesional, proposional dan akuntabel serta melulu mengutamakan objektifitas.
Penulis:
1. Eks Ketua 1 GNPK (Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi,
2. Pakar, Ilmu peran serta masyarakat dan Kebebasan Menyampaikan Pendapat,
3. Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik).