Oleh : A.Rusdiana
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, Kita sekarang sudah memasuki Bulan istimewa dan luar biasa yaitu Bulan Sya’ban yang penuh keutamaan
Secara bahasa, Sya’ban berasal dari kata syi’ab yang artinya jalan di atas gunung. Makna ini selaras dengan posisi bulan Sya’ban yang menyongsong bulan Ramadhan. Hal ini merupakan kiasan bahwa bulan kedelapan dalam kalender Hijriyah tersebut merupakan momen tepat untuk menapaki jalan kebaikan secara lebih intensif, guna mempersiapkan diri menyambut bulan suci Ramadhan. Posisi bulan Sya’ban merupakan tengah-tengah diantara Rajab dan Ramadhan, sehingga menjadi jembatan penghubung mata rantai kemuliaan menuju Ramadhan. Maka dari itu, bulan Sya’ban juga menjadi gerbang dari masuknya menuju Ramadhan.Sehingga sebaiknya kita juga menyiapkan jiwa dan raga kita untuk memasuki bulan suci tersebut, mulai dari materi, ilmu dan mental.
Bulan Sya’ban yang merupakan salah satu bulan yang dimuliakan oleh Allah swt memiliki beberapa peristiwa yang penting. Dan peristiwa tersebut juga menandakan bahwa Allah swt memuliakan bulan tersebut, diantara sebagai berikut:
Pertama, Allah swt menurunkan ayat perintah bershalawat kepada Nabi Muhammad saw.
Peristiwa penting ini telah difirmankan oleh Allah swt, sebagaimana yang telah tercantum dalam Al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 56:
Artinya: Sungguh Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, shalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (QS. Al-Ahzab [33]: 56).
Mayoritas ulama, khususnya dari kalangan mufassir, sepakat bahwa ayat ini turun di bulan Sya’ban. Dalam ayat di atas ada tiga bentuk shalawat kepada nabi Muhammad saw, yakni shalawat yang disampaikan Allah, shalawat yang disampaikan malaikat, dan (perintah) shalawat yang disampaikan kepada umat Rasulullah saw.
Akan tetapi makna bershalawat pada ayat tersebut memiliki makna yang berbeda-beda, sesuai dengan siapa yang bershalawat. Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, ia mengutip pernyataan Imam Bukhari yang menjelaskan bahwa kata “Allah bershalawat” bermakna Dia memuji Nabi, “Malaikat bershalawat” berarti mereka sedang berdoa, sementara “manusia bershalawat” selaras dengan pengertian mengharap berkah dan syafaat. Oleh itu, kedudukan Rasulullah saw sangat mulia di alam semesta ini, bahkan beliau menjadi Sulthanul Anbiya (Rajanya para Rasul) dan sekaligus Khatamul Ambiya (penutup para Nabi).
Maka, sudah sepantasnya kita sebagai umatnya Rasul yang masih dipertemukan dengan bulan Sya’ban yang mulia ini, untuk memperbanyak membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw. Hal ini senada dengan pernyataan Sulthanul Aulia, Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang sangat menganjurkan umat Islam untuk memperbanyak shalawat di bulan Sya’ban ini. Selain memperbanyak shalawat kepada Nabi, Syekh Abdul Qadir juga menganjurkan umat Islam untuk selalu bergegas membersihkan diri dan bertaubat dari kesalahan-kesalahan yang sudah lewat, dengan tujuan menyambut bulan suci Ramadhan. Karena menyambut Ramadhan harus dilakukan dengan hati yang bersih dan suci.
Kedua, Allah swt menurunkan kewajiban berpuasa bagi umat Islam.
Kewajiban puasa yang dimaksud merupakan puasa Ramadhan bagi seluruh umat manusia. 18 bulan setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, lebih tepatnya pada bulan Syaban tahun kedua Hijriah, Allah SWT menurunkan perintah untuk wajib berpuasa kepada umat Islam. Allah SWT menurunkan perintah secara langsung kepada umat Islam untuk melakukan puasa pada surah Al-Baqarah ayat 183,
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. (QS. Al-Baqarah [2]: 183),
Karena dengan puasa ini, umat Islam dilatih jiwa dan raganya, sehingga menjadi pribadi yang sempurna dan matang spiritualnya. Imam Abu Zakariya an-Nawawi dalam al-Majmû‘ Syarah Muhadzdzab menjelaskan bahwa Rasululah menunaikan puasa Ramadhan selama sembilan tahun selama hidup, dimulai dari tahun kedua Hijriah setelah kewajiban berpuasa tersebut turun pada bulan Sya’ban.
Ketiga, di bulan Sya’ban, dimulainya Ka’bah menjadi kiblat umat Islam yang sebelumnya adalah Masjidil Aqsha.
Peristiwa yang terjadi pada bulan Sya’ban ini menjadi sejarah penting bagi umat Islam, karena menjadi penentu arah, kemana umat Islam menghadap ketika melakukan shalat 5 waktu. Dengan beralihnya kiblat dari Masjid Aqsa ke Ka’bah di Masjidil Haram, juga menjadi penanda bahwa kedua masjid tersebut merupakan pusat tauhid umat manusia. Peristiwa peralihan kiblat ini ditandai dengan turunnya ayat 144 dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah:
Artinya: Sungguh Kami melihat wajahmu kerap menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram (QS Al-Baqarah [2]: 144).
Saat menafsirkan ayat ini, Al-Qurthubi dalam kitab Al-Jami’ li Ahkâmil Qur’an dengan mengutip pendapat Abu Hatim Al-Basti mengatakan bahwa Allah memerintahkan Rasulullah saw untuk mengalihkan kiblat pada malam Selasa bulan Sya’ban yang bertepatan dengan malam nisfu Sya’ban. Kiblat merupakan bentuk persatuan bagi umat Islam dan tidak menandakan bahwa Allah bertempat pada suatu tempat, karena Allah ada di mana-mana dan tidak kemana-mana. Karena sesungguhnya umat Islam di seluruh dunia tidak menyembah Ka’bah (makhluk) melainkan hanya bersatu dalam bertauhid.
Artikel ini merupkan Esensi Khutbah Jumat 31 Januari 2025
Penulis naskah adalah Pembina Yayasan Pendidikan Al-Misbah Kota Bandung dan Tresna Bhakti Kabupaten Ciamis